بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (37)
(Sabar Terhadap Takdir Allah Bagian Dari
Iman)
Segala
puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami
rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr.
Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Sabar Terhadap
Takdir Allah Bagian Dari Iman
Allah
Ta’ala berfirman,
وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Barang siapa
yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (Qs.
At Taghabun: 11)
Alqamah
berkata, “Maksud ayat itu adalah seorang yang tertimpa musibah, ia meyakini bahwa
itu semua dari Allah, maka ia pun ridha dan pasrah kepada-Nya.”
**********
Penjelasan:
Dalam
bab ini, penyusun (Syaikh Muhammad At Tamimi) ingin menerangkan tentang
kewajiban bersabar terhadap takdir Allah Azza wa Jalla dan haramnya
keluh-kesah, karena hal itu dapat mengurangi kesempurnaan tauhid.
Alqamah
adalah tabi’in besar, termasuk ulama dan orang tsiqah dari kalangan tabi’in.
Namanya Alqamah bin Qais bin Abdullah bin Alqamah. Ia lahir di masa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, dan wafat setelah tahun 60 H.
Iman
secara bahasa artinya membenarkan. Sedangkan secara syara, iman adalah
mengikrarkan di lisan, membenarkan di hati, dan mengamalkan dengan anggota
badan. Ia dapat bertambah dengan ketaatan dan dapat berkurang karena
kemaksiatan.
Sabar
secara bahasa artinya menahan. Sedangkan secara syara’, sabar adalah menahan
diri dari sikap keluh-kesah, menahan lisan dari mengeluh dan kesal, serta
menahan anggota badan dari sikap yang menunjukkan tidak ridha terhadap takdir
seperti menampar muka, merobek baju, dan menarik rambut.
Ayat
di atas menerangkan, bahwa barang siapa yang mendapatkan musibah, lalu ia
meyakini bahwa musibah itu berasal dari Allah Azza wa Jalla, ia pun bersabar
dan mengharapkan pahala, serta pasrah dan menerima takdir Allah, maka Allah
akan membimbing hatinya, dan mengganti bagian dunia yang hilang daripadanya
dengan petunjuk pada hatinya dan keyakinan yang benar, dan terkadang diganti
yang dicabut itu dengan yang sama atau lebih baik daripadanya.
Dalam
ayat tersebut terdapat dalil keutamaan sabar terhadap takdir Allah Azza wa
Jalla.
Kesimpulan:
1.
Keutamaan sabar
terhadap musibah.
2.
Amal termasuk bagian
dari iman.
3.
Sabar merupakan sebab
memperoleh hidayah bagi hati.
**********
Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu
anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
" اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: الطَّعْنُ فِي
النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ "
“Ada dua yang
masih dilakukan manusia, dimana keduanya merupakan kekufuran, yaitu mencela
nasab dan meratapi mayit.”
**********
Penjelasan:
Hadits
di atas disebutkan dalam Shahih Muslim no. 67.
Dalam
hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa akan selalu
ada perkara kufur yang masih dikerjakan manusia, dimana tidak ada yang selamat
daripadanya kecuali orang yang dijaga Allah Azza wa Jalla. Perkara kufur
tersebut adalah mencela dan mencacatkan nasab, serta mengangkat suara
(berteriak) atau meratap ketika terjadi musibah karena tidak menerima takdir
Allah Azza wa Jalla. Meskipun begitu, bukan berarti orang yang melakukan
perbuatan itu menjadi kafir atau keluar dari Islam sampai dia melakukan kufur
akbar (besar) sebagaimana yang diterangkan dalam kitab-kitab akidah.
Dalam
hadits di atas terdapat dalil haramnya mencela nasab dan meratap terhadap
musibah.
Kesimpulan:
1.
Haramnya meratap dan
bahwa hal itu termasuk kekufuran sehingga sebagai dosa yang besar.
2.
Wajibnya bersabar
terhadap musibah.
3.
Di antara perkara
kufur ada yang tidak mengeluarkan dari Islam.
4.
Haramnya mencela nasab.
**********
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud secara marfu (berasal dari
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam),
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ
الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukan termasuk
golongan kami orang yang menampar pipi, merobek kerah baju, atau menyeru dengan
seruan Jahiliyah.”
**********
Penjelasan:
Hadits
tersebut disebutkan dalam Shahih Bukhari no. 1294 dan Shahih Muslim
no. 103.
Dalam
hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan ancaman terhadap
orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan yang disebutkan, karena di
dalamnya terdapat sikap tidak ridha terhadap ketetapan Allah Azza wa Jalla,
tidak sabar, dan menyakiti diri sendiri seperti menampar pipi, dsb.
Maksud
menyeru dengan seruan jahiliyyah adalah meratap dan menyebutkan kecelakaan
terhadap dirinya seperti yang biasa diucapkan oleh orang-orang Jahiliyah. Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Menyeru dengan seruan Jahiliyah adalah
seperti mengajak kepada suku dan sikap fanatik. Termasuk pula fanatik terhadap
madzhab, kelompok, dan guru, melebihkan yang satu di atas yang lain, mengajak
kepadanya, berwala dan berbara karenanya. Itu semua termasuk seruan Jahiliyah.”
Hadits
di atas menunjukkan, bahwa sikap keluh-kesah dan kesal terhadap takdir Allah
Azza wa Jalla baik dengan ucapan maupun perbuatan termasuk dosa besar.
Kesimpulan:
1.
Haramnya keluh-kesah
terhadap takdir Allah Azza wa Jalla, baik dengan ucapan maupun dengan
perbuatan, dan bahwa hal itu termasuk dosa besar.
2.
Wajibnya bersabar
ketika mendapatkan musibah.
3.
Wajibnya menyelisihi
kaum Jahiliyyah.
**********
Dari
Anas radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا
أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ
السَّخَطُ»
“Sesungguhnya
besarnya pahala sesuai besarnya ujian. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum,
maka Dia akan menguji mereka; barang siapa yang ridha, maka dia akan memperoleh
keridhaan Allah, dan barang siapa yang kesal, maka dia akan memperoleh
kemurkaan-Nya.” (Dihasankan oleh Tirmidzi)
**********
Penjelasan:
Hadits
di atas diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 2396, Ibnu Majah no. 4031, Ibnu Addi
dalam Al Kamil (3/356), Al Qudha’i dalam Musnadnya (1121), dan Al
Baghawi dalam Syarhus Sunnah (5/245) dari Anas bin Malik. Hadits ini
dinyatakan shahih karena syawahidnya oleh Syaikh Usamah Al Utaibiy, dan
dishahihkan pula oleh Imam As Suyuthi.
Dalam
hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa besarnya
pahala sesuai besarnya ujian dan cobaan, tentunya jika disikapi dengan sabar
dan mengharapkan pahala. Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga menerangkan,
bahwa tanda cinta Allah kepada seorang hamba adalah ketika Dia memberinya
ujian, lalu ia bersabar dan ridha, mengharapkan pahala, serta bersangka baik
kepada Allah Azza wa Jalla. Jika demikian, maka dia akan memperoleh keridhaan
Allah dan pahala-Nya, tetapi jika ia keluh-kesah atau tidak ridha, maka ia akan
memperoleh kemurkaan Allah dan siksa-Nya.
Kesimpulan:
1.
Tanda cinta Allah Azza
wa Jalla kepada hamba-Nya adalah dengan memberinya ujian.
2.
Allah memiliki sifat
cinta, ridha, dan murka sesuai kebesaran dan keagungan-Nya.
3.
Menetapkan hikmah
(kebijaksanaan) dalam tindakan Allah Azza wa Jalla.
4.
Balasan sesuai dengan
amal yang dikerjakan.
5.
Dorongan untuk
bersabar terhadap musibah.
6.
Terkadang seseorang membenci
sesuatu, padahal yang demikian adalah baik baginya.
**********
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ العُقُوبَةَ
فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ
حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»
“Apabila Allah
menghendaki kebaikan untuk seorang hamba, maka Allah menyegerakan hukuman
baginya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuk seorang hamba,
maka Dia tangguhkan dosanya, sampai Dia penuhi balasannya nanti pada hari
Kiamat.”
**********
Penjelasan:
Hadits
di atas dan hadits sebelumnya diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 2396 dengan sanad
yang sama dan dari sahabat yang sama, juga diriwayatkan oleh Ahmad no. 4/87,
dan Hakim 1/349. Syaikh Al Albani menyatakan hasan shahih terhadap
hadits tersebut.
Dalam
hadits di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkan tentang
tanda kebaikan yang Allah berikan kepada seorang hamba, yaitu disegerakan
hukuman kepadanya di dunia untuk menghapuskan dosa-dosanya sehingga ia
meninggalkan dunia ini tanpa membawa dosa. Hal itu, karena barang siapa yang
telah dihisab amalnya segera, maka akan ringan hisabnya nanti. Demikian pula,
di antara tanda keburukan yang ditimpakan kepada seorang hamba adalah tidak
diberikan balasan terhadap dosa-dosanya sehingga dia meninggalkan dunia ini
membawa dosa-dosa untuk diberikan hukuman yang layak baginya pada hari Kiamat.
Dalam
hadits di atas terdapat dorongan untuk bersabar terhadap musibah dan ridha
terhadap takdir.
Kesimpulan:
1.
Tanda Allah memberikan
kebaikan kepada seorang hamba adalah disegerakan hukuman di dunia terhadap
dosa-dosanya.
2.
Tanda keburukan
seorang hamba adalah ketika dosa-dosanya ditangguhkan (tidak segera diazab)
bahkan diazab nanti pada hari Kiamat secara penuh.
3.
Berhati-hati terhadap
kondisi yang selalu sehat dan nyaman.
4.
Perintah untuk
bersangka baik kepada Allah Azza wa Jalla.
5.
Terkadang seseorang
benci terhadap sesuatu, padahal yang demikian adalah baik baginya.
6.
Dorongan untuk
bersabar terhadap musibah.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa
alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Fathul Majid (Abdurrahman
bin Hasan), Tahdzibul Kamal (Yusuf bin Abdurrahman Al Mizziy), Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar