بسم
الله الرحمن الرحيم
Khutbah
Jum'at
Mengenal
Riba dan Bahayanya
Oleh: Marwan Hadidi, M.Pd.I
Khutbah I
إنَّ
الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ
بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ
اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ
وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ
اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا --يُصْلِحْ لَكُمْ
أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فقَدْ فَازَ فوْزًا عَظِيمًا.
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ
اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاثُهَا وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Ma'asyiral
muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah
Pertama-tama kita panjatkan puja dan puji syukur kepada
Allah Subhaanahu wa Ta'ala yang telah memberikan kepada kita berbagai nikmat,
terutama nikmat Islam, Iman, hidayah, taufiq, sehat wa afiyat, dan
nikmat-nikmat lainnya yang sama-sama kita rasakan yang semuanya patut untuk
kita syukuri.
Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi kita
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikuti Sunnahnya hingga hari Kiamat.
Khatib berwasiat baik kepada diri khatib sendiri maupun
kepada para jamaah sekalian; marilah kita tingkatkan terus takwa kita kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Takwa dalam arti melaksanakan perintah-perintah
Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, karena orang-orang yang bertakwalah
yang akan memperoleh kebahagiaan di dunia di di akhirat.
Ma'asyiral
muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah
Termasuk dosa
besar yang diremehkan oleh sebagian saudara-saudara kita adalah riba, maka di
sini khatib ingin menerangkan bahaya riba berikut contohnya.
Keharaman riba
disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al
Baqarah: 275)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا
بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
"Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Al Baqarah: 278)
Bahkan Allah
Subhaanahu wa Ta'aala mengancam orang yang bermuamalah dengan riba dengan
ancaman yang sangat berat, Dia berfirman,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (Qs.
Al Baqarah: 275)
Di ayat
tersebut Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan bahwa orang yang bermuamalah
dengan riba tidak dapat bangkit dari kuburnya pada hari Kiamat melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan saat mengalami kesurupan, hal itu
karena perut mereka yang buncit akibat memakan riba ketika di dunia.
Allah
Subhaanahu wa Ta'aala juga mengancam neraka kepada orang yang memakan riba
sebagaimana firman-Nya,
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al Baqarah: 275)
Demikian
pula Allah mencabut keberkahan pada harta yang bercampur riba sebagaimana
firman-Nya,
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا
وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah
memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang
yang sangat kufur, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. Al Baqarah: 276)
Oleh
karenanya, harta itu hanyalah membuat kelelahan baginya ketika di dunia, azab
baginya ketika di akhirat dan ia tidak dapat mengambil manfaatnya.
Allah
Subhaanahu wa Ta'aala menamai pemakan riba sebagai “Kaffaar”, yang artinya
sangat kufur, yakni sangat kufur terhadap nikmat Allah, karena ia tidak kasihan
kepada orang yang lemah, tidak membantu orang fakir, tidak memberi tempo kepada
orang yang kesusahan. Dan bisa mengeluarkannya dari Islam, jika ia menganggap
halal melakukan riba.
Allah
Subhaanahu wa Ta'aala juga mengumumkan perang dari-Nya dan dari Rasul-Nya
kepada orang-orang yang memakan riba, dan menyifati orang-orang yang memakan
riba sebagai orang yang zalim sebagaimana firman-Nya,
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. Al Baqarah: 279)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga
menyebutkanya ke dalam kelompok dosa-dosa besar. Beliau juga melaknat semua
yang bermuamalah dalam riba apa pun keadaannya. Dari Jabir radhiyallahu anhu ia
berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
"Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya,
dan dua saksinya. Beliau juga bersabda, “Mereka sama (dosanya).” (Hr. Muslim)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pengharaman riba lebih keras daripada pengharaman
maisir atau judi.”
Bahkan
memakan riba adalah sifat orang-orang Yahudi yang mendapatkan laknat,
sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ
النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Qs. An
Nisaa: 161)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
juga bersabda,
«الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا، أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ
أُمَّهُ»
“Riba itu ada tujuh puluh macamnya. Yang
paling ringannya adalah seperti seorang berzina dengan ibunya.” (Hr. Ibnu Majah
dari Abu Hurairah, dishahihkan oleh Al Albani)
Hadits ini menunjukkan bahwa riba lebih besar
dosanya daripada zina.
Ma'asyiral
muslimin sidang shalat Jum'at rahimakumullah
Riba
terbagi dua; Riba Nasii’ah dan Riba Fadhl.
1. Riba
Nasi’ah
Riba
Nasii’ah diambil dari kata nas-’ yang berarti penundaan, yakni riba karena
adanya penundaan. Riba Nasii'ah artinya tambahan yang disyaratkan oleh pemberi
pinjaman dari si peminjam sebagai ganti dari penundaan. Riba ini jelas haram
berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah dan Ijma'.
Riba
Nasii’ah ada dua macam:
a) Qalbud dain ‘alal mu’sir, yaitu orang lain mempunyai
utang kepadanya dengan pembayaran ditunda, ketika tiba waktu menagih, ia
(pemberi pinjaman) berkata kepada penghutang, “Anda ingin membayar atau akan
ditambah utang anda?” Jika tidak membayar, maka si pemberi pinjaman menambahkan
lagi waktunya dan menambahkan pembayaran yang sebelumnya misalnya 1.000.000,-
menjadi 10.50.000,- dsb. Inilah riba di
zaman Jahiliyah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengharamkan riba ini dengan
firman-Nya:
وَإِنْ
كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. Al Baqarah: 280)
Oleh karena itu, jika waktu
penagihan tiba, namun si peminjam tidak mampu membayar, tidak boleh bagi si
pemberi pinjaman menambahkan utangnya, bahkan ia wajib menunggunya.
b)
Riba Nasii’ah jenis
kedua, yaitu menjual barang yang terdiri dari dua jenis; yang sama dalam hal
‘illat (sebab) riba fadhl dengan adanya penundaan penerimaan keduanya atau
salah satunya. Misalnya menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma, garam
dengan garam secara penundaan salah satunya.
Kedua macam riba di atas adalah haram,
semoga Allah menjauhkan kita daripadanya.
بَارَكَ اللهُ لِيْ
وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ
الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ الْمُتَوَحِّدِ
بِصِفَاتِ الْعَظَمَةِ وَالْجَلاَلِ، الْمُتَفَرِّدِ بِالْكِبْرِيَاءِ وَالْكَمَالِ،
الْمُوْلِي عَلَى خَلْقِهِ النِّعَمَ السَّابِغَةِ الْجَزَّالِ، وَأَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْكَبِيْرُ الْمُتَعَالِ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ محمداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَفْضَلُ الرُّسُلِ فِي كُلِّ الْخِصَالِ، اَللَّهُمَّ
صَلِّ وَسَلِّمْ، عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ خَيْرِ صَحْبٍ وَأَشْرَفِ
آلٍ. أَمَّا بَعْدُ:
Ma'asyiral muslimin sidang shalat
Jum'at rahimakumullah
Di
samping riba yang telah khatib terangkan di khutbah pertama, ada pula riba
lainnya, yaitu riba fadhl.
Riba
Fadhl adalah terjadinya kelebihan di salah satu barang, misalnya tukar-menukar
uang dengan uang atau makanan dengan makanan yang termasuk barang ribawi dengan
adanya kelebihan. Riba fadhl hukumnya haram berdasarkan As Sunnah dan Ijma',
karena bisa mengarah kepada riba nasii'ah.
Di
dalam hadits disebutkan lebih jelas pengharaman riba pada enam barang; emas,
perak, bur/gandum, gandum sya’ir, kurma dan garam. Jika barang-barang ini
dijual dengan barang yang sejenis, diharamkan adanya kelebihan di antara
keduanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ مِثْلٌ
بِمِثْلٍ مَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الْآخِذُ وَالْمُعْطِي
سَوَاءٌ
"Emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma,
sya’ir dengan sya’ir, gandum dengan gandum, garam dengan garam, harus sama dan
sebanding. Barang siapa menambah-nambah atau minta ditambah maka ia telah
melakukan riba, baik yang mengambil atau yang meminta hukumnya sama." (Hr.
Ahmad dan Bukhari)
Dalam
hadits ini jelas sekali haramnya menukar emas dengan emas; apa pun macamnya,
perak dengan perak apa pun macamnya kecuali secara sama di samping langsung
serah terima.
Diqiaskan
dengan enam barang ini adalah barang-barang yang sama illatnya dengan enam
barang ini, sehingga barang-barang tersebut haram juga jika ada kelebihan di
salah satunya. Namun para ulama berselisih tentang batasan ‘illat. Yang jelas
bahwa enam barang tersebut merupakan asas yang dibutuhkan manusia.
Pendapat
yang shahih (benar) adalah bahwa illat pada mata uang (emas dan perak) adalah
“Bisa dijadikan sebagai alat pembayaran.” Oleh karena itu, masuk ke dalamnya
setiap barang yang bisa dijadikan alat pembayaran. Misalnya uang kertas yang
dipakai zaman sekarang, maka haram hukumnya ada kelebihan apabila salah satunya
dijual dengan barang yang sama jenisnya; yakni uang tersebut dikeluarkan oleh
negara yang sama.
Pendapat
yang benar bahwa illat pada gandum, sya’ir, kurma dan garam adalah bisa “ditakar
atau ditimbang di samping bisa dimakan”[i],
sehingga setiap barang yang bisa bisa ditakar atau ditimbang yang termasuk bisa
dimakan, maka haram terjadi kelebihan.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Illat diharamkan Riba Fadhl adalah “bisa
ditakar” atau “bisa ditimbang” di samping bisa dimakan, ini adalah salah satu
riwayat Ahmad."
Oleh
karena itu, setiap barang yang masuk ke dalam enam barang yang disebutkan nashnya
karena sama ‘illatnya; yakni bisa ditakar atau ditimbang serta bisa dimakan
atau adanya ‘illat “bisa dijadikan alat pembayaran” jika berupa mata uang, maka
bisa masuk riba. Jika di samping sama ‘illatnya adalah sama jenisnya; seperti
jual beli gandum dengan gandum maka haram adanya kelebihan dan adanya
penangguhan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ , وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
, وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ , وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ , وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ
, وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ ; مَثَلًا بِمَثَلٍ , يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam
harus sama dan langsung serah terima (sebelum berpisah).”
Kesimpulan
Dengan
demikian, apabila dijual barang ribawi dengan yang sejenisnya, seperti
emas dengan emas atau gandum dengan gandum, maka harus terpenuhi dua syarat:
1)
Sama
jumlahnya, tanpa melihat kepada bagus atau jeleknya (yang ditakar dengan yang
ditakar dan yang ditimbang dengan yang ditimbang)
Hal ini berdasarkan hadits Abu
Sa’id yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah
diberi kurma. Lalu beliau bertanya. "Apakah kurma ini dari kurma
kita?" Maka laki-laki yang memberi menjawab, "Wahai Rasulullah, kami
menukar dua sha' kurma dengan satu sha' kurma seperti ini." Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Inilah yang dinamakan
riba, kembalikanlah kurma ini kemudian jualah kurma milik kita, lalu uang hasil
penjualan kurma tersebut kamu belikan kurma seperti ini."
2)
Salah
satunya tidak ditunda (serah terima di majlis akad sebelum berpisah)
Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
لَا تَبِيعُوا
الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى
بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا
تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
"Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali harus
sama, dan janganlah kamu melebihkan salah satunya. Janganlah kamu menjual perak
dengan perak kecuali secara sama dan janganlah kamu melebihkan salah satunya,
dan janganlah kamu menjual yang tidak di tempat dengan yang ada di
tempat." (Hr. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa'id)
Namun,
jika sama ‘illatnya dan berbeda
jenisnya, seperti menjual bur dengan sya’ir, maka tidak boleh terjadi
penangguhan di salah satunya dan boleh adanya kelebihan, berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَشْيَاءُ فَبِيْعُوْا
كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika barang-barang ini berbeda, maka juallah semau kalian
dengan syarat langsung serah terima.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)
Maksud
“langsung serah terima” adalah langsung serah terima di majlis itu sebelum
salah seorang di antara keduanya berpisah dari yang lain.
Dan
jika illat dan jenisnya berbeda, maka boleh dua hal ini;
adanya kelebihan dan adanya penangguhan. Misalnya emas dengan gandum dan perak
dengan sya’ir.
Beberapa Contoh:
1. Menukar
100 gram emas dengan 100 gram emas yang ditunda setelah sebulan. Hal ini riba,
karena tidak langsung serah terima di majlis akad.
2. Membeli
1 kg sya’ir (salah satu jenis gandum) dengan 1 kg bur (gandum) adalah boleh
karena berbeda jenis, namun disyaratkan langsung serah terima di majlis akad.
3. Menjual
50 kg gandum dengan seekor kambing adalah boleh secara mutlak, baik adanya
serah terima di majlis maupun tidak.
4. Tukar
menukar uang dolar, misalnya 100 dolar ditukar dengan 120 dolar. Hal ini tidak
boleh.
5. Meminjamkan
1.000 dolar dengan syarat dikembalikan setelah sebulan atau lebih 1.200 dolar.
Hal ini juga tidak boleh.
6. Menukar
100 dirham perak dengan 10 junaih emas yang akan dibayarkan setelah berlalu
setahun. Hal ini tidak boleh, karena harus langsung serah terima.
Demikianlah
yang bisa khatib sampaikan terkait dengan riba dan bahayanya berikut contohnya,
semoga Allah selalu membimbing kita ke jalan yang diridhai-Nya dan memberikan
kita taufiq untuk dapat menempuhnya, aamin.
اَللَّهُمَّ
صَلِّ
عَلَى
مُحَمَّدٍ
وَعَلَى
آلِ
مُحَمَّدٍ
كَمَا
صَلَّيْتَ
عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى
آلِ
إِبْرَاهِيْمَ
إِنَّكَ
حَمِيْدُ
مَجِيْدٌ،
اَللَّهُمَّ بَارِكْ
عَلَى
مُحَمَّدٍ
وَعَلَى
آلِ
مُحَمَّدٍ
كَمَا
بَارَكْتَ
عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى
آلِ
إِبْرَاهِيْمَ
إِنَّكَ
حَمِيْدُ
مَجِيْدٌ
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الْكُفْرَ
وَالْكَافِرِيْنِ، وَأَعْلِ رَايَةَ الْحَقِّ وَالدِّيْنِ، اَللَّهُمَّ مَنْ أَرَادَنَا
وَالْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ بِعِزٍّ فَاجْعَلْ عِزَّ الْإِسْلاَمَ عَلَى يَدَيْهِ،
وَمَنْ أَرَادَنَا وَالْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ بِكَيْدٍ فَكِدْهُ يَا رَبَّ
الْعَالَمِيْنَ، وَرُدَّ كَيْدَهُ فِي نَحْرِهِ، وَاجْعَلْ تَدْبِيْرَهُ فِي تَدْمِيْرِهِ،
وَاجْعَلِ الدَّائِرَةَ تَدُوْرُ عَلَيْهِ، اَللَّهُمَّ اهْدِنَا وَاهْدِ بِنَا وَانْصُرْنَا
وَلاَ تَنْصُرْ عَلَيْنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيْنَا.
[i] Yang lain ada yang
berpendapat bahwa 'illat empat barang ini (gandum, sya'ir, tamar/kurma dan
garam) adalah sebagai makanan pokok. Oleh karena itu jika terdapat hal yang
sama illatnya (yakni sebagai bahan makanan pokok) pada barang-barang selain
empat hal tersebut, maka diharamkan juga terjadi kelebihan dan haram terjadi
penundaan (yakni harus langsung serah terima).
0 komentar:
Posting Komentar