بسم الله الرحمن الرحيم
75
Masalah Penting (6)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini lanjutan 75
masalah penting yang perlu diketahui seorang muslim yang kami susun dalam
bentuk tanya-jawab; semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamiin.
Pertanyaan keempatpuluh
enam:
“Bolehkah kita memakai
jimat atau penangkal, dan bagaimana jika penangkal tersebut mengambil dari
ayat-ayat Al Qur'an?”
Jawab, “Tidak boleh,
bahkan hal itu termasuk syirk. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barang siapa yang memakai jimat, maka sesungguhnya ia telah
berbuat syirk.” (HR. Ahmad)
Jika ia meyakini bahwa
jimat itu sebagai sebab saja maka ia telah berbuat Syirk Asghar (kecil), karena
Allah sama sekali tidak menjadikan benda-benda tersebut sebagai sebab, namun jika
ia meyakini bahwa jimat tersebut dengan sendirinya bisa mendatangkan manfaat
atau menolak bahaya maka ia telah berbuat Syirk Akbar.
Adapun penangkal yang
diambil dari Al Qur'an, maka yang rajih adalah haram berdasarkan beberapa
alasan berikut:
Pertama, karena keumuman
larangan menggantungkan jimat dan tidak ada yang mentakhshisnya.
Kedua, untuk menjaga Al
Qur'an, karena orang yang menggantungkannya terkadang tidak suci.
Ketiga, agar jangan sampai
menggantungkan barang yang lain juga.
Keempat, sebagai bentuk saddudz
dzaraa'i atau menghalangi jalan yang mengarah kepada keyakinan yang
terlarang dan bergantungnya hati kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
Pertanyaan keempatpuluh
tujuh:
“Bertawassul[i]
dengan apa yang dibenarkan?”
Jawab, “Dengan nama-nama
Allah, sifat-sifat-Nya, dan dengan amal saleh yang kita kerjakan. Dengan nama
Allah misalnya “Ya Allah, Engkau adalah Ar Razzaq (Maha Pemberi rizki), maka
karuniakanlah rezeki kepadaku,” sedangkan dengan amal saleh misalnya
mengatakan, “Ya Allah, jika sedekah yang aku keluarkan ini ikhlas karena
Engkau, maka kabulkanlah permohonanku.” Selain itu kita diperbolehkan
bertawassul dengan doa orang saleh yang masih hidup dan hadir di hadapan,
misalnya “Ustadz, doakan saya agar Allah menyelamatkan saya di perjalanan.”
Pertanyaan keempatpuluh
delapan:
“Sebagian orang ada yang
mengatakan “Wahai Rasulullah, syafaatkanlah kami!” benarkah perkataan tersebut
menurut syari’at?”
Jawab, “Tidak benar, jika
kita ingin mendapatakan syafa’at Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang
benar adalah dengan meminta kepada Allah seperti mengatakan, “Ya Allah,
berilah kami syafa’at Rasul-Mu,” dan dengan mengerjakan amalan yang jika
dikerjakan akan mendapat syafa’at Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
seperti bershalawat setelah azan, ikhlas mengucapkan Laailaahaillallah, dsb.
Pertanyaan keempatpuluh
sembilan:
“Bolehkah kita
menghukumi kafir kepada seseorang karena dosa besar yang dilakukannya?”
Jawab, “Tidak
boleh mengkafirkan seorang muslim karena ia melakukan dosa besar kecuali jika
ia melakukan dosa-dosa besar yang mengeluarkan dari Islam berdasarkan Al Qur’an
dan As Sunnah yang shahih bahwa dosa besar itu mengeluarkan dari Islam, dan
telah terpenuhi syarat-syaratnya (yaitu jika ia melakukannya
dengan kerelaan/merasa tentram hati dengan-Nya (tidak dipaksa lihat QS. An Nahl
: 106), sadar, baligh dan berakal), dan hilang-Nya
mawaani’ (yaitu jahl (ketidaktahuan haramnya), khatha’ (keliru, tidak
disengaja), ikraah (dipaksa) dan salah ta’wil). Dan Takfir adalah masalah
yang butuh kehati-hatian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َمَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ *
“Barang siapa yang mengaku sesuatu sebagai miliknya, padahal
bukan miliknya, maka ia bukan termasuk golongan kami dan hendaknya ia mengambil
tempat duduknya di neraka, dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan
sebutan “Kafir” atau “Musuh Allah” padahal orang itu tidak demikian keadaannya,
maka akan kembali kepadanya (kepada orang yang memanggilnya). (HR. Muslim)
Pertanyaan kelimapuluh:
“Apa sikap kita terhadap
para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam?”
Jawab, “Sikap kita
adalah mencintai mereka, mengucap taradhhiy (radhiyallahu 'anhum), menjaga
lisan dari menjelekkan mereka, menyebutkan keutamaan mereka, menahan diri dari
perselisihan yang terjadi di antara mereka, kita yakin bahwa mereka tidak
ma’shum dan perselisihan di antara mereka itu terjadi karena ijtihadnya, yang
benar mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapat satu pahala. Di samping
itu, mereka (para sahabat) memiliki keutamaan dan kebaikan yang besar yang
menghilangkan keburukan yang terjadi di antara mereka jika memang terjadi.”
Pertanyaan kelimapuluh
satu:
“Apa sikap kita jika
melihat kemungkaran?”
Jawab, “Sikap kita
ketika melihat kemungkaran adalah merubah dengan tangan. Jika
tidak mampu, maka dengan lisan dan jika kita tidak mampu maka kita ingkari
dengan hati, ini adalah selemah-lemah iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Baran gsiapa yang
melihat kemungkaran di antara kamu, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak
mampu, maka dengan lisannya dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, itu
adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan
Ahmad)
Perlu diketahui bahwa Amr bil ma’ruf
(menyuruh orang mengerjakan perintah Allah) dan nahyun ‘anil munkar (mencegah
orang lain berbuat yang dilarang Allah) hukumnya wajib bagi setiap muslim yang
sudah baligh, mampu, dan mengetahui yang ma’ruf namun ternyata ditinggalkan
atau mengetahui yang mungkar namun ternyata dilakukan. Wajibnya adalah wajib
kifayah, jika sudah ada yang melakukan maka yang lain tidak wajib.
Perkara ma'ruf yang paling utama
adalah tauhid dan kewajiban-kewajiban agama setelahnya, seperti shalat, zakat,
puasa, berbakti kepada orang tua, dsb. Sedangkan perkara mankar yang paling
munkar adalah syirk dan dosa-dosa besar setelahnya.
Jika amr ma’ruf dan nahy mungkar
ditinggalkan, maka suatu kampung akan menjadi rusak, perbuatan buruk akan
dianggap biasa sedangkan perbuatan baik akan dianggap aneh, maka jika dibiarkan
seperti ini kampung tersebut berarti sudah siap ditimpa kehancuran baik dengan
adanya serangan musuh, maupun dihancurkan dengan bencana alam seperti gempa
bumi, kebanjiran, tanah longsor, angin kencang, dan lain-lain
(lihat
QS. Al An’aam: 65). Musibah ini tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja
bahkan orang yang tidak zalim pun akan kena (lihat QS. Al Anfaal: 25), yang
selamat hanyalah orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahy mungkar (lihat QS.
Al A’raaf: 165). Dan Allah tidaklah menghancurkan suatu negeri kecuali karena
penduduknya berlaku zalim,
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا
مُصْلِحُونَ
“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri
secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Huud:
117)
Oleh karena itu, pada ayat yang sebelumnya
Allah menyuruh agar orang yang memiliki kekuasaan atau kedudukan di
tengah-tengah masyarakat untuk melakukan amr ma’ruf dan nhy mungkar sebagaimana
firman-Nya,
فَلَوْلاَ كَانَ مِنَ الْقُرُونِ مِن قَبْلِكُمْ أُوْلُواْ بَقِيَّةٍ
يَنْهَوْنَ عَنِ الْفَسَادِ فِي الأَرْضِ إِلاَّ قَلِيلاً مِّمَّنْ أَنجَيْنَا
مِنْهُمْ وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مَا أُتْرِفُواْ فِيهِ وَكَانُواْ
مُجْرِمِينَ
“Maka
mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai
keutamaan yang melarang berbuat kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil
di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan
orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada
mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Huud: 115)
Catatan:
Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf
dan nahi munkar hendaknya memperhatikan adab-adab berikut:
ü Memiliki niat
yang ikhlas.
ü Memiliki ilmu,
yakni bahwa yang diperintahkannya adalah benar-benar perkara yang ma'ruf
menurut syara', sebagaimana yang dilarangnya adalah perkara yang munkar menurut
syara'.
ü Hendaknya ia
bersikap wara’, yakni tidak mengerjakan perkara munkar yang hendak dicegahnya
serta tidak meninggalkan perkara ma'ruf yang hendak diperintahkannya (terutama
hal-hal yang wajib, jangan sampai ia meninggalkannya). Misalnya ia menyuruh
orang lain melaksanakan shalat berjama'ah, namun dirinya malah meninggalkannya
–padahal yang rajih hukum shalat berjama'ah adalah wajib-. Lihat QS. Al
Baqarah: 44.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِى النَّارِ ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ ، فَيَقُولُونَ : أَىْ فُلاَنُ ، مَا شَأْنُكَ ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ ؟ قَالَ : كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
"Akan
dihadapkan seseorang nanti pada hari kiamat, lalu dilempar ke dalam neraka
sampai usus-ususnya keluar. Ia pun berkeliling seperti berkelilingnya keledai
di penggilingan. Lalu para penghuni neraka berkumpul mendatanginya dan berkata,
"Wahai fulan! Ada apa denganmu? Bukankah kamu menyuruh mengerjakan yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar?" Ia menjawab, "Saya menyuruh
kamu mengerjakan yang ma'ruf, namun saya sendiri tidak mengerjakan, dan saya
menyuruh kamu menjauhi yang munkar, namun saya sendiri melakukannya." (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
ü Hendaknya ia
berakhlak mulia, sabar memikul sikap kasar dari orang lain, menyuruh dengan
lemah lembut, demikian juga melarang dengan lemah lembut. Ia tidak marah dan
dendam ketika mendapatkan gangguan dari orang yang dilarangnya, bahkan ia
bersabar dan memaafkan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ
وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ
الْأُمُورِ
"Dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik, cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS. Luqman: 17)
ü Jangan sampai
untuk mengetahui kemungkaran ia melakukan tajassus (memata-matai), karena tidak
dibenarkan mengetahui hal yang mungkar dengan cara memeriksa dan memata-matai, QS.
Al Hujurat: 11.
ü Sebelum
melakukan amr ma’ruf dan nahy mungkar, hendaknya ia memberitahukan dahulu hal
yang ma’ruf, karena mungkin orang tersebut meninggalkannya disebabkan
ketidaktahuan, atau ia memberitahukan bahwa perkara tersebut adalah mungkar,
karena bisa jadi, orang yang diingkarinya menyangka perbuatannya bukan munkar.
ü Jika ia tidak
mampu merubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya karena mungkin ia
mengkhawatirkan keadaan dirinya, hartanya atau kehormatannya, ia pun tidak kuat
bersabar menghadapi ancaman, maka ia wajib mengingkari meskipun dengan hatinya.
ü Hendaknya ia
bersikap bijak (hikmah), dan memperhatikan maslahat dan mafsadat yang mungkin
timbul. Lihat dalilnya di surat
An Nahl: 125.
Dalam
melakukan nahy munkar ada 4 kemungkinan yang akan terjadi:
1.
Yang munkar itu hilang dan digantikan dengan yang
ma’ruf.
2.
Yang munkar itu berkurang atau menjadi lebih kecil,
namun tidak hilang secara keseluruhan.
3.
Yang munkar itu hilang, namun digantikan dengan
kemunkaran yang sama besar-Nya.
4.
Yang munkar itu hilang, namun digantikan dengan
kemunkaran yang lebih besar.
Maka dalam menghadapi dua
kemungkinan pertama (no. 1 & 2), nahy mungkar disyari’atkan, sedangkan pada
no. 3 merupakan tempat berijtihad dan pada kemungkinan no. 4 kita tidak boleh
melakukan nahy munkar.
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa
Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar