بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqih Jual-Beli (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan
salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang
fiqih jual-beli, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Para ulama dalam menyusun kitab fiqih mengawali dengan fiqih
ibadah, karena memang ibadah merupakan perkara paling penting. Oleh karena itu,
mereka awali dengan shalat, zakat, puasa, haji sesuai urutan rukun Islam yang
disampaikan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya,
«بُنِيَ
الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ، عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللهُ ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ،
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَالْحَجِّ»
"Islam dibangun di atas lima dasar,
yaitu seorang mentauhidkan Allah (bersyahadat), mendirikan shalat, menunaikan
zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji." (HR.
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, namun lafaz ini milik Muslim).
Mereka mengawali dengan bab thaharah (bersuci), karena ia adalah
kunci masuk ke dalam ibadah shalat. Setelah fiqih ibadah, maka para ulama melanjutkan
dengan fiqih muamalah, karena secara kebutuhan dan kepentingan mendesak,
muamalah lebih didahulukan daripada ahwal syakhshiyyah (masalah rumah tangga
dan pribadi), yakni pernikahan serta yang terkait dengannya. Selanjutnya mereka
membahas tentang jinayat dan mengakhirinya dengan qadha (peradilan). (Lihat Mudzakkiratul
Fiqh hal. 171)
Di antara materi muamalah adalah materi jual beli yang akan kita
bahas pada kesempatan ini.
Definisi Jual-Beli
Jual beli secara bahasa artinya mengambil sesuatu dan memberikan
sesuatu. Secara istilah, jual beli adalah tukar menukar harta tertentu, dzimmah
(tanggungan), atau manfaat dengan salah satu di antara tiga macam itu yang
berlaku selamanya tanpa adanya riba dan bukan berupa pinjaman.
Contoh tukar-menukar harta tertentu: seorang berkata, “Saya beli
rumah ini dengan mobil ini.”
Contoh tukar-menukar tanggungan (nilai): Seorang berkata, “Saya
beli radio ini dengan harga 100 riyal,”
Sedangkan contoh tukar-menukar manfaat adalah seseorang memiliki
rumah, dimana antara rumahnya dengan jalan dihalangi rumah orang lain, lalu
pemilik rumah yang di berada di belakang berkata, “Saya ingin membeli jalanmu
ke jalan raya, lalu dijuallah jalan itu kepadanya dengan bayaran yang
disepakati.” Ini disebut dengan jual-beli manfaat. Hal itu, karena pembeli
hanya membeli manfaat saja dan tidak membeli tanah, sehingga pemilik tanah
berhak membuat atap di atas jalan atau menggali parit dari bawah bumi, akan
tetapi dengan syarat tidak menghilangkan manfaat bagi pembeli.
Maksud ‘berlaku lama’ adalah agar tidak masuk ke dalam bab
ijarah (sewa-menyewa), karena itu bukan jual-beli bahkan ada tempo waktunya.
Maksud ‘tanpa adanya riba’ yakni bukan riba seperti
seseorang menjual satu dirham dengan bayaran dua dirham.
Dan maksud ‘bukan berupa pinjaman’ yakni bahwa ini bukan
pinjaman meskipun di sana terdapat tukar-menukar, akan tetapi maksud pinjaman
bukan itu, tetapi maksudnya berbuat baik dan berbuat ihsan.
Hukum Jual Beli
Jual beli hukumnya boleh berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan
Ijma (kesepakatan para ulama).
Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)
Dalam As Sunnah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ
مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Dua orang; penjual dan pembeli berhak khiyar
(melanjutkan/membatalkan jual beli) sebelum keduanya berpisah.” (Hr. Bukhari
dan Muslim)
Dalam hadits ini terdapat persetujuan terhadap jual-beli.
Para ulama juga sepakat tentang kebolehan jual-beli. Di samping
itu, pandangan yang benar juga menghendaki untuk membolehkannya karena manusia
membutuhkannya.
Syarat Umum Dalam Berbagai Akad (Jual Beli dan lainnya)
Syaratnya adalah:
1. Pelaku akad memiliki kekuasaan melakukan akad, yakni ia sebagai
pemiliknya, atau menduduki posisi pemilik seperti wali, wakil, washi
(mendapatkan wasiat) atau nazhir (menjadi penanggung jawab/pengawas).
Wali maksudnya orang yang mendapatkan hak bertindak karena jalur
syariat. Contoh: anak yatim yang berada di bawah asuhan seseorang, maka
pengasuhnya itulah wali, dan yang menjadikannya wali adalah syariat.
Wakil maksudnya orang yang mendapatkan hak bertindak karena perwakilan
yang diangkat dari orang yang hidup.
Washi maksudnya orang yang mendapatkan hak bertindak karena diangkat
sebagai wakil dari orang yang telah meninggal yang sebelumnya berwasiat.
Nazhir maksudnya orang yang mendapatkan hak bertindak dalam waqaf,
misalnya ada seorang yang mewaqafkan rumah untuk kebaikan, maka seorang yang
bertanggung jawab dan menjadi pengawasnya disebut nazhir.
Dalil terhadap syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil.” (Qs. Al Baqarah: 188)
Dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ،
وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatanmu adalah terpelihara.”
(Hr. Bukhari dan Muslim)
2. Pelaku akad boleh bertindak, yakni keadaannya sebagai orang
merdeka, baligh, berakal, dan cerdas.
Maksud ‘merdeka’ adalah bukan sebagai budak, karena budak tidak
berhak bertindak, karena ia tidak memiliki harta. Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ عَبْدًا، وَلَهُ
مَالٌ فَمَالُهُ لِلْبَائِعِ، إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
“Barang siapa yang menjual budak dan ia (budak itu) memiliki
harta, maka hartanya untuk penjual kecuali jika pembeli mensyaratkan (hartanya
untuknya).” (Hr. Tirmidzi, Abu Dawud, dan
Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani)
Di samping itu, budak juga tidak memiliki kekuasaan, karena ia
tidak memiliki.
Maksud ‘baligh’ adalah sudah dewasa atau bukan anak-anak, dan
baligh terwujud karena salah satu keadaan ini: (a) tumbuhnya bulu kemaluan, (b)
berusia lima belas tahun, (c) keluar mani, dan bagi wanita ditambah dengan datangnya
haidh.
Jika belum baligh, maka tindakannya tidak sah berdasarkan firman
Allah Ta’ala,
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى
حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ
أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (Qs. An Nisaa: 6)
Dalam ayat ini terdapat dua syarat, yaitu cukup umur untuk menikah
dan telah dirasakan cerdas.
Maksud ‘berakal’ adalah bukan orang gila atau dungu. Gila adalah
orang yang tindakannya buruk, sedangkan dungu memang tidak muncul tindakan yang
buruk namun tidak baik bertindak.
Maksud ‘cerdas’ adalah yang keadaannya sesuai dengan kondisinya.
Ketika berkaitan dengan agama ‘cerdas’ adalah orang yang saleh. Ketika
berkaitan dengan ‘harta’ cerdas adalah orang yang pandai bertindak terhadap
hartanya. Jika tidak cerdas, maka tindakannya tidak sah. Cerdas adalah sifat
yang sulit digambarkan karena tidak tampak tandanya, namun intinya orang yang
cerdas dalam muamalah adalah orang yang baik bertindak dengan tidak
mengeluarkan untuk hal yang berbahaya atau terdapat mafsadat, bahkan
mengeluarkan untuk hal yang bermaslahat.
Mungkin timbul pertanyaan bagi kita ‘bagaimana dengan perokok?’
Bukankah ia mengeluarkan harta untuk hal yang membahayakan, apakah kita katakan
bahwa tindakannya tidak sah? Jawab: Sikap cerdas dapat terbagi-bagi, terkadang
ada seorang yang pandai mengelola hartanya, namun ia sengaja membeli yang
haram, maka ia masih dianggap cerdas, namun dalam perkara yang ia tidak cerdas
di sana, maka tindakannya batil.
Dalil tentang syarat ‘cerdas’ adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ
أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan.” (Qs. An Nisaa’: 5)
Maksud ‘kurang akal’ di ayat ini adalah yang tidak baik dalam
bertindak terhadap hartanya. Jika kita tidak memberikan harta kepadanya, maka
tindakan terhadap hartanya tidak sah, karena kalau seandainya sah, tentu kita
wajib memberikan hartanya kepadanya, juga berdasarkan surah An Nisaa ayat 6
yang telah disebutkan dalilnya.
3. Akad muncul atas dasar keridhaan kecuali jika dipaksa karena
alasan yang hak (benar)
Jika akal muncul karena paksaan, maka tidak boleh. Tetapi jika
dipaksa karena alasan yang benar, maka tidak mengapa dan akad itu sah. Contoh:
seseorang dipaksa menjual sebagian hartanya seperti mobil, maka jual beli ini
tidak sah kecuali dengan alasan yang benar seperti orang ini sedang bangkrut
dan memiliki banyak utang, lalu ia dihajr (dicegah dalam bertindak terhadap
hartanya), kemudian (dipaksa) menjual mobilnya untuk melunasi utang-utangnya,
maka hal ini boleh, karena memaksa di sini dengan alasan yang benar. Termasuk
di dalamnya mobil-mobil yang disita dengan alasan yang benar, ketika polisi
menyita, maka ketika dijual adalah boleh atau dibeli juga boleh, karena diambil
melalui jalur syar’i, yaitu adanya sanksi dan ta’zir (hukuman berdasarkan
pandangan hakim) terhadap para pelaku keburukan atau aniaya sesuai yang
dipandang pemerintah dapat membuatnya jera. Hal ini termasuk hak syar’i.
Dalil terhadap syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا
مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain
itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al Baqarah: 188)
Dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ
تَرَاضٍ
“Sesunggunya jual-beli itu atas dasar saling ridha.” (Hr. Ibnu
Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ،
وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatanmu adalah terpelihara.”
(Hr. Bukhari dan Muslim)
Makna ayat dan hadits di atas menghendaki akad muncul atas dasar
keridhaan, karena kalau kita diperbolehkan memaksa manusia menjual harta mereka
dengan tanpa alasan yang benar, tentu akan meninmbulkan kekacauan dan
permusuhan.
4. Akad tidak mengandung perkara yang diharamkan.
Jika akad mengandung perkara yang diharamkan, maka akadnya tidak
sah. Allah Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong-menolonglah atas dasar kebaikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong atas dasar dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan perbuatan yang tidak kami
perintahkan, maka amalan itu tertolak.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
فَأَيُّمَا شَرْطٍ لَيْسَ
فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak disebutkan dalam kitabullah (bertetangan
dengan kitabullah) adalah batil meskipun berjumlah seratus syarat.” (Hr.
Bukhari dan Muslim)
Makna ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa akad tidak boleh
terhadap perkara yang diharamkan. Hal itu, karena jika kita sahkan akad yang
haram, tentu sama saja menentang ketetapan Allah Azza wa Jalla.
Contoh akad yang mengandung perkara yang diharamkan adalah membeli
telur untuk dipakai perjudian, atau membeli alat-alat untuk hal yang sia-sia
seperti radio untuk mendengarkan musik. (Lihat Mudzakkiratul Fiqh hal.
173-175)
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Mudzakkiratul Fiqh (Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin), Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar