بسم الله الرحمن الرحيم
Mengenal
Jalan
Ahlussunnah wal Jama’ah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Di zaman sekarang, kita melihat banyaknya
golongan atau aliran yang beraneka ragam, masing-masing dari mereka mengaku
bahwa merekalah yang benar, sehingga seorang muslim yang awam melihat seperti
ini menjadi bingung, golongan manakah yang harus diikuti?
Bagi seorang muslim yang telah belajar
Islam dengan benar akan mengetahui bahwa banyaknya perselisihan dan golongan
ini telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sejak
berabad-abad yang silam, Beliau pun telah memberitahukan jalan keluar kepada
umatnya yang hidup sepeninggalnya nanti tentang sikap yang harus dilakukannya ketika
menemukan zaman yang di sana terjadi banyak perselisihan agar tidak tersesat.
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
سَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
“Nanti
kamu akan melihat sepeninggalku perselisihan yang dahsyat, maka peganglah
Sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus serta mendapatkan petunjuk.”
(Shahih, HR. Ibnu Majah)
Nah, sekarang mari kita mengenal jalan Ahlussunnah
wal Jama’ah yang merupakan jalan golongan yang selamat.
Ahlus sunnah wa Jama’aah sebagai golongan
yang selamat adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As
Sunnah, sebagaimana yang dipahami Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para sahabatnya. Mereka disebut Al Jama’ah karena mereka berkumpul di
atas yang benar dan tidak berpecah-belah (meskipun mereka sendiri dan berjauhan
tempat dan zaman). Mereka disebut juga Ahlul hadits, Ahlul atsar, Ahlul ittibaa’
(karena mengikuti yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), Ath
Thaaifah Al Manshuurah (golongan yang ditolong oleh Allah Ta’ala), Al Firqah An
Naajiyah (golongan yang selamat) dan Al Ghurabaa’ (orang-orang yang dianggap
asing).
Sumber rujukan
mereka adalah Al Qur’an, As Sunnah yang shahih dan kesepakatan (ijmaa’) As
Salafus shaalih. Mereka terima sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
yang shahih meski ahad (jalur periwayatannya tidak mutawatir).
Dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah
langkah mereka adalah mencari dalil yang tegas
(sharih) yang menjelaskan ayat atau hadits itu, lalu mengikuti paham As
Salafus Shaalih (orang-orang terdahulu yang terdiri dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, para sahabat dan Taabi’in, karena mereka adalah sebaik-baik
generasi, disamping itu mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang
agama ini), kemudian mengikuti penjelasan para ulama yang mengikuti jejak
mereka.
Contoh dalam hal ini adalah apa yang
dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahulah dalam mukadimah kitab
tafsirnya, ia berkata,
“Apabila ada
seseorang yang bertanya, “Apa cara terbaik dalam menafsirkan (Al Qur’an)?”
Jawabnya, “Sesungguhnya cara terbaik dalam hal ini adalah menafsirkan Al Qur’an
dengan (penjelasan) Al Quran ; yang masih belum jelas di ayat ini mungkin
dijelaskan di ayat lain. Jika kamu tidak menemukan (penjelasan di ayat lain),
maka dengan melihat As Sunnah, karena ia adalah pensyarah Al Qur’an dan
penjelasnya…dst.” Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan, “Jika kita tidak menemukan
(penjelasannya) dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka kita melihat pendapat para
sahabat, karena mereka lebih tahu tentang hal itu…dst. » Ibnu Katsir
berkata lagi, “Jika kamu tidak menemukan dalam Al Qur’an, As Sunnah juga dari
para sahabat, maka dalam hal ini para imam melihat pendapat para tabi’iin…dst.”
Mereka (Ahlus
sunnah wal jamaa’ah) tunduk kepada Allah dan RasulNya lahir-batin, oleh karenanya
Al Qur’an atau As Sunnah yang shahih tidak mereka tolak dengan qiyas, perasaan,
pendapat seorang syaikh, imam dsb.
Setiap yang dilarang Allah dan Rasul-Nya,
segera mereka tinggalkan dan setiap perintah mereka kerjakan sesuai kemampuan.
Menurut mereka,
akal yang sehat itu selamanya sejalan dengan Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak
ada pertentangan selamanya. Menurut mereka juga, bahwa setiap yang di
ada-adakan dalam agama ini adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan
setiap kesesatan tempatnya di neraka.
Dalam masalah yang mereka perselisihkan,
maka mereka kembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah, kemudian mereka menerima
dengan sepenuh hati. Mereka kedepankan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu
'alaihi wa sallam di atas perkataan yang lain, mereka junjung sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka praktekkan dalam keseharian.
Mereka tidak ta’ashshub (fanatik) selain
kepada firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam, mereka tahu betapa pun tingginya kedudukan seseorang, namun ia bisa
salah.
Mereka muliakan para imam mujtahid, namun tidak
ta’ashshub dengan mereka, mereka (Ahlus sunnah wal jamaa’ah) mengambil fiqh
dari Al Qur’an, As Sunnah yang shahih, serta pendapat mereka jika sesuai dengan
hadits shahih, karena mereka (para imam mujtahid) menyuruh para pengikutnya
untuk berpegang dengan hadits yang shahih dan meninggalkan pendapat yang
menyelisihinya.
Imam Abu Hanifah berkata, “Jika hadits itu
shahih maka itulah madzhabku,” ia juga mengatakan, “Jika aku mengatakan suatu
perkataan, namun ternyata bertentangan dengan kitab Allah dan berita (hadits)
Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tinggalkan pendapatku.”
Ahlus sunnah wal jamaa’ah mengajak kaum
muslimin berpegang dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para sahabatnya.
Mereka (Ahlus sunah wal jamaa’ah) mengingkari
segala macam undang-undang yang menyelisihi hukum Islam, mereka mengajak
manusia berhukum dengan hukum Allah Subhaanahu wa Ta'aala dan RasulNya
shallallahu 'alaihi wa sallam; karena keduanyalah sumber kebahagiaan bagi
manusia dunia dan akhirat. Mereka yakin bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah yang bisa memperbaiki keadaan yang rusak
dan cocok di setiap zaman dan setiap tempat. Dan sebab rusaknya dunia secara
umum serta dunia Islam secara khusus adalah karena tidak merujuk kepada kitab
Allah dan sunah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemuliaan bagi kaum muslimin hanya bisa
didapat dengan merujuk kepada keduanya, berdasarkan firman Allah ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sampai mereka mau merubah diri mereka
sendiri.” (QS. Ar Ra’d : 11)
Khatimah
Cukuplah kiranya sya’ir karya Syaikh Mullaa
‘Umraan di bawah ini menutup pembicaraan tentang jalan Ahlus Sunnah wal Jama’aah,
اِنْ كَانَ تَابِعُ اَحْمَدَ مُتَوَهَّبًا فَاَنَااْلمُقِرُّ بِأَنَّنِيْ وَهَّابِيٌّ
اَنْفِى الشَّرِيْكَ عَنِ اْلِالهِ فَلَيْسَ لِيْ رَبٌّ سِوَى اْلمُتَفَرِّدِ اْلوَهَّابِ
لاَقُبَّةَ تُرْجَى وَلاَوَثَنٌ وَلَا قَبْرٌ لَهُ سَبَبٌ مِنَ اْلاَسْبَابِ
كَلاَّوَلَا حَجَرٌ, وَلاَشَجَرٌ وَلَا عَيْنٌ وَلَانُصُبٍ مِنَ اْلأَنْصَابِ
أَيْضًاوَلَسْتُ مُعَلِّقًا لِتَمِيْمَةٍ أَوْحَلَقَةٍ , أَوْ وَدَعَةٍ أَوْنَابٌ
لِرَجَاءِ نَفْعٍ, أَوْ لِدَفْعِ بَلِيَّةٍ اللهُ يَنْفَعُنِيْ, وَيَدْفَعُ مَاِبيْ
وَاْلِابْتِدَاعَ وَكُلَّ أَمْرٍمُحْدَثٍ فِى الدِّيْنِ يُنْكِرُهُ أُولُو اْلَألْبَابِ
أَرْجُوْ بِأَنِّي لَا أُقَارِبُهُ وَلَا أَرْضَاهُ دِيْنًا, وَهُوَ غَيْرُ صَوَابٌ
وَأَعُوْذُ مِنَ جَهْمِيَّةٍ عَنْهَاعَتَتْ بِخِلَافِ كُلِّ مُؤَوِّلٍ مُرْتَابٍ
وَاْلِاسْتِوَاءَ, فَإِنَّ حَسْبِيْ قُدْوَةٌ فِيْهَا مَقَالُ السَّادَةِ اْلأَنْجَابِ
الشَّافِعِيُّ وَمَالِكُ وَأَبِيْ حَنِيْ فَةَوَابْنُ حَنْبَلَ التَّقِيُّ اْلأَوَّابُ
وَبِعَصْرِنَا مَنْ جَاءَ مُعْتَقِدًا بِهِ صَاحُوْا عَلَيْهِ مُجَسِّمٌ وَهَّابِيٌّ
جَاءَ اْلحَدِيْثُ بِغُرْبَةِ اْلِإسْلَامِ فَلْ يَبْكِ اْلمحُِبُّ لِغُرْبَةِ اْلأَحْبَابِ
فَاللهُ يَحْمِيْنَا, وَيَحْفَظُ دِيْنَنَا مِنْ شَرِّكُلِّ مُعَانِدٍ سِبَابٍ
وَيُؤَيِّدُ الدِّيْنَ اْلحَنِيْفَ بِعُصْبَةٍ مُتَمَسِّكِيْنَ بِسُنَّةٍ وَكِتَابٍ
لاَيَأْخُذُوْنَ بِرَأْيِهِمْ وَقِيَاسِهِمْ وَلَهُمْ إِلَى اْلوَحْيَيْنِ خَيْرُ مَابٍ
قَدْأَخْبَرَ اْلمُخْتَارُ عَنْهُمْ أَنَّهُمْ غُرَبَاءُ بَيْنَ اْلأَهْلِ وَاْلأَصْحَابِ
سَلَكُوا طَرِيْقَ السَّالِكِيْنَ إِلَى اْلهُدَى وَمَشَوْا عَلَى مِنْهَاجِهِمْ بِصَوَابٍ
مِنْ أَجْلِ ذَا أَهْلِ اْلغُلُوِّ تَنَافَرُوْا عَنْهُمْ فَقُلْنَالَيْسَ ذَابِعِجَابٍ
نَفَرَ الَّذِيْنَ دَعَاهُمْ خَيْرُ اْلوَرَى إِذْلَقَّبُوْهُ بِسَاحِرٍ كَذَّابٍ
مَعَ عِلْمِهِمْ بِأَمَانَةٍ وَديَانَةٍ فِيْهِ وَمَكْرَمَةٍ, وَصِدْقٍ جَوَاب
صَلَّى عَلَيْهِ اللهُ مَاهَبَّ الصِّبَا وَعَلَى جَمَيْعِ اْلآلِ وَاْلأَصْحَابِ
Jika pengikut Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam itu dikatakan sebagai Wahhabi, maka saya mengaku
bahwa saya Wahhabi.
Saya tiadakan sekutu bagi Allah, oleh
karenanya tidak ada lagi bagi saya Tuhan selain Allah Yang Maha Esa lagi Maha
Pemberi.
Tidak ada lagi kubah untuk diharap,
tidak juga patung serta kubur tidak pula menjadi sebab.
Sekali-kali tidak, baik batu, pohon, mata air maupun berhala.
Aku juga tidak memakai jimat, baik
berbentuk kalung, kerang, maupun taring.
untuk menarik manfaat atau menolak
bala’, Allah-lah yang memberiku manfaat dan menghindarkan bencana.
Setiap bid’ah dan hal yang baru
dalam agama, itu diingkari oleh orang-orang yang berakal.
Saya harap diriku tidak mendekatinya
serta tidak meridhainya sebagai agama, karena tidak benar.
Saya menjaga diri dari Jahmiyyah[i] yang angkuh, juga
orang yang suka mentakwilkan sedang mereka bimbang.
Tentang istiwa’ (Allah Ta’ala berada
di atas ‘Arsy), cukuplah bagiku sebagai panutan perkataan para imam yang mulia.
Seperti Syafi’i, Malik, Abu Hanifah
dan Ahmad bin Hanbal yang bertaqwa lagi sering kembali kepada Allah.
Di zaman kita sekarang, orang yang
berkeyakinan seperti ini akan dikatakan sebagai Mujassim dan Wahhabi.
Sungguh telah datang hadits tentang
akan asingnya Islam, maka hendaknya menangis orang yang mencintai karena
asingnya orang yang dicintai.
Allah-lah yang menjaga kami, menjaga
pula agama kami dari setiap orang yang keras lagi memaki.
Dia-lah yang mengokohkan agama yang
lurus ini dengan segolongan orang yang berpegang dengan As Sunah dan Al Qur’an.
Mereka tidak berpegang dengan
pendapat mereka dan qiyasnya. Kepada kedua wahyulah (Al Qur’an dan As Sunnah)
tempat kembali yang baik.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
telah memberitahukan tentang mereka bahwa mereka akan menjadi asing di tengah
keluarga dan kawan-kawan.
Mereka tempuh jalan orang-orang yang
mengarah kepada hidayah dan mengikuti jejak mereka dengan benar.
Oleh karenanya orang-orang yang
ghuluw berlari dari mereka, kami katakan, “Tidak perlu heran.”
Bukankah telah lari orang-orang
(sebelumnya) dari manusia terbaik (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam), mereka menggelari Beliau sebagai penyihir dan pendusta.
Padahal mereka tahu amanah Beliau
dan cara hidupnya yang penuh kemuliaan dan kejujuran.
Semoga
shalawat Allah Ta’ala limpahkan kepada Beliau selama angin timur masih bertiup,
juga kepada keluarga dan para sahabat.
Wallahu a’lam, wa shallallahu 'ala
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraaji’: Minhaajul
Firqatin Naajiyah (M. bin Jamil Zainu), Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah
(Dr. Nashir Al ‘Aql) dan Tafsir Ibnu Katsir.
[i] Golongan yang mengingkari Allah Ta’ala berada
di atas ‘Arsy, mereka mengatakan bahwa Allah Ta’ala ada di setiap tempat.
0 komentar:
Posting Komentar