بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (58)
Upaya Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam Dalam Menjaga Tauhid dan Menutup Jalan ke Arah Syirik
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan
syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh
Muhammad At Tamimi rahimahullah,
yang banyak merujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid
karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
**********
Bab:
Upaya Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam Dalam Menjaga Tauhid dan Menutup Jalan ke Arah
Syirik
Dari
Abdullah bin Asy Syikhkhir radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku pernah pergi
dalam suatu delegasi Bani Amir mennemui Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, lalu kami mengatakan,
أَنْتَ سَيِّدُنَا، فَقَالَ: «السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى»
قُلْنَا: وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا طَوْلًا، فَقَالَ: «قُولُوا بِقَوْلِكُمْ،
أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ»
“Engkau
adalah sayyid (tuan) kami,” maka Beliau bersabda, “As Sayyid (tuan) yang
sebenarnya adalah Allah Tabaraka wa Ta’ala.“ Kami juga mengatakan kepada
Beliau, “Engkau adalah orang yang paling utama dan paling besar kebaikannya.”
Beliau pun bersabda, “Ucapkanlah perkataan atau sebagian perkataan yang wajar,
dan janganlah kalian terseret oleh setan.”
(Hr.
Abu Dawud dengan sanad yang jayyid)
Penjelasan:
Hadits
di atas disebutkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya no. 4806 dan Ahmad
dalam Musnadnya 4/25, dan dishahihkan oleh Al Albani.
Dalam
bab ini diterangkan, bahwa tauhid tidak sempurna tanpa menjauhi segala
perkataan dan perbuatan yang dapat membawa kepada sikap ghuluw (berlebihan)
terhadap makhluk yang dikhawatirkan daripadanya jatuh ke dalam syirik.
Abdullah
bin Asy Syikhkhir bin Auf bin Ka’ab bin Waqdan Al Harisyi adalah seorang
sahabat yang masuk Islam pada saat Fathu (penaklukkan) Makkah yang kemudian
tinggal di Basrah dan diangkat menjadi gubernurnya. Ia merupakan ayah dari
seorang Ahli Fiqih, yaitu Mutharrif.
Hadits
di atas menerangkan, bahwa saat delegasi
Bani Amir datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mereka memuji
Beliau secara berlebihan, maka Beliau melarangnya sebagai bentuk beradab kepada
Allah Azza wa Jalla dan untuk menjaga tauhid. Beliau juga menyuruh mereka untuk
membatasi diri dengan lafaz-lafaz yang tidak ada ghuluw (berlebihan) dan agar
tidak mengucapkan kata-kata yang menunjukkan ketidaksopanan seperti memanggil
dengan kata ‘Muhammad’ tanpa memanggilnya dengan Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam.
Dalam
hadits tersebut terdapat larangan bersikap ghuluw dalam memuji dan menggunakan
lafaz-lafaz yang membebani diri yang terkadang membawanya jatuh ke dalam
syirik.
Faedah:
Tentang
sabda Rasulullah “As Sayyyid (tuan yang sebenarnya) adalah Allah,” Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam
tidak menjawab dengan ‘sayyidukum’ (sayyid kalian) seperti yang disangka, karena
Beliau membantah pernyataan mereka ‘sayyiduna’ (tuan kami) karena dua hal;
Pertama, karena jika as sayyid maknanya umum, yang diambil dari huruf ‘al’, dimana
huruf ‘al’ mengandung arti umum, dimana artinya adalah bahwa ketinggian secara
mutlak adalah milik Allah Azza wa Jalla, akan tetapi jika sayyid yang
disandarkan kepada sesuatu menjadi sayyid bagi sesuatu itu seperti sayyid Bani
Fulan (pemimpin Bani Fulan), sayyidul basyar (pemimpin manusia), dsb.
Kedua, agar tidak memberi kesan, bahwa nama yang disebutkan itu termasuk ke
dalam jenis yang disandarkan kepadanya, karena sayyid segala sesuatu termasuk jenisnya.
Dan As Sayyid adalah salah satu nama Allah Ta’ala yang menjadi bagian makna Ash
Shamad sebagaimana yang ditafsirkan Ibnu Abbas, bahwa Ash Shamad adalah yang
sempurna dalam ilmu, santun, dan ketinggiannya, dan sebagainya (Disebutkan oleh
Ibnu Jarir).
Nabi
shallallahu alaihi wa sallam tidak melarang mereka mengucapkan ‘Engkau adalah
sayyiduna’ bahkan mengizinkan sehingga Beliau bersabda, “Ucapkanlah perkataan
atau sebagian perkataan yang wajar,” akan tetapi Beliau melarang mereka dari
hal itu agar tidak diseret oleh setan, sehingga mereka mengangkat dari sayyid
khusus kepada sayyid yang umum dan mutlak, karena ‘kata sayyiduna’ ini khusus
dan disandarkan, sedangkan kata “as Sayyid” adalah sayyid yang umum dan mutlak
tanpa disandarkan kepada sesuatu.” (Lihat Al Qaulul Mufid 2/519)
Kesimpulan:
1.
Tawadhu
dan beradabnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam kepada Allah Azza wa
Jalla.
2.
Larangan
bersikap ghuluw dalam memuji, apalagi memujinya secara langsung di hadapan.
3.
Kemuliaan
dan ketinggian pada hakikatnya untuk Allah Azza wa Jalla, dan bahwa hendaknya
meninggalkan memuji dengan kata ‘sayyid’.
4.
Larangan
membebani diri dalam menyampaikan kata-kata, dan sepatutnya menyampaikan
kata-kata yang sederhana.
5.
Menjaga
Tauhid dari perkataan dan perbuatan yang dapat menodainya.
**********
Dari
Anas radhiyallahu anhu, bahwa ada beberapa orang yang berkata, “Wahai
Rasulullah, wahai orang yang paling baik di antara kami, wahai putra orang
terbaik di antara kami, wahai tuan kami dan putra tuan kami,” maka Beliau
bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ
وَلَا يَسْتهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ إِنِّي لَا أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ
مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيْهَا اللهُ تَعَالَى أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدُ
اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Wahai
manusia! Ucapkanlah kata-kata yang wajar bagi kalian semua dan jangan terbujuk
oleh setan. Aku tidak suka kalian mengangkatku di atas kedudukan yang Allah Ta’ala
tempatkan bagiku. Aku adalah Muhammad bin Abdullah, hamba dan utusan-Nya.” (Hr.
Nasa’i dengan sanad yang jayyid)
Penjelasan:
Hadits
di atas disebutkan oleh Nasa’i dalam Amalul Yaumi wal Lailah no. 248-249
dan Ahmad dalam Musnadnya no. 12551, dan dinyatakan isnadnya shahih
sesuai syarat Muslim oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah.
Dalam
Hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi
wa sallam tidak suka dipuji dengan kata-kata tersebut agar tidak sampai
berlebihan memuji Beliau, karena Allah Ta’ala telah menyempurnakan Beliau
dengan kedudukan sebagai hamba-Nya, sehingga Beliau tidak suka dipuji secara
berlebihan untuk menjaga posisi tersebut sekaligus membimbing umat agar
meninggalkan hal itu sebagai bentuk nasihat dan menjaga tauhid. Beliau juga
menyurruh mereka menyifati Beliau dengan dua sifat yang merupakan kedudukan
tertinggi seorang hamba, yaitu hamba Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa
sallam. Beliau tidak suka diangkat melebihi posisi yang Allah telah tetapkan
baginya.
Hadits
tersebut menerangkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang
dipuji dengan selain sifat yang telah Allah sematkan dalam diri Beliau untuk
menjaga tauhid dan menutup sikap ghuluw yang mengantarkan kepada kemusyrikan.
Kesimpulan:
1.
Larangan
bersikap ghuluw (berlebihan) dalam memuji dan menyusahkan diri dengan menggunakan
kata-kata yang berlebihan agar tidak membawa kepada kemusyrikan.
2.
Tawadhunya
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan usaha keras Beliau dalam menjaga
tauhid dari segala yang merusaknya.
3.
Beliau
adalah hamba Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
4.
Peringatan
agar tidak terpedaya oleh tipu daya setan, dan bahwa terkadang ia datang dengan
mengajak melakukan perbuatan yang berlebihan sehingga melewati batas syariat.
Bersambung....
Wallahu
a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Al Qaulul Mufid (Syaikh M. Bin Shalih
All Utsaimin), Maktabah Syamilah, dll.
0 komentar:
Posting Komentar