بسم الله الرحمن الرحيم
Mengenal Kaidah Fiqih Yang Lima
Segala
puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan ‘Kaidah Fiqih Yang Lima’, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Ta’rif (definisi) Qawaid Fiqhiyyah
Qawa’id
Fiqhiyyah artinya kaidah-kaidah fiqih. Menurut Tajuddin As Subkiy,
bahwa Qawa’id Fiqhiyyah adalah kaidah kulli (umum), dimana masalah-masalah
juz’iyyah (bagian/parsial) yang begitu banyak masuk ke dalamnya, yang
daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyyah (Al Asybah wan Nazhair 1/11
karya Tajuddin Abdul Wahhab As Subkiy).
Perbedaan
Antara Ushul Fiqih dan Qawa’id Fiqhiyyah
Ushul
Fiqih membahas tentang dasar-dasar atau jalan secara garis besar yang
dibutuhkan oleh Ahli Fiqih untuk memperoleh hukum-hukum furu seperti ‘hukum
asal perintah adalah wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya’, ‘hukum
asal larangan adalah haram’, dst. Sedangkan kaidah fiqih adalah
pengelompokkan hukum-hukum furu (cabang/fiqih) yang bermacam-macam ke dalam
satu wadah ‘kaidah yang kulli (umum)’ yang mencakup seluruh masalah furu
tersebut.
Faedah
Mempelajari Ilmu Qawaid Fiqhiyyah
Prof.
Dr. T.M Hasbi As Shiddieqy dalam bukunya ‘Pengantar Hukum Islam’
menyatakan,
“Tak
dapat diragukan, bahwa seseorang yang hendak berijtihad memerlukan
kaidah-kaidah kulliyyah (umum) yang perlu dipedomani dalam menetapkan hukum.
Ulama-ulama Ushul berkata, “Apabila kaidah-kaidah kokoh terhunjam di dalam
dada, mudah dan lancarlah lidah-lidah menuturkan furu (hukum fiqih).”
Para
ulama terdahulu mengatakan,
مَنْ رَاعَى الْأُصُوْلَ كَانَ
حَقِيْقًا بِالْوُصُوْلِ وَمَنْ رَاعَى الْقَوَاعِدَ كَانَ خَلِيْقًا بِإِدْرَاكِ
الْمَقَاصِدِ
“Barang siapa
yang memperhatikan (memahami dan mengikuti) ilmu ushul fiqih, tentu ia akan
sampai kepada maksud (hukum-hukum fiqih), dan barang siapa yang memperhatikan
kaidah fiqih, tentu dia akan mencapai yang dimaksud (hukum-hukum fiqih).”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
مَنْ ضَيَّعَ الْأُصُوْلَ حُرِمَ الْوُصُوْلُ ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّلِيْلَ
ضَلَّ السَّبِيْلُ
“Barang siapa
yang meremehkan ushul, maka akan terhalang dari mencapai maksudnya (menggali hukum syar'i), dan barang
siapa yang meninggalkan dalil, maka akan tesesat jalannya.” (Ad Durar As
Sunniyyah fil Kutub An Najdiyyah 5/352).
Mengenal
Kaidah Yang Lima
Menurut
sebagian ulama, bahwa seluruh masalah fiqih dikembalikan kepada kaedah yang
lima berikut ini:
ا- اَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
1. Semua
perbuatan tergantung niatnya.
2- اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
2. Keyakinan
tidak dapat disingkirkan oleh keraguan.
3- اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
3. Kesulitan
mendatangkan kemudahan.
4- اَلضَّرَرُ يُزَالُ
4. Bahaya harus
disingkirkan
5- اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
5. Adat
kebiasaan dapat dijadikan hukum.
Akan
tetapi menurut Imam Izzuddin bin Abdussalam, bahwa hukum fiqih seluruhnya
kembali kepada kalimat ini,
اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ
Memperhatikan
(mendatangkan) maslahat dan menolak mafsadat (kerusakan/bahaya).
Dalil
dan Penjelasan Secara Garis Besar Kaedah Fiqih Yang Lima.
Dalil
kaedah no. 1 (Al Umur bimaqashidiha) adalah sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya
amal itu tergantung niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.” (Hr.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Maksud
kaedah ini adalah setiap perbuatan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah
maupun antara sesama makhluk ditentukan oleh niat dan tujuan dilakukannya.
Dalam
ibadah yang kaitannya dengan Allah Azza wa Jalla, niat adalah rukun, sehingga
menentukan sah-tidaknya suatu amal. Sedangkan dalam perbuatan yang kaitannya
dengan sesama makhluk, seperti muamalah, munakahah (pernikahan), jinayat
(tindak pidana), niat merupakan penentu; apakah perbuatan tersebut mempunyai
nilai ibadah atau sebaliknya, dan apakah sebagai perbuatan yang membawa dosa
atau tidak.
Niat
juga merupakan pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lain, seperti ibadah
yang fardhu dan yang sunah. Demikian juga merupakan pembeda antara ibadah atau
sekedar amal kebiasaan. Ini semua yang membedakannya adalah niat. Dan niat itu
tempatnya di hati; bukan di lisan.
Dalil
kaedah no. 2 (Al Yaqin laa yuzalu bisy syak) adalah sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam berikut,
« إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى
صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ
الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
“Apabila salah
seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, ia tidak ingat apakah sudah
shalat tiga rakaat atau empat rakaat, maka singkirkanlah keragu-raguan dan
dasarilah sesuai yang diyakini.” (HR. Muslim)
Yakin artinya maa kaana tsaabitan bin nazhar wad dalil,
yakni sesuatu yang pasti, dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil
(bukti). Sedangkan syak (ragu-ragu) artinya adalah keadaan yang tidak pasti,
berada di tengah-tengah antara betul atau tidak tanpa bisa dikalahkan salah
satunya.
Maksud kaidah kedua adalah bahwa sesuatu yang telah
meyakinkan tidak dapat digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali
yang meragukan itu naik menjadi yakin.
Contoh penerapan kaedah kedua adalah seorang yang telah
berwudhu, kemudian datang keraguan apakah ia telah berhadats, maka dalam hal
ini ditetapkan yang telah diyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadats.
Dalil
kaedah no. 3 (Al Masyaqqah tajlibut taisir) adalah firman Allah Ta’ala
berikut,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمْ الْعُسْرَ
“Allah
menginginkan kemudahan untukmu dan tidak mengingikan kesulitan.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Para ulama menerangkan, bahwa dari kaedah di atas keluar
segala bentuk rukhshah atau keringanan. Di antaranya:
Ketika safar, seseorang boleh mengqashar
(mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2), boleh berbuka, boleh mengusap
khuff lebih dari sehari-semalam, dsb.
Ketika sakit, boleh shalat sambil duduk atau
berbaring ketika tidak sanggup berdiri, boleh tayammum ketika berbahaya
menggunakan air, boleh berbuka puasa, dsb.
Ketika lupa, bebas dari dosa karena lupa,
seperti makan pada waktu puasa Ramadhan, atau salam sebelum selesai shalat,
kemudian berbicara dengan sengaja karena mengira shalatnya telah selesai, maka
dia tidak batal shalatnya.
Ketika terpaksa (darurat), seseorang boleh memakan makanan yang diharamkan agar
dirinya tidak binasa.
Ketika jahil (tidak tahu), seperti berbicara ketika shalat karena tidak tahu
hukumnya, maka shalatnya tidak batal.
Ketika sulit atau umumul balwa (keadaan yang sulit
dihindari), seperti shalat dengan terkena najis
yang sulit dihindari, adanya kotoran burung yang tersebar di masjid,
dsb.
Dalil
kaedah no. 4 (Adh Dhararu yuzal) adalah
hadits,
«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain. (Hr. Ibnu Majah, dan dinyatakan shahih lighairih
oleh Syaikh Al Albani)
Contoh penerapan kaedah ini dalam masalah muamalah
adalah, diperbolehkan mengembalikan barang yang telah dibeli jika ternyata ada
cacat. Demikian pula dalam transaksi jual beli karena terdapat perbedaan sifat
yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati, disyariatkannya hajr
(pencegahan melakukan transaksi pada harta) bagi orang yang safih (dungu/kurang
akal), anak yatim yang belum cerdas atau orang yang hilang akalnya. Dasar
pertimbangan diberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk menghindarkan
sejauh mungkin madharat (bahaya) yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya.
Dalam masalah jinayat,
Islam menetapkan qishas (membalas serupa). Juga ditetapkan hukuman hudud agar
tidak terulang lagi perbuatan berbahaya yang dilakukan, adanya kaffarat,
mengganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa untuk menumpas para pengacau
keamanan dan menindak para pelaku kriminalitas, dsb.
Dalam masalah munakahat
(pernikahan), Islam membolehkan perceraian dalam situasi dan kondisi rumah
tangga yang sudah tidak teratasi agar kedua suami istri tidak mengalami
penderitaan batin terus-menerus. Demikian pula dizinkan faskh (pembatalan
pernikahan) karena aib.
Dalil
kaedah no. 5 (Al Adah muhakkamah) adalah pernyataan Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu anhu,
«مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ»
“Apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal itu baik pula
di sisi Allah.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa adat dapat menjadi rujukan
hukum dalam beberapa keadaan.
Maksud ‘adat’ menurut para Ahli Fiqih adalah,
عِبَارَةٌ عَمَّا يَسْتَقِرُّ
فِي النُّفُوْسِ مِنَ الْأُمُوْرِ الْمُتَكَرِّرَةِ الْمَعْقُوْلَةِ عِنْدَ الطَّبَائِعِ
السَّلِيْمَةِ
Istilah untuk sesuatu yang berulang kali yang telah
menetap dalam jiwa karena sejalan dengan akal menurut tabiat yang masih sehat.
Berdasarkan definisi di atas, adat merupakan perkara yang
berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima
dan dibenarkan oleh akal dan tabiat yang masih sehat. Adat menjadi hujjah adalah ketika bermanfaat
dan tidak bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, tidak termasuk adat
sama sekali hal-hal yang membawa kepada kerusakan, kemaksiatan, dan tidak ada
faedahnya sama sekali, seperti muamalah secara riba, berjudi, menyabung ayam,
dan sebagainya meskipun perbuatan-perbuatan itu menjadi kebiasaan dan bahkan
mungkin sudah tidak dirasakan lagi keburukannya.
Contoh
penerapan kaedah di atas adalah tentang usia haidh dan baligh, batas minimal
darah haidh dan nifas, lamanya jeda yang bertentangan dengan muwalah
(berurutan) dalam wudhu, banyaknya gerakan menurut adat yang dianggap
membatalkan shalat, dsb.
Dalam hubungannya dengan kaidah di atas, para Ahli Fiqih
menyatakan,
كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَ ضَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ
فِي اللُّغَةِ يُرْجَعُ فِيْهِ إِلَى الْعُرْفِ
“Semua
yang datang dari syara secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama maupun
bahasa, maka dikembalikan kepada uruf (adat yang berlaku).”
Contohnya ukuran nafkah kepada istri dan bentuk ihsan
kepada kedua orang tua, serta bentuk silaturrahim.
Catatan:
Setiap lima kaidah yang disebutkan di atas memiliki kaidah-kaidah
turunan yang tidak kami sebutkan di sini.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Asybah wan Nazhair (Jalaluddin As Suyuthi), Al Asybah wan Nazhair (Tajuddin
As Subkiy), Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Drs. Abdul Mujib), Idhahul
Qawa’id Al Fiqhiyyah
(Abdullah bin Sa’id Al Lahji), http://www.alukah.net/sharia/0/87835/ , dll.
0 komentar:
Posting Komentar