Kisah Sa’id bin Zaid

 بسم الله الرحمن الرحيم



Kisah Sa’id bin Zaid

radhiyallahu 'anhu

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut kisah Sa’id bin Zaid radhiyallahu 'anhu, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

Mengenal Sa’id bin Zaid radhiyallahu anhu

Beliau termasuk As Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam)

Beliau juga termasuk sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga.

Beliau hadir dalam semua peperangan bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam selain dalam perang Badar, karena ketika itu ia mendapatkan tugas lain dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Beliau hadir dalam pengepungan Damaskus dan berhasil menaklukannya, lalu Abu Ubaidah ibnul Jarrah mengangkatnya sebagai gubernurnya.

Beliau itulah Sa’id bin Zaid radhiyallahu anhu.

Tanah yang baik akan mengeluarkan tanaman yang baik (Mengenal ayah Sa’id)

Ayah Sa’id, yaitu Zaid bin Amr bin Nufail adalah seorang yang berbeda sendiri di zamannya. Ketika orang-orang menyembah patung, namun ia hanya menyembah Allah Yang Mahaesa. Dari tulang shulbinya terlahirlah sosok anak yang mulia, yaitu Sa’id bin Zaid yang menjadi salah seorang yang dijamin masuk surga oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Zaid bin Amr adalah seorang yang mencegah dikuburnya bayi perempuan hidup-hidup, ia pernah berkata kepada seorang laki-laki yang hendak mengubur bayinya yang perempuan, “Jangan engkau bunuh dia! Biarkan aku yang menanggung biaya hidupnya!” Lalu ia mengambilnya. Jika bayi ini telah besar, maka ia berkata kepada ayahnya, “Jika engkau mau, aku akan serahkan dia kepadamu. Jika engkau mau, aku juga siap menanggung biaya hidupnya.” (Disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq no. 3838 dalam Al Manaqib, dan Hakim, ia memaushulkannya dan menshahihkannya, serta disepakati oleh Dzahabi)

Zaid juga mencela keadaan kaum Quraisy, ia mengatakan, “Kambing adalah ciptaan Allah. Allah yang menurunkan air untuknya, menumbuhkan tanaman untuknya, namun mengapa kalian menyembelihnya atas nama selain Allah?!”

Suatu hari kaum Quraisy berkumpul dalam acara hari raya mereka di hadapan patung yang mereka agungkan, mereka menghadiahkan korban untuknya, dan beritikaf di dekatnya.

Kemudian ada empat orang dari kalangan mereka yang berkumpul namun berada jauh dari mereka (kaum Quraisy). Empat orang ini adalah Zaid bin Amr bin Nufail, Waqarah bin Naufal, Ubaidullah bin Jahsy, dan Utsman bin Huwairits, lalu yang satu berkata kepada yang lain, “Kalian tahu bahwa kaum kita tidak berada di atas kebenaran. Mereka salah dalam menjalankan agama nenek moyang mereka Nabi Ibrahim; bagaimana kita akan berthawaf di batu yang tidak memberikan manfaat dan tidak bisa menimpakan madharat (bahaya), tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat? Ayo kita keliling ke beberapa negeri untuk mencari agama yang benar.”

Ketika itu Waqarah bin Naufal memeluk agama Nasrani.

Ubaidullah bin Jahsy tetap berada dalam kesamaran sampai kemudian ia masuk Islam, lalu berhijrah bersama kaum muslimin ke Habasyah bersama istrinya yaitu Ummu Habibah binti Abi Sufyan. Namun ketika Ubaidullah tiba di Habasyah, maka ia berpindah agama menjadi Nasrani hingga wafat di sana, wal iyadz billah.

Sedangkan Utsman bin Huwairits, maka ia mendatangi Kaisar raja Romawi dan masuk Nasrani sehingga kedudukannya di sana sangat dihormati.

Adapun Zaid bin Amr bin Nufail, maka ia berdiam; tidak masuk agama Yahudi maupun Nasrani serta meninggalkan agama kaumnya. Ia pun menjauhi patung, bangkai, darah, hewan yang disembelih untuk patung atau berhala, serta ia melarang mengubur hidup-hidup bayi perempuan, ia berkata, “Aku tetap menyembah Tuhan Nabi Ibrahim.”

Dari Asma binti Abu Bakar radhiyallahu anha ia berkata, “Aku melihat Zaid bin Amr bin Nufai sebagai seorang yang sangat tua yang menyandarkan punggungnya ke ka’bah sambil berkata, “Wahai kaum Quraisy! Demi Allah yang nyawa Zaid bin Amr di Tangan-Nya. Tidak ada di antara kalian yang berada di atas agama Nabi Ibrahim selain aku,” lalu ia berkata, “Ya Allah, kalau aku tahu cara ibadah yang Engkau cintai, tentu aku melakukannya, akan tetapi aku tidak tahu,” maka  ia pun sujud di atas telapak tangannya.”

Zaid bin Amr bin Nufail juga putera paman Umar bin Khaththab, dimana ia hidup di masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Ia berada di atas agama yang hanif, yaitu ajaran Nabi Ibrahim alaihis salam. Ketika itu Khaththab ayah Umar sering menyakitinya dan menyiksanya, karena ia tidak mau menyembah patung seperti yang dilakukan orang-orang. Khaththab juga mencelanya karena tidak di atas agama kaumnya.

Suatu hari Khaththab mengirimkan beberapa pemuda di antara para pemuda Quraisy dan berkata kepada mereka, “Jangan biarkan dia masuk ke Makkah!” Maka Zaid pun masuk ke Mekkah secara sembunyi-sembunyi.

Pernah suatu ketika Zaid keluar untuk mencari agama yang benar. Ia berkeliling ke berbagai negeri sampai tiba di wilayah Syam, lalu ia bertemu dengan seorang rahib yang paling pandai tentang agama Nasrani dan bertanya tentang hanifiyyah agama Nabi Ibrahim, maka rahib itu menjawab, “Sesungguhnya engkau mencari agama yang tidak engkau temukan seorang pun yang membawamu kepadanya saat ini. Akan tetapi, telah tiba zaman seorang nabi akan keluar di negeri tempat asalmu, dimana ia akan diutus membawa agama Nabi Ibrahim yang hanif, maka bergabunglah bersamanya, karena dia akan diutus sekarang. Inilah zamannya.”

Ketika Zaid di perjalanan menuju Mekkah, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah diutus, namun ia masih belum tahu Beliau padahal ia ingin bertanya tentang Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dimana jika ia tahu bahwa Beliau telah diutus, maka ia ingin masuk Islam mengikutinya. Akan tetapi takdir mendahului, saat ia menuju Mekkah ternyata sebagian orang Badui membunuhnya.

Menjelang kematiannya, ia hadapkan pandangannya ke langit sambil berkata, “Ya Allah, jika Engkau halangi aku dari kebaikan ini, maka jangan Engkau halangi anakku dari kebaikan ini.”

Allah Ta’ala pun mengabulkan doanya sehingga anaknya yaitu Sa’id termasuk orang-orang yang segera masuk Islam (As Sabiqunal Awwalun). Ia telah masuk Islam sebelum Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendatangi rumah Al Arqam.

Masuk Islam pula bersama Sa’id istriya, yaitu Fatimah binti Khaththab saudari Umar bin Khaththab.

Ketika itu Sa’id dan istrinya menyembunyikan keislaman karena khawatir terhadap tindakan kaum Quraisy dan khawatir terhadap tindakan Umar bin Khaththab. Namun akhirnya Umar tahu bahwa adiknya masuk Islam, maka ia menyakiti adiknya dan suaminya hingga kemudian Umar menyesal dan menjadi sebab Umar masuk ke dalam Islam, meskipun sebab utama masuk Islamnya Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu adalah doa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

«اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ» قَالَ: وَكَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ عُمَرُ

“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan orang yang lebih Engkau cintai dari dua orang ini, yaitu Abu Jahl atau Umar bin Khaththab.”

Ketika itu orang yang lebih dicintai Allah adalah Umar. (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)

Suatu hari Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail dan Umar bin Khaththab pergi mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sambil berkata kepada Beliau, “Apakah kita perlu memohonkan ampun untuk Zaid bin Amr?” Beliau menjawab, “Ya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan sebagai satu umat sendiri.” (Hr. Ahmad, dinyatakan isnadnya shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir)

Hari pun berlalu, Sa’id bersama istrinya pun berhijrah ke Madinah dan berbahagia karena dapat tinggal di dekat Nabi shallallahu alaihi wa sallam sehingga dapat mengambil kebaikan dari Beliau.

Keutamaan yang besar

Suatu hari Sa’id bin Zaid naik ke atas gunung Hira bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan sebagian para sahabat, lalu gunung Hira pun bergetar, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada gunung Hira, “Tenanglah engkau wahai Hira!” karena tidak ada di atasmu selain Nabi, orang yang shiddiq, atau seorang yang akan mati syahid.” Ketika itu, di atas gunung Hira ada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad, Abdurrahman, dan Sa’id bin Zaid.” (Hr. Abu Dawud, Ahmad, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Jihad yang dilakukan Sa’id bin Zaid radhiyallahu anhu

Sa’id bin Zaid radhiyallahu anhu hadir dalam semua peperangan selain dalam perang Badar. Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberinya tugas lain. Ketika kembali, ia menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam baru pulang dari perang Badar, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan bagian ghanimah dari perang Badar sehingga ia seperti hadir dalam perang itu.

Sa’id juga hadir dalam perang-perang yang terjadi sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mencari kesyahidan di jalan Allah. Ia berangkat berjihad di berbagai negeri Persia sampai kaum muslimin meraih kemenangan terhadap Persia dan api Majusi pun padam dengan karunia Allah Azza wa Jalla.

Ketika berbagai penaklukan di negeri Persia selesai, Sa’id terus melanjutkan jihadnya dan berangkat ke negeri Syam untuk melawan Romawi.

Pahlawan perang Ajnadin

Sa’id bin Zaid menjadi komandan pasukan berkuda pada perang Ajnadin. Beliaulah yang mengusulkan kepada Khalid bin Walid untuk memulai peperangan pada perang Ajnadin karena pasukan Romawi telah melepaskan panahnya kepada kaum muslimin. Ketika itu Sa’id bin Zaid berteriak kepada Khalid bin Walid, “Mengapa kita jadikan diri kita sebagai sasaran panah pasukan Romawi?!” Maka Khalid pun menyeru pasukan kaum muslimin, “Seranglah mereka dengan menyebut nama Allah!” Ketika itu pasukan kaum muslimin menyerang dengan kuatnya dan bersabar terhadap panah musuh sehingga pasukan Romawi terkejut dan terpukul mundur, lalu mereka dihabisi oleh pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum muslimin berhasil menguasai kamp tentara Romawi.

Singa di perang Yarmuk

Dalam perang Yarmuk yang menjadi jantung pertahanan Romawi, namun mereka juga kalah sehingga seluruh wilayah Syam berhasil dikuasai kaum muslimin. Ketika itu, jumlah kaum muslimin hanya 24.000 personil, sedangkan pasukan Romawi 120.000 personil, namun mereka menghadapi kaum muslimin seperti gunung yang kokoh. Pasukan Romawi diiringi oleh para uskup, para komandan pasukan, dan para pendeta sambil membawa salib seraya mengeraskan lagu-lagu ibadah mereka dan didengungkan oleh pasukan di belakangnya sehingga suara mereka seperti suara guruh.

Ketika kaum muslimin menyaksikan hal itu, mereka merasakan sedikit kekhawatiran dan ketakutan. Ketika itulah bangkit Abu Ubaidah Ibnul Jarrah mendorong kaum muslimin untuk berperang, ia berkata, “Wahai hamba-hamba Allah! Tolonglah agama Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan pendirian kalian. Wahai hamba-hamba Allah! bersabarlah, karena sabar menyelamatkan dari kekafiran dan membuat Allah ridha. Tetaplah diam selain Dzikrullah pada diri kalian sampai aku memerintahkan kalian insya Allah.”

Sa’id berkata, “Ketika itulah keluar seseorang dari barisan kaum muslimin dan berkata kepada Abu Ubaidah, “Sesungguhnya saya telah berazam untuk mati syahid, lalu apakah engkau punya pesan yang ingin engkau sampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?” Abu Ubaidah menjawab, “Ya, engkau sampaikan salam dariku dan dari kaum muslimin, dan engkau sampaikan kepada Beliau, “Wahai Rasulullah, kami telah memperoleh apa yang dijanjikan Rabb kami.” Sa’id menjawab, “Aku belum mendengar kalimatnya secara sempurna, ternyata ia langsung mengambil pedangnya dan mendatangi musuh-musuh Allah, sehingga aku juga melempar diriku dengan keras ke tanah, aku bertekuk lutut, dan memegang tombakku. Ketika pasukan Romawi datang dan mendekat, aku segera menyerang mereka sambil menusuk dengan tombakku setiap tentara Romawi yang menghampiriku sehingga aku berhasil membunuh mereka dalam jumlah besar. Ketika itu, Allah  mencabut dariku rasa takut, dan kami terus berperang melawan pasukan Romawi sampai Allah memberikan kemenangan kepada pasukan kaum muslimin.”

Saat itu Abu Ubaidah ibnul Jarrah sangat bergembira sekali karena kemenangan itu dan bertambah gembira lagi dengan sikap Sa’id bin Zaid ketika itu, sehingga untuk penaklukan Damaskus, ia menyerahkan kepada Sa’id bin Zaid dan mengangkatnya sebagai gubernurnya sampai pada pemerintahan Bani Umayyah.

Allah mengabulkan doanya

Pada masa Daulah Umawiyyah Sa’id bersedih karena telah berpisah dengan banyak para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat mendahuluinya. Kesedihannya bertambah ketika terjadi fitnah di negeri kaum muslimin sehingga ia ingin pulang ke Madinah untuk tinggal di sana yang ketika itu gubernurnya adalah Marwan bin Hakam.

Suatu hari ada seorang wanita bernama Arwa binti Uwais yang menuduh Sa’id bin Zaid mencuri sebagian tanahnya dan menggabungkan tanah miliknya kepada tanah Sa’id.

Wanita ini pun mengadukan kepada Marwan bin Hakam, maka Sa’id berkata, “Apakah aku akan mengambil tanah itu padahal aku telah mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?” Marwan berkata, “Hadits apa yang engkau dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?” Sa’id berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا، طُوِّقَهُ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ»

“Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan tujuh bumi kepadanya (pada hari Kiamat).”

Marwan pun berkata kepadanya, “Saya tidak butuh lagi bukti setelah ini.”

Sa’id pun berkata, “Ya Allah, jika wanita ini berdusta, maka butakanlah matanya dan matikanlah di tanahnya.”

Maka wanita ini sebelum matinya matanya buta, lalu ketika ia berjalan di tanahnya, tiba-tiba ia jatuh ke dalam lobang dan meninggal dunia. (Hr. Muslim)

Saatnya meninggalkan dunia

Setelah hidupnya dipenuhi oleh jihad dan pengorbanan maka tiba saatnya Sa’id meninggalkan dunia ini menghadap Allah Azza wa Jalla untuk menjadi penghuni surga-Nya.

Sa’id wafat di ‘Aqiq, lalu dibawa ke Madinah, dimandikan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash. Saat itu Sa’ad dan Ibnu Umar turun ke dalam kuburnya, ia wafat pada tahun 50 atau 51 H dengan usia tujuh puluh tahun lebih, semoga Allah meridhainya dan mengumpulkan kita bersamanya di surga Firdaus.

Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam

Marwan bin Musa

Maraji: Maktabah Syamilah versi 3.45, Ashabul Rasul Lil Athfal (Mahmud Al Mishri), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger