Kisah Abu Ubaidah ibnul Jarrah

 بسم الله الرحمن الرحيم



Kisah Abu Ubaidah ibnul Jarrah

radhiyallahu 'anhu

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut kisah Abu Ubaidah ibnul Jarrah radhiyallahu 'anhu, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

Mengenal Abu Ubaidah ibnul Jarrah radhiyallahu anhu

Beliau termasuk As Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam), ia masuk Islam sehari setelah Abu Bakar masuk Islam.

Beliau juga termasuk sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga.

Beliau seorang yang digelari dengan Amirul Umara (pemimpin para komandan).

Beliau seorang yang nasabnya bertemu dengan nasab Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada nenek moyang Beliau bernama Fihr.

Beliau seorang yang terpercaya umat ini.

Beliau pemimpin di berbagai penaklukan wilayah.

Beliau itulah Amir bin Abdullah bin Jarrah, yang panggilannya adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah radhiyallahu anhu.

Masuk Islamnya Abu Ubaidah ibnul Jarrah

Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam diutus, lalu Abu Bakar didakwahi Beliau, maka ia segera menerimanya tanpa menunggu nanti. Kemudian tampillah Abu Bakar sebagai da’i yang mengajak manusia kepada Allah Azza wa Jalla, sehingga melalui beliau masuk ke dalam Islam beberapa orang, yang di antaranya adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah yang masuk Islam sehari setelah Abu Bakar masuk Islam. Ketika itu, Abu Ubaidah pun pergi berangkat untuk melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan merasakan kebahagiaan menjadi sahabat Beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Kesabarannya menerima cobaan

Sebagaimana para sahabat yang lain, Abu Ubaidah juga menerima gangguan yang sama, namun ia tetap bersabar dan teguh di atas Islam, sehingga siksaan dan gangguan yang ditimpakan kepadanya hanya menambah keteguhannya di atas kebenaran serta merasa yakin bahwa kemenangan akan diperoleh di kemudian hari insya Allah.

Dia juga mengetahui, bahwa surga butuh kesabaran dan pengorbanan. Di samping itu, yang ia inginkan adalah berhasil memperoleh keridhaan Allah, rahmat-Nya, dan ampunan-Nya, dan ia yakin bahwa itu tidak diraih kecuali dengan tetap teguh di atas agama-Nya dan berkorban untuk membela agama-Nya.

Hijrah ke Habasyah

Saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat para sahabatnya mendapatkan gangguan dan penyiksaan, maka Beliau menyuruh para sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah, maka para sahabat hijrah ke sana selain Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Namun ketika kaum muslimin kembali dari hijrah yang pertama karena mendengar kabar kaum Quraisy masuk Islam, namun ternyata berita ini bohong, maka kaum muslimin pun melakukan hijrah yang kedua ke sana, ketika itulah Abu Ubaidah juga ikut hijrah bersama mereka untuk menyelamatkan agamanya.

Meskipun kaum muslimin mendapatkan penghormatan dari Najasyi raja Habasyah, namun Abu Ubaidah tidak kuat tinggal jauh dari orang yang dicintainya, yaitu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Baginya, melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, duduk bersamanya, belajar petunjuk dan akhlak Beliau tidak dapat diimbangi oleh kenikmatan apa pun.

Akan tetapi, kaum Quraisy terus meningkatkan gangguan dan penyiksaannya terhadap para sahabat radhiyallahu anhum, namun Abu Ubaidah mampu memikul cobaan ini selama bisa menemani Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Di samping itu, tinggal di Mekkah juga tidak selamanya, sampai Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan Abu Ubaidah dan para sahabat yang lain hijrah ke Yatsrib (Madinah) agar Madinah menjadi kota yang diberkahi; menjadi negara Islam yang melahirkan orang-orang besar yang menjadi contoh bagi umat manusia karena mereka dibimbing langsung oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam pendidik terbaik.

Contoh dalam wala (cinta) dan bara (benci)

Pedang Abu Ubaidah telah diakui di jazirah Arab, sehingga orang-orang berusaha menghindar darinya, dimana tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya kecuali orang yang siap mengakhiri hidupnya.

Ayah Abu Ubaidah, yaitu Abdullah bin Jarrah adalah seorang yang kafir dan sering mengganggu kaum muslimin.

Ketika tiba perang Badar, Abu Ubaidah berada dalam barisan kaum muslimin, sedangkan ayahnya berada dalam barisan kaum musyrik.

Peperangan pun berlangsung, lalu Abu Ubaidah berperang dengan gagah berani. Ketika itu, kaum musyrik menjauh dari tempat dimana ia berperang. Akan tetapi ada seorang ksatria musuh yang telah menimpakan serangan kepada sebagian para sahabat yang mendekati Abu Ubaidah, namun Abu Ubaidah menjauh darinya. Ketika ksatria ini terus menyerang Abu Ubaidah, maka terpaksa Abu Ubaidah pun menyerangnya dan berhasil membunuhnya. Siapakah ksatria ini? Itulah ayahnya sendiri.

Berkenaan peristiwa ini turun firman Allah Ta’ala,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah (golongan Allah) itu adalah golongan yang beruntung.” (Qs. Al Mujadilah: 22)

Lihatlah bagaimana Abu Ubaidah mengajarkan, bahwa wala itu hanyalah untuk Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukmin, dan bahwa bara harus diberikan kepada musuh-musuh Allah sekalipun sebagai orang yang dekat dengannya.

Pembelaannya terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam perang Uhud

Dalam perang Uhud, ketika regu pemanah mendurhakai perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam sehingga kaum muslimin mengalami kekalahan dan ditambah serangan bertubi-tubi dari kaum musyrik, sehingga banyak di antara para sahabat yang gugur, dimana hari itu merupakan hari ujian dan pembersihan. Allah memuliakan sebagian kaum muslimin memperoleh kedudukan syuhada, namun ketika itu kaum musyrik sampai berhasil mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan hendak membunuh Beliau.

Ketika itu, suasana menegangkan terjadi, orang-orang musyrik merasa memiliki kesempatan emas, sehingga mereka tidak menunggu lagi untuk memperolehnya. Serangan pun mereka arahkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan mereka ingin membunuh Beliau.

Saat itu, ada seorang musyrik bernama ibnu Qam’ah yang datang dan menyerang Nabi shallallahu alaih wa sallam dengan pedangnya, sehingga karena serangan itu, Beliau merasakan sakit lebih dari sebulan. Ia juga menyerang bagian atas pipi Nabi shallallahu alahi wa sallam dengan serangan yang lebih keras lagi sehingga ada dua pecahan topi besi Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menembus masuk ke pipi Beliau.

Maka Abu Bakar hendak mencabut dua pecahan itu dari wajah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun Abu Ubaidah berkata kepadanya, “Aku bersumpah atas nama Allah terhadap dirimu, hendaknya engkau membiarkan aku yang mencabut pecahan itu dari wajah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”

Maka Abu Ubaidah pun mencabut pecahan itu dari wajah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan giginya hingga dua giginya tanggal. Abu Ubaidah mencabut pecahan itu tidak dengan tangannya agar tidak menyakiti Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahkan ia mencabut dengan mulutnya sehingga tanggal gigi serinya.

Abu Ubaidah terus hadir dalam semua peperangan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kokoh melawan musuh bagaikan gunung seraya membawa iman yang tidak dapat digoyahkan oleh angin puting beliung.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam sangat mencintainya dan berbangga dengannya.

Dari Abdullah ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah, “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang paling dicintai Beliau?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, Umar, kemudian Abu Ubaidah ibnul Jarrah.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Hakim, dan ia menshahihkannya, serta disepakati oleh Dzahabi. Imam Bukhari menyebutkan dalam Fadhailush shahabah bab sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ‘Kalau aku boleh menjadikan seorang kekasih’, dan dalam Al Maghazi bab Ghazwah Dzatus Salasil dari hadits Amr bin Ash, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengirimnya dalam perang Dzatus salasil, ia (Amr bin Ash) berkata, “Aku pun mendatangi Beliau dan bertanya, “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.” Aku bertanya, “Dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Umar bin Khaththab.” Kemudian menyebutkan beberapa orang sahabat.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

«نِعْمَ الرَّجُلُ أَبُو بَكْرٍ، نِعْمَ الرَّجُلُ عُمَرُ، نِعْمَ الرَّجُلُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الجَرَّاحِ، نِعْمَ الرَّجُلُ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ،  نِعْمَ الرَّجُلُ ثَابِتُ بْنُ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، نِعْمَ الرَّجُلُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، نِعْمَ الرَّجُلُ مُعَاذُ بْنُ عَمْرِو بْنِ الجَمُوحِ»

“Sebaik-baik laki-laki adalah Abu Bakar. Sebaik-baik laki-laki adalah Umar. Sebaik-baik laki-laki adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Sebaik-baik laki-laki adalah Usaid bin Hudhair. Sebaik-baik laki-laki adalah Tsabit bin Qais bin Syammas. Sebaik-baik laki-laki adalah Mu’adz bin Jabal. Sebaik-baik laki-laki adalah Mu’adz bin Amr bin Jamuh.” (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)

Sariyyah (pasukan kecil) yang dipimpin Abu Ubaidah ke daerah Saifulbahr

Suatu hari, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirimkan sariyyah dengan jumlah 300 orang dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai komandannya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruhnya berangkat ke sebuah tempat bernama Saiful Bahri untuk menghadang kafilah Quraisy, maka Abu Ubaidah berangkat bersama pasukannya dan membawa sekantong kurma, lalu ia memberi makan pasukannya dengan kurma itu. Ketika stok kurma berkurang, maka Abu Ubaidah memberi kepada seorang dari mereka satu hari satu kurma sebagai makannya. Tidak lama kemudian mereka merasakan kelaparan yang sangat, maka Abu Ubaidah berdoa kepada Allah agar Dia segera menghilangkan penderitaan mereka, maka Allah mengabulkan doanya. Allah menghadirkan kepada mereka seekor ikan paus yang disebut paus Anbar, mereka pun makan ikan itu untuk 20 hari ke depan sehingga badan mereka gemuk.

Ketika mereka pulang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan memberitahukan kejadian yang mereka alami, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah rezeki yang Allah antarkan kepada kalian.”   

Orang terpercaya umat ini

Ketika datang delegasi dari Najran kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Madinah, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada mereka dan mereka juga bertanya kepada Beliau. Selanjutnya Beliau mengajak mereka kepada Islam dan membacakan Al Qur’an kepada mereka, namun mereka menolak masuk Islam, kemudian mereka menerima keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap mereka, mereka berkata, “Kami akan berikan kepadamu apa yang engkau minta dari kami,” maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerima jizyah mereka, Beliau mengadakan kesepakatan dengan mereka, bahwa mereka harus memberikan jizyah berupa 2.000 pakaian; 1.000 di bulan Rajab, sedangkan 1.000 lagi di bulan Shafar, dan untuk setiap pakaiannya ditambah 1 uqiyyah (12 dirham). Mereka juga diberikan jaminan dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam serta diberikan kebebasan beragama. Beliau juga menulis suatu surat untuk mereka dan mereka meminta dikirimkan kepada mereka seorang yang amanah, maka Beliau bersabda, “Aku akan kirim kepada kalian seorang yang terpercaya dengan sebenar-benarnya.” Ketika itu, para sahabat saling penasaran, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bangunlah wahai Abu Ubaidah ibnul Jarrah.” Ketika ia bangun, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ»

“Ini adalah orang terperaya umat ini.” (Hr. Bukhari dan Muslim) 

Jihad Abu Ubaidah ibnul Jarrah

Abu Ubaidah senantiasa melazimi ibadah, melakukan ketaatan, dan berdakwah mengajak manusia kepada Allah Ta’ala, bahkan ia hadir dalam semua peperangan yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hingga Beliau wafat sedangkan beliau ridha kepada Abu Ubaidah radhiyallahu anhu.

Sebagaimana Abu Ubaidah sebagai seorang yang terpercaya di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ia juga sebagai orang terpercaya sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Kalau sekiranya ia tidak memiliki sikap selain sikapnya di Saqifah Bani Sa’idah tentu sudah cukup. Hal itu ketika kaum Muhajirin dan Anshar berselisih terkait siapa yang akan menjabat sebagai khalifah setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Abu Ubaidah menjadi sebab kaum muslimin bersatu memilih Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu.

Abu Ubaidah berjalan di bawah panji Islam; berkhidmat terhadap agamanya baik sebagai tentara maupun sebagai komandan.

Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu pernah mengangkatnya sebagai komandan tertinggi di negeri Syam, namun Abu Ubaidah meminta agar dirinya tidak sebagai komandan tertinggi, akan tetapi Abu Bakar tetap di atas pandangannya mengangkatnya sebagai komandan tertinggi. Saat keadaan kaum muslimin di negeri Syam terhimpit dan mereka berkumpul di Yarmuk, maka Abu Bakar mengangkat Khalid sebagai komandan tertinggi di Syam sebagai ganti dari Abu Ubaidah yang menjadi tentara di Himsh, akan tetapi Umar bin Khaththab mengangkat kembali sebagai komandan tertinggi sepeninggal Abu Bakar Ash Shiddiq, ia sampai berkata, “Tidak ada komandan di atas Abu Ubaidah.”

Ketika itu Abu Ubaidah menyembunyikan berita itu dari Khalid sampai peperangan berakhir, lalu Khalid tahu bahwa Amirul Mukminin Umar telah menurunkannya, sehingga Khalid masuk ke dalam barisan Abu Ubaidah dan berkata kepadanya, “Semoga Allah mengampunimu, telah datang surat dari Amirul Mukminin terkait kepemimpinan yang baru, namun engkau tidak memberitahukanku, engkau tetap shalat di belakangku, padahal kepemimpinan telah berada di tanganmu?” Abu Ubaidah menjawab, “Semoga Allah mengampunimu, aku tidak memberitahukannya kepadamu sampai engkau tahu dari selainku. Aku tidak ingin mematahkan penyeranganmu sampai semuanya selesai, kemudian aku akan memberitahukannya kepadamu insya Allah. Aku tidak menginginkan kekusaan di dunia, dan bukan karena dunia aku beramal, dan bahwa yang engkau lihat akan sirna dan terputus. Kita hanya saudara dalam menjalankan perintah Allah Azza wa Jalla.”

Demikianlah, Abu Ubaidah menjadi komandan tertinggi pasukan kaum muslimin dalam menaklukkan Syam meskipun ketenaran Khalid bin Walid dalam strategi perang lebih tinggi di kalangan orang-orang yang murtad, di kalangan penduduk Irak dan Syam sehingga dibicarakan oleh lawan maupun kawan, akan tetapi Abu Ubaidah terkenal dengan santun dan lembutnya, dada yang lapang, amanah dan jujur serta menginginkan keselamatan hingga dicintai di kalangan penduduk Syam. Oleh karenanya mereka mencintainya dan memudahkan tugasnya, dimana hasilnya banyak kota-kota di Syam yang tunduk mau melakukan shulh (damai), sehingga banyak darah-darah yang terjaga, dan banyak jiwa-jiwa yang tenang.

Demikianlah Abu Ubaidah berusaha menghilangkan keberadaan Romawi di Syam dan berusaha dengan karunia Allah Ta’ala mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.

Umar mengangkatnya sebagai gubernur sehingga ia sebagai gubernur Syam.

Umar menguji Abu Ubaidah ibnul Jarrah

Inilah Abu Ubaidah, ia tidak mau jika dunia masuk ke dalam hatinya meskipun ia hidup di dunia dengan jasadnya, akan tetapi ruhnya telah melayang ke surga Ar Rahman; dimana perhatiannya tertuju kepadanya.

Suatu ketika Umar bin Khaththab pernah mengirimkan uang sebanyak 4.000 dirham dan 400 dinar, lalu ia berkata kepada utusannya, “Lihatlah apa yang dilakukannya!” Ketika itu Abu Ubaidah membagi-bagikan uang itu. Saat utusan Umar menyampaikan kepada Umar apa yang dilakukan Abu Ubaidah dengan harta itu, maka Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dalam Islam orang yang melakukan seperti ini.” (Ath Thabaqat karya Ibnu Sa’ad 3/413)

Ketika Umar tiba di Syam, lalu beliau disambut oleh para komandan pasukan dan para bangsawan, maka Umar berkata, “Di mana saudaraku?” Mereka berkata, “Siapa?” Ia menjawab, “Abu Ubaidah.” Mereka berkata, “Sekarang ia akan datang kepadamu.” Lalu Abu Ubaidah datang di atas unta yang dipasang tali kekangnya, kemudian ia mengucapkan salam kepadanya, lalu Umar berkata kepada orang-orang yang hadir, “Tinggalkanlah kami.”

Selanjutnya Umar berkata kepada Abu Ubaidah, “Antarkan kami ke rumahmu wahai Abu Ubaidah.” Abu Ubaidah berkata, “Apa yang akan engkau lakukan di rumahku wahai Amirul Mukminin? Engkau hanya akan menangisiku saja!”

Maka Umar pun masuk ke rumah Abu Ubaidah, namun ternyata tidak dilihat apa-apa di rumahnya, Umar berkata, “Di mana barang-barangmu? Apakah engkau punya makanan?” Maka Abu Ubaidah bangkit menuju keranjang dan mengambil potongan roti darinya, lalu Umar menangis, maka Abu Ubaidah berkata, “Aku sudah katakan kepadamu, bahwa engkau hanya akan menangisiku wahai Amirul Mukminin. Bukankah cukup bagimu bekal yang menyampaikanmu ke tempat peristirahatanmu!” Umar menjawab, “Engkau telah merubah dunia kepada kami wahai Abu Ubaidah.”

Mendahulukan orang lain daripada diri sendiri

Malik Ad Dar berkata, “Sesungguhnya Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu mengambil 400 dinar dan menaruhnya dalam sebuah kantong, lalu ia berkata kepada pelayannya, “Bawalah ia ke Abu Ubaidah dan tunggulah sejenak di rumahnya untuk engkau lihat apa yang dilakukannya.”

Maka pelayan ini membawa harta itu kepada Abu Ubaidah sambil berkata, “Amirul Mukminin berkata kepadamu, “Gunakanlah untuk sebagian kebutuhanmu,” Abu Ubaidah berkata, “Semoga Allah sambung hubungannya dan merahmatinya.” Lalu Abu Ubaidah berkata kepada pelayannya, “Bawalah tujuh bagian ini ke si fulan, lima bagian ini ke si fulan,…dst.” Sehingga habis.

Maka pelayan ini pulang ke Umar dan menyampaikan kejadian itu, ternyata Umar juga sudah menyiapkan harta semisal itu untuk Mu’adz bin Jabal, “Bawalah ia ke Mu’adz bin Jabal dan tunggulah sejenak di rumahnya untuk engkau lihat apa yang dilakukannya.”

Maka pelayan ini membawa harta itu kepada Mu’adz sambil berkata, “Amirul Mukminin berkata kepadamu, “Gunakanlah untuk sebagian kebutuhanmu,” Mu’adz berkata, “Semoga Allah sambung hubungannya dan merahmatinya.” Lalu Mu’adz berkata kepada pelayannya, “Bawalah ke rumah fulan sekian, ke rumah fulan sekian…dst.”

Lalu istri Mu’adz menengok dan berkata, “Kita juga demi Allah adalah orang-orang miskin, maka berikan juga bagian. Ketika itu tidak tersisa di kain selain dua dinar, lalu diberikan kepadanya.

Maka pelayan ini pulang ke Umar dan menyampaikan kejadian itu, maka Umar pun bergembira sambil berkata, “Mereka adalah bersaudara satu sama lain.”

Saatnya meninggalkan dunia

Abu Ubaidah tinggal di Syam dari sejak ia menaklukannya sampai akhir hayatnya.

Di akhir hayatnya, kaum muslimin yang berada di Syam tertimpa wabah thaun yang dikenal dengan Tha’un Amwas, sehingga merenggut banyak nyawa kaum muslimin. Ketika itu Umar bin Khaththab mengkhawatirkan keadaan kaum muslimin, dan terutama sekali terhadap diri Abu Ubaidah, maka dikirimnya surat agar ia kembali ke Madinah sesegera mungkin, lalu Abu Ubaidah memahami isi surat itu dan berkata kepada kawan-kawannya, “Sesungguhnya Amirul mukminin ingin tetap kekal sesuatu yang tidak kekal,” yakni ia ingin aku selamat dari thaun dan tetap hidup padahal ia tahu bahwa kita akan mati semuanya baik karena tha’un atau lainnya.

Abu Ubaidah kemudian menyampaikan uzurnya tidak bisa mendatangi Umar bin Khaththab dan mengirimkan surat kepadanya, “Aku berada dalam tentara kaum muslimin, dan aku tidak membenci mereka.” Ketika surat itu sampai kepada Umar, maka ia menangis.

Setelah itu Abu Ubaidah meninggal dunia dan wabah tha’un pun hilang.

Suatu ketika sampai berita wafatnya Abu Ubaidah ke telinga Umar, lalu Umar menangis dan mendoakan rahmat dan ampunan untuknya.

Demikianlah Abu Ubaidah, ia wafat setelah hidupnya diisi dengan kezuhudan, kewaraan, pengorbanan, dan jihad di jalan Allah Azza wa Jalla.

Angan-angan Umar bin Khaththab

Umar sangat bersedih atas wafatnya Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Suatu hari ia berkata kepada kawan-kawannya, “Silahkan sampaikan harapan!” maka sebagian mereka berkata, “Aku ingin kalau sekiranya dunia ini dipenuhi emas, lalu aku infakkan di jalan Allah.” Umar berkata, “Silahkan yang lain!” Lalu ada seorang yang berkata, “Aku ingin kalau dunia ini dipenuhi mutiara atau permata, lalu aku infakkan di jalan Allah dan aku sedekahkan.” Lalu Umar berkata, “Silahkan yang lain lagi!” Orang-orang pun berkata, “Kami tidak tahu lagi wahai Umar.” Umar menjawab, “Aku ingin, kalau sekiranya dunia dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah ibnul Jarrah.” (Diriwayatkan oleh Hakim, ia menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi)

Ketika Umar akan wafat ia berkata, “Kalau saja Abu Ubaidah masih hidup, tentu aku angkat ia sebagai khalifah, sehingga jika Allah bertanya kepadaku ‘Mengapa engkau angkat dia sebagai khalifah?” Aku menjawab, “Aku mengangkat untuk mereka orang terpercaya umat ini.”

Semoga Allah meridhai Abu Ubaidah ibnul Jarraj dan mengumpulkan kita bersamanya di surga Firdaus.

Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam

Marwan bin Musa

Maraji: Maktabah Syamilah versi 3.45, Ashabul Rasul Lil Athfal (Mahmud Al Mishri), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger