بسم
الله الرحمن الرحيم
Terjemah Bulughul Maram (6)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan terjemah Bulughul Maram karya
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan
buku ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Dalam menyebutkan
takhrijnya, kami banyak merujuk kepada dua kitab; Takhrij dari cetakan Darul
‘Aqidah yang banyak merujuk kepada kitab-kitab karya Syaikh M. Nashiruddin
Al Albani rahimahullah, dan Buluughul Maram takhrij Syaikh Sumair Az
Zuhairiy –hafizhahullah- yang kami singkat dengan ‘TSZ’.
بَابُ نَوَاقِضِ اَلْوُضُوءِ
Bab
Pembatal-Pembatal Wudhu
72- عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ t قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اَللَّهِ r -عَلَى عَهْدِهِ- يَنْتَظِرُونَ اَلْعِشَاءَ
حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوسُهُمْ, ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ .
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ ُ وَأَصْلُهُ فِي
مُسْلِم
72. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia
berkata, “Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam biasanya menunggu shalat Isya sampai kepala
mereka miring (seperti mau jatuh), kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.” (Hr.
Abu Dawud dan dishahihkan oleh Daruquthni, asal hadits ini ada di Muslim)[i]
73-وَعَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ,
جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى اَلنَّبِيِّ r فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي
اِمْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ, أَفَأَدَعُ اَلصَّلَاةَ? قَالَ:
"لَا. إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ, وَلَيْسَ بِحَيْضٍ, فَإِذَا أَقْبَلَتْ
حَيْضَتُكِ فَدَعِي اَلصَّلَاةَ, وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ اَلدَّمَ,
ثُمَّ صَلِّي -
مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
73. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia
berkata, “Fathimah binti Abi Hubaisy pernah datang kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang
wanita yang terkena darah istihadhah (penyakit) sehingga aku tidak suci, apakah
aku boleh meninggalkan shalat?” Beliau menjawab, “Tidak boleh. Itu hanyalah
sekedar urat (yang memancar darinya darah istihadhah-pent), dan bukan haid,
apabila datang haidmu maka tinggalkanlah shalat dan apabila telah hilang maka
cucilah darah itu darimu lalu shalatlah.” (Muttafaq ‘alaih)[ii]
74- وَلِلْبُخَارِيِّ:
, ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ - وَأَشَارَ مُسْلِمٌ إِلَى أَنَّهُ حَذَفَهَا
عَمْدًا
74. Dan dalam lafaz Bukhari disebutkan,
“Kemudian wudhulah untuk setiap kali shalat.” Muslim mengisyaratkan bahwa ia
menghilangkan lafaz itu secara sengaja.[iii]
75- وَعَنْ
عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ t
قَالَ: كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً, فَأَمَرْتُ
اَلْمِقْدَادَ بْنَ اَلْأَسْوَدِ أَنْ يَسْأَلَ اَلنَّبِيَّ r فَسَأَلَهُ ? فَقَالَ: "فِيهِ
اَلْوُضُوءُ.
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيّ ِ
75. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu ia berkata, “Aku adalah seorang laki-laki yang banyak keluar madzi, aku
pun menyuruh Al Miqdad bin Al Aswad untuk menanyakan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Al Miqdad lalu menanyakan kepada Beliau, maka Beliau bersabda,
“Pada madzi harus wudhu.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz ini adalah lafaz Bukhari)[iv]
76- وَعَنْ
عَائِشَةَ, رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ r قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ, ثُمَّ خَرَجَ
إِلَى اَلصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ . أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَضَعَّفَهُ
اَلْبُخَارِيّ ُ
76. Dari Aisyah radhiiyallahu ‘anha bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya, lalu keluar untuk
shalat dan tidak wudhu’ lagi.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, namun didhaifkan oleh
Bukhari)[v]
77-وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r
: إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا, فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ
مِنْهُ شَيْءٌ, أَمْ لَا? فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ
صَوْتًا, أَوْ يَجِدَ رِيحًا -
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
77.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah
seorang di antara kamu merasakan sesuatu dalam perutnya, ia pun bingung; apakah
keluar sesuatu darinya apakah tidak? Maka janganlah sekali-kali ia keluar dari
masjid sampai ia mendengar suara ataupun mencium baunya.” (Hr. Muslim)[vi]
78-وَعَنْ طَلْقِ
بْنِ عَلِيٍّ t قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْ قَالَ اَلرَّجُلُ يَمَسُّ
ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ, أَعَلَيْهِ وُضُوءٍ ? فَقَالَ اَلنَّبِيُّ r "لَا, إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ . أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ
اِبْنُ حِبَّانَ وَقَالَ ابْنُ اَلْمَدِينِيِّ: هُوَ أَحْسَنُ مِنْ حَدِيثِ
بُسْرَةَ.
78. Dari Thalq bin Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
“Ada
seseorang yang berkata, “Aku menyentuh kemaluanku” atau ia
mengatakan “Seseorang menyentuh kemaluannya dalam shalat, apakah ia wajib berwudhu’?”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Tidak, itu
hanyalah bagian anggota (badan)mu.” (Hr.
Lima
Imam Ahli Hadits dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Ibnul
Madini berkata,
“Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.”)[vii]
79- وَعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: "مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ
فَلْيَتَوَضَّأْ" .
أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان وَقَالَ
اَلْبُخَارِيُّ: هُوَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ.
79. Dari Busrah binti Shafwan radhiyallahu ‘anha bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa
yang menyentuh kemaluannya, maka hendaknya ia
berwudhu’.” (Hr.
Lima
Imam Ahli Hadits, dan dishahihkkan oleh Tirmidzi dan Ibnu
Hibban, Bukhari berkata, “Hadits ini adalah hadits paling shahih tentang
masalah ini.”)[viii]
80- وَعَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: ,
مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ, أَوْ قَلَسٌ, أَوْ مَذْيٌ فَلْيَنْصَرِفْ
فَلْيَتَوَضَّأْ, ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ, وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا
يَتَكَلَّمُ . أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَه وَضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ.
80. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang muntah
(dari perut) atau mengeluarkan darah dari hidung atau muntah (dari tenggorokan)
ataupun mengeluarkan madzy maka hendaknya ia keluar dari shalat dan berwudhu,
lalu ia lanjutkan shalatnya, namun sebelumnya ia tidak boleh berkata apa-apa.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan didha’ifkan oleh Ahmad serta yang lainnya)[ix]
81- وَعَنْ جَابِرِ
بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ اَلنَّبِيَّ r أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ اَلْغَنَمِ?
قَالَ: إِنْ شِئْتَ قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ اَلْإِبِلِ ? قَالَ: نَعَمْ . أَخْرَجَهُ مُسْلِم ٌ
81. Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhuma,
bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Apakah saya harus berwudhu’ setelah makan daging kambing?” Beliau menjawab,
“Jika kamu mau,”
lalu ia bertanya lagi, “Apakah saya harus berwudhu setelah
makan daging unta?” Beliau menjawab “Ya.” (HR.
Muslim)[x]
82- وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r ,
مَنْ غَسَّلَ مَيْتًا فَلْيَغْتَسِلْ, وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ -
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ
وَقَالَ أَحْمَدُ: لَا يَصِحُّ فِي هَذَا اَلْبَابِ شَيْءٌ.
82. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang
memandikan mayit maka mandilah, dan barang siapa yang membawanya maka hendaknya
dia berwudhu’.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi dan ia
menghasankannya, Ahmad berkata, “Tidak ada satupun yang shahih dalam masalah
ini.”)[xi]
83- وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ tُ; أَنَّ فِي اَلْكِتَابِ اَلَّذِي كَتَبَهُ
رَسُولُ اَللَّهِ r
لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ . رَوَاهُ مَالِكٌ مُرْسَلاً, وَوَصَلَهُ
النَّسَائِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَهُوَ مَعْلُولٌ.
83. Dari Abdullah bin Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, bahwa dalam
tulisan yang ditulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Amr bin
Hazm disebutkan, “Jangan menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.”
(Hr. Malik secara mursal, dimaushulkan oleh Nasa’i dan Ibnu Hibban, namun ia
berillat(bercacat))[xii]
84- وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ: , كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يُذْكُرُ اَللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ -
رَوَاهُ مُسْلِمٌ, وَعَلَّقَهُ اَلْبُخَارِيّ ُ
84. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia
berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikr kepada Allah di
setiap waktunya.” (Diriwayatkan oleh Muslim, dan Bukhari menyebutkannya secara
mu’allaq)[xiii]
85-
وَعَنْ أَنَسِ]بْنِ مَالِكٍ] t
, أَنَّ اَلنَّبِيَّ r اِحْتَجَمَ وَصَلَّى, وَلَمْ يَتَوَضَّأْ -
أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَلَيَّنَه
85. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam lalu shalat dan tidak
berwudhu’ lagi.” (Diriwayatkan oleh Daruquthni dan ia melembekkannya)[xiv]
86- وَعَنْ
مُعَاوِيَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r :
الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ, فَإِذَا نَامَتِ الْعَيْنَانِ اِسْتَطْلَقَ
اَلْوِكَاءُ . رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالطَّبَرَانِيُّ
86. Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mata (terbuka-pent) itu pengikat
dubur. Apabila mata tidur maka lepaslah pengikatnya.” (HR.
Ahmad dan Thabrani)[xv]
87-وَزَادَ : وَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ. وَهَذِهِ اَلزِّيَادَةُ
فِي هَذَا اَلْحَدِيثِ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ دُونَ قَوْلِهِ:
اِسْتَطْلَقَ اَلْوِكَاءُ . وَفِي كِلَا الْإِسْنَادَيْنِ ضَعْف ٌ
87. Ia (Thabrani) menambahkan, “Dan
barang siapa yang tidur maka hendaknya ia berwudhu,”
tambahan dalam hadits ini ada pada Abu Dawud dari hadits Ali tanpa ada kata-kata
“maka lepaslah pengikatnya,” namun pada kedua
isnadnya ada kelemahan.[xvi]
88- وَلِأَبِي دَاوُدَ أَيْضًا, عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا:
إِنَّمَا اَلْوُضُوءُ عَلَى مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا .
وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ أَيْضًا
88.
Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud
juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, “Wudhu itu
dilakukan hanyalah bagi yang tidur telentang,”
namun dalam sanadnya ada kelemahan juga.[xvii]
89- وَعَنِ اِبْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: ,
يَأْتِي أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ فِي صَلَاتِهِ, فَيَنْفُخُ فِي مَقْعَدَتِهِ
فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ أَحْدَثَ, وَلَمْ يُحْدِثْ, فَإِذَا وَجَدَ ذَلِكَ
فَلَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا -
أَخْرَجَهُ اَلْبَزَّار ُ
89. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setan akan datang
kepada salah seorang di antara kamu dalam shalatnya lalu ia meniup duburnya
maka terbayang olehnya bahwa ia telah berhadats padahal belum hadats. Apabila
ada yang merasakan begitu, maka janganlah ia batalkan shalatnya sampai ia
mendengar suara atau mencium baunya.” (Hr.
Al Bazzar)[xviii]
90- وَأَصْلُهُ
فِي اَلصَّحِيحَيْنِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْد ٍ
90. Asal hadits ini ada pada Shahihain
(Bukhari dan Muslim) dari hadits Abdullah bin Zaid.[xix]
91- وَلِمُسْلِمٍ:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ نَحْوُهُ.
91. Dan dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah
sama seperti itu.[xx]
92- وَلِلْحَاكِمِ. عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَرْفُوعًا: إِذَا جَاءَ
أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ, فَقَالَ: إِنَّكَ أَحْدَثْتَ, فَلْيَقُلْ: كَذَبْتَ .
وَأَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانَ بِلَفْظِ: فَلْيَقُلْ فِي نَفْسِهِ)
92. Sedangkan dalam riwayat Hakim dari Abu Said secara marfu’
disebutkan, “Apabila setan mendatangi salah seorang di antara kamu lalu
mengatakan “Kamu telah berhadats,” maka jawablah, “Kamu bohong.” (Diriwayatkan
juga oleh Ibnu Hibban dengan lafadz “Maka jawablah dalam hatinya.”)[xxi]
Bersambung….
Wa
shallallahu 'alaa Nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Alih Bahasa:
[i] Shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (376) dalam Al Haidh, Abu ‘Uwanah dalam
Shahihnya, Abu Dawud (200) dalam Ath Thaharah, Daruquthni dengan lafaz “ لقد رأيت أصحاب رسول الله صلى الله عليه
و سلم يوقظون للصلاة حتى اني لأسمع لأحدهم غطيطا ثم يصلون و لا يتوضؤون”. Namun dalam Muslim
tidak ada kata-kata “kepala mereka miring”. Al ‘Allamah Al Albani mengatakan,
“Berpegang dengan hadits ini menghendaki menolak hadits-hadits yang
mengharuskan memilih pendapat batal (yakni batalnya wudhu karena tidur), ini
tidak boleh dilakukan, karena ada kemungkinan bahwa hadits ini sebelum
diwajibkan (berwudhu’ bagi yang tidur) berdasarkan Al Baraa’ah Al Asliyyah
(hukum asalnya tidak ada kewajiban) lalu datang hadits yang memerintahkan
berwudhu’ karenanya (yakni karena tidur), Wallahu a’lam.” [Al Irwaa’
(114)] dan Shahih Abu Dawud (200) .
Dalam TSZ disebutkan lafaz riwayat Muslim
yaitu,
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم
ينامون ثم يصلون ولا يتوضأون
“
[ii] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (228) dalam Al Haidh, Muslim (333, 334) dalam Al
Haidh.
[iii] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (228) dalam Al Haidh, Abu Dawud (298) [lihat Nashbur
Raayah ( 1/96)] .
Dalam TSZ disebutkan bahwa Muslim
mengatakan “Dalam hadits Hammad bin zaid ada tambahan satu kata yang tidak kami
sebutkan.” Sumair Az Zuhairiy mengatakan, “Demikian juga yang dikatakan Nasa’i,
namun Hammad tidaklah menyendiri dalam meriwayatkan tambahan ini sebagaimana
yang saya jelaskan dalam asalnya.”
[iv] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (132) dalam Al Wudhu’, Muslim (303) dalam Al
Haidh, lafaz ini adalah lafaz Bukhari.
[v] Shahih,
diriwayatkan oleh Ahmad (25238), Tirmidzi (86) dari Aisyah, Tirmidzi berkata,
"Dan aku mendengar Muhammad bin Isma’il mendhaifkan hadits ini, ia
mengatakan, “Habib bin Abi Tsabit tidak mendengar dari Urwah.” Tirmidzi
mengatakan, "Dan tidak ada yang shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang masalah ini”, namun dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At
Tirmidzi (86), hadits tersebut ada dalam Al ‘Ilalul Mutanaahiyah karya
Ibnul Jauziy .
Sumair Az Zuhairiy mengatakan, “Hadits ini
meskipun didha'ifkan oleh Bukhari dan dianggap cacat oleh yang lain, namun di
[vi] Shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (362) dalam Al Haidh.
[vii] Shahih,
diriwayatkan oleh Abu Dawud (182, 183) dalam Ath Thaharah, Tirmidzi (85)
dalam Abwaabuth Thaharah, Nasa’i (165) dalam
Ath Thaharah, Ibnu Majah (483) dalam Ath Thaharah, Ahmad (15857),
Al Albani berkata dalam Shahih Abu Dawud,
“Shahih.”.
Menurut Sumair Az
Zuhairiy,
bahwa perlu diketahui, hadits ini mansukh
(sudah dihapus), karena Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (139) menyatakan,
“Hadits ini –yakni hadits Thalq- adalah shahih, hanyasaja tidak ada hujjah bagi
mereka (yang mengatakan tidak batal wudhu) karena beberapa alasan: Pertama,
bahwa
hadits ini sesuai keadaan para sahabat dahulu sebelum datangnya perintah untuk
berwudhu jika menyentuh kemaluan, hal ini tidak diragukan
lagi. Jika demikian,
maka hukum hadits tersebut secara yakin sudah mansukh pada saat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh berwudhu’ bagi yang memegang kemaluan,
dan tidak halal meninggalkan yang memang sudah yakin bahwa hadits itu –yakni
hadits Busrah- memansukhkannya, serta berpegang dengan
hadits yang
sudah mansukh. Kedua, bahwa sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,
“Bukankah itu bagian badanmu?” adalah dalil yang tegas bahwa hal itu sebelum
ada perintah berwudhu’, karena kalau seandainya (hadits ini) datang setelahnya
tentu Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan kata-kata ini,
bahkan menerangkan bahwa hal itu sudah dimansukh, kata-kata Beliau ini
menunjukkan bahwa dahulu tidak dihukumi apa-apa dan bahwa kemaluan seperti
anggota badan yang lain.”
[viii] Shahih,
diriwayatkan oleh Abu Dawud (181), Tirmidzi (82), Nasa’i (163), Ibnu Majah
(479) semuanya dalam Ath Thaharah, Ahmad (26749), Ibnu Hibban dalam Shahihnya
(212), dishahihkan oleh Ibnu Ma’in, Baihaqi serta dishahihkan oleh Al Albani
dalam Shahih Abu Dawud (181).
[ix] Dha’if,
diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1221) dalam Iqamatush shalaah bab maa jaa’a
fil binaa’ ‘alash shalaah, dan didhaifkan oleh Al Albani dalam Dha’if
Ibnu Majah no. (225).
[x] Shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (360) dalam Al Haidh.
[xi] Shahih,
disebutkan oleh Al Allaamah Al Albani dalam Ahkaamul Janaa’iz hal. 71,
ia katakan di sana, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/62-63), Tirmidzi (2/132)
dan ia menghasankannya, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (751-Mawaarid), Thayaalisiy
(2314) dan Ahmad (2/280, 433, 454, 472) dari beberapa jalan dari Abu Hurairah,
sebagian jalan-jalannya hasan sedangkan sebagiannya lagi shahih sesuai syarat
Muslim. “ sedangkan dalam Al Irwaa’ (1/175) ia (Al Albani) mengatakan
dalam mengomentari hadits ini, “Tetapi, perintah di sini sunah bukan wajib,
karena telah sah dari sahabat bahwa mereka apabila memandikan mayyit ada yang
mandi dan ada juga yang tidak.”
Dalam TSZ disebutkan, “Hadits tersebut
telah dianggap cacat oleh jama’ah Ahli Hadits seperti Imam Ahmad (993)
sebagaimana dinukilkan oleh Al Haafizh, akan tetapi jalan-jalan hadits tersebut
dan syahidnya yang banyak membuat keraguan sedikit tentang keshahihannya
hilang, silahkan lihat kepada asalnya jika anda ingin mengetahui hal itu.” Catatan: Al Hafizh keliru menisbatkan
hadits ini kepada Nasa’i (yakni tidak ada dalam riwayat Nasa’i)–Wallahu a’lam-."
[xii] Shahih,
diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwaththa’ (468) dalam bagian Al Qur’an
(secara mursal), diriwayatkan juga oleh Al Atsram dan Daruquthni secara
bersambung (muttashil). Al Albani menyebutkan dalam Al Irwaa’
jalan-jalan yang banyak namun tidak lepas dari kelemahan yang ringan, yang
karena jalan-jalan itu ia shahihkan hadits ini. [Al Irwaa’ (122)].
[xiii] Shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (373) dalam Al Haidh dan Bukhari secara
mu’allaq dalam Al Adzaan, Tirmidzi (3384) dalam Ad Da’aawaat, Abu
Dawud (18) dan Ibnu Majah (302).
[xiv] Dha’if,
diriwayatkan oleh Daruquthni (1/151-152) dalam Sunannya dari Shalih bin
Muqaatil, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Al Qurasyiy, telah
menceritakan kepada kami Humaid Ath Thawil dari Anas bin Malik. Daruquthni
berkata, “Shalih bin Muqatil tidak kuat, bapaknya tidak dikenal sedangkan
Sulaiman bin Dawud adalah majhul. Baihaqi meriwayatkan juga dari jalan
Daruquthni, ia katakan, “Dalam isnadnya ada kelemahan.” (lihat Nashbur
Raayah (1/100)) .
[xv] Shahih karena
syawaahidnya, diriwayatkan oleh
Ahmad (16427), juga Baihaqi dari Baqiyyah dari Abu Bakr bin Abi Maryam dari
‘Athiyyah bin Qais dari Mu’awiyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Diriwayatkan juga oleh Thabrani dalam Mu’jamnya dan ia menambahkan, “Barang siapa
yang tidur, maka hendaknya ia berwudhu.” Hadits ini dianggap cacat karena dua
sisi: salah satunya adalah adanya pembicaraan terhadap
Abu Bakr bin Abi Maryam, Abu Hatim dan Abu Zur’ah mengatakan, “Ia tidak kuat,”
sedangkan yang kedua, Marwan bin Janah yang diriwayatkannya dari ‘Athiyyah bin
Qais dari Mu’awiyah secara mauquf, seperti inilah yang diriwayatkan oleh Ibnu
‘Addiy, ia katakan, “Marwan itu lebih kuat dari Abu Bakr bin Abi Maryam, yang
shahih adalah (hadits ini) mauquf. [Nashbur Raayah (1/104)]. Sedangkan
dalam Al Misykaat (315) Al Albani mengatakan, “Diriwayatkan oleh Darimiy
dalam Sunannya (1/184), juga Ahmad dalam Musnadnya (4/96-97),
namun anaknya Abdullah mengatakan, “Sesungguhnya bapaknya meniggalkannya dalam
kitabnya.” Menurutku (Syaikh Al Albani), “Hal itu karena di dalamnya ada Abu
Bakr bin Abi Maryam, ia adalah dha’if karena hapalannya bercampur, namun ada
syahid dari hadits Ali dan hadits Shafwan bin ‘Asal.”
[xvi] Hasan,
diriwayatkan oleh Abu Dawud (203) dalam Ath Thaharah, dihasankan oleh Al
Albani dalam Shahih Abu Dawud (203), selain Abu Dawud, yang meriwayatkannya
juga adalah Ibnu Majah, Daruquthni dan Hakim dalam “Uluumul hadits,”
juga Ahmad dari beberapa jalan dari Baqiyyah dari Al Wadhiin dari ‘Athaa’ dari
Mahfuzh dari ‘Alqamah dari Abdurrahman bin ‘A’idz dari Ali bin Abi Thalib
secara marfu’. [Al Irwaa’ (113)].
[xvii] Dha’if,
diriwayatkan oleh Abu Dawud (202) bab Fil wudhu’ minan naum, Tirmidzi
(77) dan didha'ifkan oleh Al Albani dalam Dha’if Abu Dawud (202), ia juga
mengisyaratkan kelemahan riwayat Tirmidzi, lihat Al Misykaat (318).
[xviii] Shahih dengan
syahid-syahidnya, diriwayatkan oleh Al Bazzar dalam Musnadnya (1/147/281)
dari jalan Isma’il bin Shabiih: telah menceritakan kepada kami Abu Uwais
–namanya Abdullah bin Abdullah bin Uwais- dari Tsaur bin Zaid, hadits ini
memiliki syahid (penguat dari jalan lain) dari hadits Abdullah bin Zaid dan Abu
Hurairah yang nanti akan disebutkan [Ash Shahiihah ( 3026)] .
[xix] Shahih,
diriwayatkan oleh Bukhari (177) dalam Al Wudhu’, Muslim (361) dalam Al Haidh,
Abu Dawud (176), Syafi’i (1/99), Nasa’i (1/37), Ibnu Majah (1/185), Baihaqi
(1/114) dan Ahmad (4/40), lihat Al Irwaa' (107).
Lafaz hadits tersebut adalah,
شكي إلى النبي صلى الله عليه وسلم:
الرجل يخيل إليه أن يجد الشيء في الصلاة؟ قال: "لا ينصرف حتى سمع صوتا، أو
يجد ريحا
“
[xx] Shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (362) dan Abu ‘Uwaanah, Tirmidzi mengatakan, "
Hadits hasan shahih”. [Al Irwaa’ (1/144)] .
[xxi] Dha’if,
diriwayatkan oleh Hakim (134) dan Ibnu Hibban (2666), lengkapnya dalam riwayat
keduanya “Sehingga terdengar suara oleh telinganya atau tercium baunya oleh
hidungnya.” –TSZ-.
0 komentar:
Posting Komentar