Tanya-Jawab Masalah Agama (6)

 بسم الله الرحمن الرحيم



Tanya-Jawab Masalah Agama (6)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut tanya jawab berbagai masalah aktual, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

22. Pertanyaan: Bismillah. Afwan izin bertanya lagi admin, saya sedang punya kpr riba rumah dengan bank syariah. Dulu saya tidak mengerti terkait riba. Terus sekarang saya ingin menjual rumah tersebut dan saya inginnya menjual rumah tersebut dengan cara cash. Tetapi sampai saat ini masih belum ada yang minat. Kemudian sekarang ada yang minat tapi dengan cara over kredit. Saya sudah menjelaskan kepada pembeli kalau niat saya menjual rumah agar terbebas dari dosa riba. Yang saya ingin tanyakan, apakah saya ikut berdosa karena pembeli membeli rumah saya dengan cara over kredit. Mohon jawabannya admin, barakallahu fiik jazakallah khair.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Membeli rumah dengan cara KPR kepada bank ribawi sudah sama-sama kita ketahui keharamannya, karena adanya riba dan denda di dalamnya. Kemudian jika seseorang telah membeli rumah dengan cara KPR ke bank ribawi karena sebelumnya tidak tahu, maka setelah tahu hukumnya ia bisa melunasinya langsung jika memiliki uang agar lepas dari riba, atau ada orang lain yang siap meminjamkan uang kepadanya tanpa adanya riba untuk melunasi cicilan itu, atau dengan menjual rumah itu kemudian hasil penjualan ia bayarkan utang kepada bank dan sisanya ia bisa belikan rumah yang harganya terjangkau.

Jika ternyata yang mau membeli rumah kita hanya siap over kredit, maka  hal ini disebut sebagai hiwalah, dan hukum asalnya adalah boleh sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

«مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ»

“Penundaan orang yang mampu membayar terhadap utangnya adalah zalim. Jika salah seorang di antara kamu dialihkan pembayaran utangnya kepada orang mampu, maka terimalah.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Hanyasaja karena akad awalnya sudah mengandung riba, dan jika kita alihkan kepada orang muslim sama saja menyeretnya ke riba, maka jika ada non muslim yang mau membeli kita perselilahkan agar tidak menjerumuskan seorang muslim kepada riba, wallahu a’lam. 

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

23. Pertanyaan: mohon pencerahannya ustadz. Apa yang harus saya lakukan ketika harta haram dan juga barang-barang yang saya punya selama ini tidak saya ketahui mana yang berasal dari harta haram? (Saya pernah bekerja di perusahaan musik dan sering diminta berbohong oleh atasan dan MLM).

Dan 2 tahun saya hijrah ke manhaj salaf memang lambat laun harta saya cepat habis, sekarang hanya tersisa seadanya saja di tabungan. Saya sisakan karena 3 tahun belakangan ini saya belum mendapatkan pekerjaan yang halal dan yang jauh dari kemungkaran.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Intinya, siapa saja yang hartanya bercampur dengan yang haram, lalu ia bertobat darinya, maka jika ada hak orang lain di dalam hartanya, maka ia harus kembalikan. Jika ia tidak tahu keberadaan orang yang diambil haknya, maka ia memperkirakan harta haram itu dan menyalurkannya ke tempat-tempat sosial termasuk kepada orang-orang yang fakir dan miskin hanya untuk membersihkan, bukan sebagai sedekah, karena Allah baik dan hanya menerima yang baik-baik.

Dengan demikian, di samping ia berhenti dari pekerjaan yang haram, ia juga hendaknya memperbanyak infak, wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/311092/%D8%A7%D9%84%D8%AA%D8%AE%D9%84%D8%B5-%D9%85%D9%86-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%A7%D9%84-%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%B1%D8%A7%D9%85-%D9%88%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%86%D9%8A%D8%A9-%D8%A3%D9%86-%D9%85%D8%A7-%D8%B2%D8%A7%D8%AF-%D8%B9%D9%86-%D9%82%D8%AF%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%B1%D8%A7%D9%85-%D9%81%D9%87%D9%88-%D8%B5%D8%AF%D9%82%D8%A9

24. Pertanyaan: Assalamualaikum ustadz, bagaimana hukumnya jika saya sebagai ibu rumah tangga yang memiliki dua bayi dan saya sangat kesulitan untuk sholat, selalu shalat hampir di akhir waktu dikarenakan bayi saya menangis sampai menjerit ketika ditinggal sebentar saja. Apakah saya sangat berdosa ustadz? Suami saya bekerja dan saya tidak ada yang membantu dalam mengurus anak anak.

Dan bagaimana hukumnya jika saya ingin bekerja sementara anak anak saya masih bayi dibawah 1 tahun, akan saya titipkan ke pengasuh? Terima kasih ustadz.

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Jika seseorang merasakan kesulitan shalat di awal waktu, seperti karena mengurus dua bayi, maka tidak mengapa melakukan shalat dengan menjamaknya. Akan tetapi hendaknya tidak sering-sering, bahkan berusaha untuk shalat pada waktunya masing-masing, kecuali karena kebutuhan untuk menjamak.

Ulama madzhab Hanbali membolehkan jamak baik taqdim maupun ta’khir bagi orang yang beruzur dan bagi orang yang sakit. Mereka juga membolehkan wanita yang menyusui yang kesulitan mencuci pakaian di setiap waktu shalat dan wanita yang terkena darah istihadhah (darah penyakit), orang yang beser, dan orang yang tidak kesulitan bersuci, serta orang yang mengkhawatirkan bahaya terhadap diri, harta, atau kehormatannya.

Dengan demikian, ia boleh menjamak shalat ketika ini, akan tetapi praktek yang lebih utama adalah dengan jamak shuri, yaitu dengan mengakhirkan shalat yang pertama dan memajukan shalat yang kedua, seperti menunda shalat Zhuhur dan memajukan shalat Ashar sebagaimana wanita yang terkena darah istihadhah, agar ia tetap shalat pada waktunya masing-masing. Ketika uzur ini hilang, maka hendaknya ia berusaha segera shalat dan tidak menundanya, wallahu a’lam.

Adapun terkait wanita bekerja, maka hal ini menyelishi perintah Allah Ta’ala yang menyuruhnya berdiam di rumah, Dia berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al Ahzaab: 33)

Di samping itu, keluarnya dari rumah menimbulkan fitnah, apalagi sampai menyerahkan anaknya untuk diasuh kepada orang lain yang kasih sayangnya tidak seperti orang tuanya sendiri, dimana anak kita bisa diajarkan contoh yang tidak baik.

Tetapi jika ia membantu suaminya ketika bekerja seperti di tokonya atau di rumahnya, maka tidak mengapa. Hal itu karena memang yang bertanggung jawab mencari nafkah dan memberi nafkah adalah suami; bukan istri.

wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

Referensi: https://binbaz.org.sa/fatwas/891/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%B9%D9%85%D9%84-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B1%D8%A7%D8%A9

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger