بسم
الله الرحمن الرحيم
Serba-Serbi Puasa Ramadhan (2)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan
pembahasan tentang serba-serbi puasa Ramadhan yang banyak kami rujuk dari kitab
70 Masalah Fish Shiyam karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid hafizhahullah,
semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Puasa orang yang sudah
lanjut usia
30. Orang yang telah
lanjut usia atau tua renta yang telah hilang kemampuannya, maka tidak wajib
berpuasa, ia boleh berbuka ketika puasa terasa berat baginya. Adapun bagi
lansia yang sudah pikun dan tidak mampu membedakan lagi (hilang tamyiznya),
maka puasa tidak wajib baginya, dan keluarganya pun tidak berkewajiban apa-apa,
karena bebannya telah gugur.
31. Barang siapa yang
memerangi musuh, atau musuh mengepung negerinya, dan puasa membuat dirinya
lemah untuk melawan musuh, maka boleh baginya berbuka meskipun ia tidak dalam
keadaan safar. Demikian pula jika ia perlu berbuka sebelum berperang, maka
boleh berbuka.
32. Siapa saja yang
memiliki sebab berbuka yang tampak, seperti orang yang sakit, maka boleh
berbuka secara tampak terlihat. Tetapi, siapa saja yang sebab berbukanya
tersembunyi, seperti wanita haidh, maka lebih utama berbuka secara sembunyi
agar tidak mendapatkan tuduhan.
Niat dalam puasa
33. Disyaratkan niat
dalam puasa Ramadhan, dan pada semua puasa wajib lainnya, seperti puasa qadha
dan kaffarat. Dan boleh memasang niat di bagian mana saja dari malam hari
meskipun hanya sesaat sebelum terbit fajar. Niat adalah keinginan dalam hati
untuk melakukan suatu perbuatan. Melafazkannya adalah perkara bid’ah, dan orang
yang berpuasa Ramadhan tidak harus meperbaharui niat pada setiap malam bulan
Ramadhan, bahkan cukup baginya niat untuk berpuasa Ramadhan ketika telah masuk
bulan Ramadhan.
34. Puasa sunah mutlak
tidak disyaratkan memasang niat di malam hari. Adapun puasa sunah khusus, yang
lebih hati-hati adalah memasang niat di malam hari.
35. Siapa saja yang
memulai puasa wajib, seperti puasa qadha, nadzar, dan kaffarat, maka ia harus
menyempurnakannya, dan tidak boleh membatalkannya tanpa udzur. Adapun puasa sunah,
maka dia boleh memilih antara berpuasa atau tidak meskipun tanpa udzur.
36. Barang siapa yang
tidak mengetahui masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar, maka ia
harus menahan diri pada sisa-sisa hari itu, dan ia harus mengqadha menurut jumhur
ulama.
37. Orang yang dipenjara
atau ditahan jika mengetahui masuknya bulan Ramadhan dengan menyaksikan
langsung atau mendapatkan berita dari orang yang terpercaya, maka ia wajib
berpuasa. Jika tidak, maka ia berijtihad untuk dirinya dan beramal dengan perkiraan
kuatnya.
Berpuasa dan berbuka
38. Jika telah hilang
seluruh bulatan matahari, maka orang yang berpuasa telah berhak berbuka, dan
warna merah yang sangat di ufuk langit tidak dianggap.
39. Jika fajar telah
terbit, maka orang yang berpuasa wajib menahan diri pada saat itu juga, baik ia
mendengar azan atau belum. Adapun sikap hati-hati dengan berimsak sebelum tiba
waktu fajar, misalnya 10 menit sebelum Subuh dan sebagainya adalah perkara
bid’ah.
40. Negeri yang di sana
siang dan malamnya selama 24 jam, maka kaum muslimin di sana wajib berpuasa
meskipun siang harinya lama.
Hal-hal yang membatalkan
puasa
41. Semua yang
membatalkan selain haid dan nifas tidak membuat orang yang berpuasa batal
kecuali setelah terpenuhi tiga syarat: mengetahuinya, ingat; tidak lupa, dan
atas dasar pilihannya; tidak dipaksa. Di antara hal yang membatalkan itu adalah
berjima, muntah dengan sengaja, datang haidh, berbuka, makan dan minum.
42. Hal-hal yang
membatalkan puasa yang tergolong ke dalam makanan dan minuman misalnya adalah
obat-obatan dan pil yang ditelan melalui mulut, jarum yang mengandung gizi
(infus), suntik/injeksi darah dan transfusi darah (jika sebagai pengganti
makanan dan minuman). Adapun yang bukan sebagai pengganti makanan dan minuman,
akan tetapi sebagai pengobatan, maka tidak membatalkan puasa, demikian pula cuci
ginjal.
Pendapat yang rajih
(kuat) bahwa enema (memasukkan sesuatu melaui anus), tetes mata dan telinga,
mencabut gigi, dan mengobati luka tidaklah membatalkan puasa. Demikian pula
semprotan untuk penyakit asma, mengambil darah untuk cek darah, menggunakan
obat kumur selama tidak tertelan, menyumbat gigi dengan obat gigi, lalu ia
mendapatkan rasanya di kerongkonngan juga sama tidak membuat puasanya batal.
43. Barang siapa yang
makan atau minum dengan sengaja di siang bulan Ramadhan tanpa udzur, maka dia
telah melakukan dosa besar, dan wajib bertaubat serta mengqadhanya.
44. Jika seorang lupa,
lalu makan dan minum, maka hendaknya ia lanjutkan puasanya, karena hal itu
berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya makan dan minum. Dan jika
seseorang melihat orang lain yang sedang berpuasa lupa makan atau minum, maka
hendaknya ia mengingatkannya.
45. Barang siapa yang
butuh berbuka karena hendak menyelamatkan orang yang terpelihara darahnya dari
kebinasaan, maka ia boleh berbuka dan melakukan qadha.
46. Barang siapa yang
berkewajiban puasa Ramadhan, lalu ia melakukan jima di siang hari dengan
sengaja dan atas dasar pilihannya, maka ia telah merusak puasanya, ia wajib
bertaubat, menyempurnakan puasa pada hari itu, mengqadhanya, dan melakukan
kaffarat berat. Dalam hal ini sama saja, baik melakukan hubungan dengan
berzina, liwath (homoseks), maupun mendatangi hewan.
47. Jika seorang ingin
menjimai istrinya, lalu ia berbuka terlebih dahulu dengan makan, maka dosanya
lebih berat lagi, karena ia telah menodai kemuliaan bulan Ramadhan dua kali,
yaitu karena makan dan karena jima, dan kaffarat berat lebih berhak dia terima.
48. Mencium,
bersentuhan, berpelukan, serta memandang beberapa kali kepada istri atau budaknya
jika ia mampu menahan dirinya boleh, tetapi jika dirinya mudah naik syahwatnya
dan tidak menguasai dirinya, maka tidak boleh.
49. Jika seorang
berjima, lalu terbit fajar, maka ia harus segera melepasnya, dan puasanya tetap
sah, meskipun setelah dilepas maninya keluar. Tetapi jika dia terus berjima
setela terbit fajar, maka ia batal. Oleh karenanya, ia harus bertaubat,
mengqadhanya, dan melakukan kaffarat berat.
50. Jika di Subuh hari
ia masih dalam keadaan junub (karena di malam hari), maka tidak mengapa pada
puasanya. Karena tidak mengapa menunda mandi janabat, mandi haidh dan nifas
setelah terbit fajar. Akan tetapi, hendaknya ia segera mandi agar tidak
terlambat shalatnya.
51. Apabila orang yang
berpuasa tidur, lalu bermimpi (hingga keluar mani), maka puasanya tidak batal
berdasarkan ijma.
52. Barang siapa yang
melakukan onani di siang bulan Ramadhan dengan sesuatu yang sebenarnya ia mampu
menjaga diri darinya, seperti menyentuh dan memandang beberapa kali, maka ia
wajib bertaubat dan menahan diri pada sisa-sisa harinya, dan mengqadha hari
tersebut.
53. Barang siapa yang
terdesak untuk muntah, maka ia tidak berkewajiban mengqadha. Barang siapa yang
berusaha muntah atau sengaja muntah, maka ia harus mengqadha. Jika ia terdesak
untuk muntah, lalu muntah itu kembali ke dalam, maka tidak batal. Adapun
mengunyah, jika bagian dari yang dikunyah itu terurai, atau ada rasa yang
timbul, atau ada manisnya, maka haram dikunyah. Jika yang dikunyah itu masuk ke
kerongkongan, maka ia batal. Sedangkan dahak, jika ia telan sebelum naik ke
mulut, maka tidak batal puasanya. Tetapi ketika ia telah setelah sampai di
mulut, lalu ia telan, maka ia batal, dan dimakruhkan mencicipi makanan tanpa
ada keperluan.
54. Siwak merupakan
perkara sunnah bagi orang yang berpuasa di siang hari.
55. Apa saja yang
menimpa orang yang berpuasa seperti luka, mimisan, kemasukan air atau bensin ke
kerongkongan tanpa ada keinginan darinya, maka tidak membatalkan puasa.
Demikian pula tidak mengapa air mata turun sampai ke kerongkongan, atau ketika
ia meminyaki rambut atau kumisnya, atau mewarnainya dengan inai, lalu ia
mendapatkan rasanya pada kerongkongannya. Demikian pula tidak batal memakai
inai, celak, dan minyak rambut, dan memakai salep yang basah dan licin untuk
kulit. Dan dibolehkan juga mencium wewangian dan aroma dupa, akan tetapi
hendaknya ia berhati-hati dari masuknya asap ke kerongkongan.
56. Sikap yang lebih
hati-hati bagi orang yang berpuasa adalah tidak berbekam. Dalam masalah ini ada
khilaf yang dalam.
57. Merokok termasuk
hal-hal yang membatalkan, dan bukan sebagai udzur untuk meninggalkan puasa.
58. Menyelam ke dalam
air atau berselimut dengan kain basah untuk mendinginkan badan tidak mengapa
bagi orang yang berpuasa.
59. Jika seorang makan
atau minum, atau berjima karena mengira keadaan masih malam, namun ternyata
fajar telah terbit, maka ia tidak terkena kewajiban apa-apa.
60. Jika seorang
berbuka, karena mengira matahari telah tenggelam padahal belum, maka menurut
jumhur (mayoritas ulama) ia harus mengqadha.
61. Jika fajar telah
terbit, sedangkan di mulutnya masih ada makanan atau minuman, maka para ahli
fiqih sepakat, bahwa ia harus membuangnya, dan puasanya tetap sah.
Hukum-hukum seputar
puasa bagi wanita
62. Wanita yang ternyata
telah baligh, namun malu menyatakannya sehingga ia berbuka, maka ia wajib
bertaubat dan mengqadha puasanya itu di samping menambah memberi makan orang
miskin setiap hari tidak berpuasa sebagai kaffaratnya karena menundanya sampai
tiba bulan Ramadhan berikutnya sedangkan ia belum mengqadha.
63. Wanita tidak boleh
berpuasa selain puasa Ramadhan saat suaminya ada di rumah kecuali dengan
izinnya. Jika ia safar, maka tidak mengapa.
64. Wanita haidh ketika
melihat ada lendir putih yang menunjukkan bahwa dirinya telah suci, maka ia
meniatkan puasa dari malam hari dan berpuasa. Jika ia tidak mengetahui sudah
suci atau belum, maka ia letakkan semacam kapas dan semisalnya. Jika ia
keluarkan ternyata bersih, maka ia berpuasa. Jika wanita haidh atau nifas telah
berhenti darahnya di malam hari, maka ia pasang niat puasa, dan jika fajar
telah terbit sedangkan ia belum mandi, maka menurut para ulama seluruhnya
puasanya sah.
65. Wanita yang
mengetahui bahwa haidhnya biasanya besok datang, maka ia meneruskan niat dan
puasanya, dan tidak berbuka sampai melihat darah.
66. Yang paling utama
bagi wanita haidh adalah tetap dengan keadaannya secara tabiat, ridha dengan
ketetapan Allah, dan tidak perlu mengkonsumsi pil pencegah haidh.
67. Jika wanita hamil
keguguran, sedangkan janinnya mulai berbentuk manusia, maka darahnya adalah
darah nifas sehingga ia tidak berpuasa. Jika belum terbentuk, maka darahnya
adalah darah istihadhah ia wajib berpuasa jika mampu. Wanita yang terkena nifas
jika suci sebelum 40 hari, maka ia berpuasa dan mandi untuk shalat. Tetapi jika
melebihi 40 hari, maka ia berniat puasa dan mandi, darah yang keluar di atas 40
hari adalah darah istihadhah.
68. Darah istihadhah
tidak berpengaruh apa-apa terhadap keabsahan puasa.
69. Menurut sebagian
ulama, bahwa wanita hamil dan menyusui diqiaskan dengan orang yang sakit,
keduanya boleh berbuka dan berkewajiban mengqadha, baik mengkhawatirkan
terhadap keadaan dirinya maupun janinnya.
70. Wanita yang
berkewajiban puasa jika dijimai suaminya di siang hari Ramadhan dengan
keridhaannya, maka hukumnya seperti hukum suami (tekena kaffarat di samping
wajib mengqadha), tetapi jika ia dipaksa, maka istri hendaknya berusaha
menolaknya dan ia tidak terkena kaffarat.
Demikianlah ringkasan
seputar puasa, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membantu kita untuk terus
mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan memperbaiki ibadah kepada-Nya, aamiin.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Sab’una mas’alatan fish shiyam (M.
Shalih Al Munajjid), dll.
0 komentar:
Posting Komentar