بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum
Salaf dan Rasa Takut Mereka Kepada Allah Azza wa Jalla
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum
Salaf dalam rasa takut mereka kepada Allah Azza wa Jalla yang kami ambil dari
kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan
Bahauddin Aqil, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum
salaf dalam rasa takut mereka kepada Allah Azza wa Jalla
Ibnu Mas’ud ketika
sedang duduk (di majlis) berkata, “Sesungguhnya kalian berada di tengah
perjalanan siang dan malam di tengah lingkaran ajal yang selalu berkurang dan
amal yang selalu terpantau, sedangkan kematian datang dengan tiba-tiba. Barang
siapa yang menanam kebaikan, niscaya ia akan menuai kebahagiaan. Dan barang
siapa yang menanam keburukan, niscaya ia akan menuai penyesalan. Setiap orang
yang menanam akan mendapatkan sesuai apa yang ia tanam. Orang yang lambat tidak
dapat dipercepat oleh kedudukannya, dan orang yang berhasrat tidak memperoleh
selain yang ditakdirkan untuknya. Oleh karena itu, barang siapa yang diberikan
kebaikan, maka Allah-lah yang memberinya, dan barang siapa yang dilindungi dari
keburukan, maka Allah-lah yang menjaganya. Orang-orang yang bertakwa adalah
para pemimpin, para Ahli Fiqh adalah para pembimbing umat. Duduk-duduk bersama
mereka adalah sebuah tambahan (kemuliaan).” (Siyar A’lamin Nubala 1/497)
Dari Al Fasawiy,
telah menceritakan kepada kami Abul Yaman dari Hariz bin Utsman, dari Abul
Hasan Imran bin Nimran, bahwa Abu Ubaidah pernah berjalan di tengah pasukan,
lalu ia berkata, “Ketahuilah! Betapa banyak orang yang membersihkan pakaiannya,
namun ia mengotori agamanya. Ketahuiah! Betapa banyak orang yang merasa
memuliakan dirinya, padahal sebenarnya ia menghinakannya. Segeralah mengganti
keburukan yang sudah lama dengan kebaikan yang baru.” (Siyar A’lamin Nubala
1/18)
Dari Ibnu Syaudzab
ia berkata, “Ketika Abu Hurairah akan meninggal dunia, maka ia menangis, lalu
ia ditanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Jauhnya perjalanan,
sedikitnya perbekalan, dan banyaknya rintangan, sementara tempat kembali, bisa
ke surga atau ke neraka.” (Shifatush Shofwah 1/694)
Dari Ubaidullah
bin As Sirriy ia berkata, “Ibnu Sirin berkata, “Sesungguhnya aku benar-benar
tahu dosa yang membuatku terlilit hutang, yaitu pernyataanku kepada seseorang
sejak 40 tahun yang lalu, “Wahai orang yang bangkrut!” Lalu aku menyampaikan
hal itu kepada Abu Sulaiman Ad Darani, ia menjawab, “Dosa mereka sedikit,
sehingga mereka mengetahui dari mana mereka diberi musibah itu, sementara
dosa-dosaku dan dosa-dosamu banyak, sehingga kita tidak mengetahui dari mana
kita ditimpa musibah.” (Shifatush Shofwah 3/246).
Dari Abdullah bin
Abdurrahman bin Yazid bin Jabir ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku
pamanku Yazid bin Yazid bin Jabir dari Atha’ Al Khurasani, bahwa ia berkata,
“Aku tidak mewasiatkan kalian tentang urusan dunia kalian. Kalian sudah
mendapatkan wejangan tentangnya, dan kalian pun sudah berhasrat kepadanya.
Tetapi aku mewasiatkan kalian tentang urusan akhirat kalian. Ambillah bekal
dari dunia yang fana ini untuk persiapan menghadapi kehidupan akhirat yang
kekal abadi. Jadikanlah dunia seperti sesuatu yang akan kalian tinggalkan. Demi
Allah, kalian akan berpisah dengannya. Jadikanlah kematian seperti sesuatu yang
kalian akan rasakan. Demi Allah, kalian akan merasakannya. Jadikanlah akhirat
seperti sesuatu yang kalian akan singgahi. Demi Allah, kalian akan
mendatanginya. Akhirat itulah tempat manusia semuanya. Tidak ada seorang pun
yang hendak bepergian jauh kecuali ia telah menyiapkan perbekalan. Barang siapa
yang telah mengambil perbekalan yang berguna bagi dirinya dalam safar, maka ia
akan bahagia. Dan barang siapa yang keluar bersafar tanpa menyiapkan
perbekalan, maka ia akan menyesal. Ketika kepanasan, ia tidak mendapatkan
tempat berteduh, dan ketika haus ia tidak mendapatkan air untuk menghilangkan
rasa hausnya. Sesungguhnya perjalanan dunia ini pasti berakhir, dan manusia
yang paling cerdas adalah orang yang selalu bersia-siap untuk perjalanan yang
tidak pernah putus.” (Shifatush Shofwah 4/151).
Dari Qabishah bin
Qais Al ‘Anbari ia berkata, “Dhahhak bin Muzahim ketika tiba sore hari
menangis, lalu ia ditanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku
tidak mengetahui, amalku yang mana pada hari ini yang naik (diterima)?” (Shifatush
Shofwah 4/150)
Dari Kinanah bin
Jibilah As Sullamiy ia berkata, “Bakr bin Abdullah berkata, “Jika engkau
melihat orang yang lebih tua darimu, maka katakanlah, “Orang ini telah
mendahuluiku dalam keimanan dan amal saleh. Dia lebih baik daripada diriku. Dan
jika engkau melihat orang yang lebih muda darimu, maka katakanlah, “Aku telah
mendahuluinya berbuat dosa dan kemaksiatan. Oleh karena itu, dia lebih baik
dariku. Dan jika engkau melihat saudara-saudaramu memuliakanmu dan
membesarkanmu, maka katakanlah, “Ini adalah keutamaan yang akan dipertanggung
jawabkan,” dan jika engkau melihat mereka meremehkanmu, maka katakanlah, “Ini
adalah akibat dosa yang aku lakukan.” (Shifatush Shofwah 3/248)
Dari Al Qasim bin
Muhammad ia berkata, “Kami pernah bersafar bersama Ibnul Mubarak, namun sering
sekali terlintas dalam benakku, “Karena sebab apa orang ini lebih utama
dibanding kami sehingga ia terkenal di tengah-tengah manusia? Kalau ia
melakukan shalat, kami pun melakukan shalat. Kalau ia berpuasa, kami pun
melakukan puasa, dan kalau ia berperang, kami pun berperang, dan kalau ia
berhaji, kami pun berhaji. Di sebagian perjalanan kami, yaitu ketika kami
berada di negeri Syam pada suatu malam, kami makan malam di sebuah rumah,
tiba-tiba lampunya padam, lalu salah seorang di antara kami bangun untuk
mengambil lampu dan keluar untuk mencari sesuatu yang bisa membuatnya nyala. Beberapa
saat kemudian ia datang dengan membawa lampu, kemudian aku melihat wajah Ibnul
Mubarak dan janggutnya telah basah karena menangis, maka aku berkata dalam
hati, “Karena rasa takut inilah orang ini diutamakan di atas kami. Mungkin saja
ketika lampu padam dan keadaan menjadi gelap, ia ingat peristiwa pada hari
Kiamat.” (Shifatush Shofwah 4/145)
Dari Khalid bin Umar ia berkata, “Utbah bin
Ghazwan pernah berkhutbah kepada kami. Ketika itu ia sebagai gubernur Basrah,
ia memuji Allah dan menyanjungnya, lalu berkata, “Amma ba’du, sesungguhnya
dunia telah memberitahukan akan kefanaannya dan akan pergi dengan segera, dan
tidak tersisa kecuali seperti sisa air dari wadah yang dikumpulkan pemiliknya.
Sesungguhnya kalian akan berpindah dari dunia ke tempat yang tidak akan binasa,
maka pindahlah dengan membawa amal yang terbaik yang bisa kalian siapkan.
Sesungguhnya telah diberitahukan kepada kami, bahwa batu jika dijatuhkan dari
tepi neraka Jahannam akan jatuh selama tujuh puluh tahun, namun belum sampai ke
dasarnya. Demi Allah, neraka itu akan dipenuhi. Apakah kalian heran?
Sesungguhnya telah disampaikan kepada kami bahwa jarak antar dua daun pintu
surga sejauh jarak perjalanan 40 tahun. Pada suatu saat akan tiba hari ia
didatangi oleh banyak orang dengan berdesakan. Sungguh, aku melihat diriku
adalah salah seorang dari tujuh orang yang bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika itu, kami tidak mempunyai makanan selain dedaunan
pohon sehingga rahang kami terluka. Aku pernah menemukan kain selimut, lalu aku
belah menjadi dua bagian; untukku dan untuk Sa’ad bin Malik; aku pakai
separuhnya, sedangkan Sa’ad bin Malik memakai separuhnya lagi. Namun pada hari
ini, tidak ada seorang pun dari kami kecuali telah menjadi salah seorang
gubernur di beberapa negeri. Aku berlindung kepada Allah merasa besar dalam
diriku, namun hina di sisi Allah.” (HR. Muslim)
Telah diriwayatkan
dari Al Marrudzi, ia berkata, “Aku berkata kepada Imam Ahmad, “Bagaimana keadaanmu
di pagi hari?” Ia menjawab, “Bagaimana (menurutmu) keadaan seorang yang
Tuhannya menuntutnya mengerjakan kewajiban, nabinya menuntutnya mengamalkan
sunnahnya, dua malaikat menuntutnya memperbaiki amal, dirinya menuntut
mengikuti hawa nafsunya, iblis menunutnya melakukan perbuatan keji, malaikat
maut selalu mengawasi untuk mencabut ruhnya, sedangkan keluarganya menuntutnya
untuk diberi nafkah.” (Siyar A’lamin Nubala 11/227)
Ibnu Khubaiq
berkata, “Hudzaifah Al Mur’isyi berkata kepadaku, “Hanya ada empat; yaitu kedua
matamu, lisanmu, hawa nafsumu, dan hatimu. Perhatikanlah matamu; jangan engkau
gunakan untuk melihat hal yang tidak dihalalkan bagimu. Perhatikanlah lisanmu;
jangan kamu gunakan untuk mengucapkan sesuatu yang Allah mengetahui tidak
sejalan dengan hatimu. Perhatikanlah hatimu; jangan ada di dalamnya dendam dan
kebencian kepada salah seorang dari kaum muslim. Dan perhatikanlah hawa
nafsumu, jangan biarkan terumbar. Jika keempat perkara ini tidak kamu
perhatikan, maka lemparlah debu ke atas kepalamu.” (Shifatush Shofwah
4/268).
Al Qadhiy Husain
menceritakan tentang gurunya Al Qaffal, bahwa sering kali ia menangis ketika
sedang mengajar, lalu ia mengangkat kepalanya sambil berkata, “Alangkah
lalainya kita terhadap hal yang diwajibkan kepada kita.”
Teman perjalanan
yang suka menangis
Sebagaimana yang
diceritakan Mukhawwal, bahwa Bahim Al ‘Ijilliy pernah meminta kepadanya seorang
yang baik yang bisa menemaninya dalam safar haji, maka Mukhawwal mencarikan
seorang yang saleh untuknya dan mempertemukan keduanya sehingga terjadi
kesepakatan untuk pergi haji bersama, kemudian Bahim pulang menemui
keluarganya. Beberapa hari kemudian, laki-laki saleh itu datang dan berkata,
“Wahai saudaraku, aku ingin engkau menjauhkan dariku kawanmu itu dan mencari
kawan yang lain selainku, “ lalu Mukhawwal berkata, “Memangnya ada apa? Demi
Allah, aku tidak mengetahui di Kufah ada orang yang sepertinya dalam hal akhlak
yang baik dan kesabaran. Aku pernah mengarungi lautan bersamanya, dan tidak
melihat darinya selain kebaikan.” Laki-laki itu balik berkata, “Kasihanilah
dirimu. Aku diberi kabar, bahwa orang ini sering menangis dan hampir tidak
berhenti tangisnya. Hal ini tentu akan menyusahkan kami di perjalanan.”
Mukhawwal berkata, “Sesungguhnya tangisan itu terkadang karena mengingat Allah,
hatinya tersentuh lalu menangis, dan bukankah engkau juga terkadang menangis?”
Ia menjawab, “Ya. Akan tetapi kudengar, tangisnya melewati batas normal karena
sering menangis.” Mukhawwal berkata, “Temanilah dia, mudah-mudahan engkau dapat
memperoleh manfaat darinya.” Ia menjawab, “Saya akan beristikharah dulu kepada
Allah.”
Ketika tiba hari
keberangkatan, lalu disiapkan unta dan perbekalan, maka Bahim duduk di sebuah naungan
dinding, kemudia ia letakkan tangannya di bawah janggutnya, lalu air matanya
mengalir sampai ke kedua pipinya dan terus mengalir sampai membasahi janggutnya
dan mengenai dadanya. Bahkan demi Allah, aku melihat air matanya jatuh ke
tanah.”
Maka laki-laki
yang hendak menemaninya berkata, “Wahai Mukhawwal. Temanmu sudah mulai menangis.
Ia tidak cocok menjadi kawanku.” Maka Mukhawwal berkata, “Temanilah, mungkin
saja ia ingat keluarganya dan ketika berpisah dengan mereka, hatinya pun
sedih.” Ternyata Bahim mendengar perkataan tersebut, maka ia berkata, “Wahai
saudaraku, demi Allah, bukan karena itu. Ini tidak lain karena aku ingat
perjalanan menuju akhirat.” Maka suara Beliau melengking karena tangisan.
Lalu laki-laki ini
berkata, “Demi Allah, janganlah ini menjadi awal permusuhanmu dan kebencianmu
kepadaku. Tidak ada urusan antaraku dengan Bahim. Ada baiknya, engkau
menyiapkan teman untuk Bahim orang seperti Dawud Ath Tha’iy dan Sallam Abul
Ahwash agar satu sama lain saling menangis hingga puas atau mereka mati
bersamaan.”
Laki-laki ini
berkata, “Aku terus menemaninya dan berkata dalam hati, “Kasihanilah dirimu,
semoga saja ini adalah sebaik-baik safar yang pernah aku lakukan.”
Keduanya terus
berangkat hingga naik haji dan pulang kembali, keduanya sampai merasakan bahwa
hanya dia saja saudaranya; tidak yang lain.
Setelah tiba, Mukhawwal
mengucapkan salam kepada laki-laki yang menjadi tetangganya itu, lalu laki-laki
ini berkata, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai saudaraku. Aku
tidak menyangka di antara manusia ada lagi orang yang seperti Abu Bakar. Demi
Allah, dia yang membiayai kebutuhanku padahal dia orang tidak punya sedangkan
aku orang kaya. Dia yang melayaniku padahal aku adalah seorang pemuda yang kuat
sedangkan dia orang tua yang sudah lemah. Dia yang memasak untukku padahal dia
berpuasa sedangkan saya tidak.”
Kemudian Mukhawwal
mendatangi Bahim, mengucapkan salam kepadanya dan berkata, “Bagaimana
pendapatmu tentang kawanku itu?” Bahim menjawab, “Ia teman yang baik, banyak
berdzikr kepada Allah Azza wa Jalla, banyak membaca Al Qur’an, mudah menangis,
dan mudah memaafkan kesalahan teman. Semoga Allah balas engkau dengan
kebaikan.”(Shifatush Shofwah 3/179-182).
Wallahu a’lam
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab Aina Nahnu min Akhlaqis salaf oleh Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar