بسم
الله الرحمن الرحيم
Fawaid Riyadhush Shalihin (28)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut Fawaid (Kandungan Hadits)
Riyadhush Shalihin yang banyak kami rujuk dari kitab Bahjatun
Nazhirin karya Syaikh Salim bin Ied Al Hilaliy, Syarh Riyadhush Shalihin karya
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy, dan lainnya. Hadits-hadits di dalamnya merujuk kepada
kitab Riyadhush Shalihin, akan tetapi kami mengambil matannya
dari kitab-kitab hadits induk. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Bab: Dorongan Untuk Menambah Kebaikan di Akhir-Akhir Usia
Allah
Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ
وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup
untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada
kamu pemberi peringatan?“ (QS.
Fathir: 37)
Ibnu
Abbas dan para peneliti berkata, “Maksud ayat tersebut adalah, bukankah kami
telah memanjangkan usiamu hingga 60 tahun?” Hal ini diperkuat oleh hadits yang
akan kami sebutkan nanti insya Allah. Ada yang mengatakan, bahwa maksudnya
adalah, hingga delapan belas tahun. Ada pula yang mengatakan, hingga empat
puluh tahun, sebagaimana yang dinyatakan Al Hasan, Al Kalbiy, dan Masruq, dan
dinukilkan pula dari Ibnu Abbas. Mereka juga menukilkan, bahwa penduduk Madinah
ketika usia salah seorang di antara mereka mencapai 40 tahun, maka ia fokus
beribadah. Ada pula yang mengatakan, bahwa maksudnya sampai pada usia baligh.
Adapun firman Allah Ta’ala, “dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi
peringatan?” Menurut Ibnu Abbas dan jumhur ulama adalah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ada yang mengatakan, bahwa maksudnya adalah uban. Hal ini
dinyatakan oleh Ikrimah, Ibnu Uyaynah, dan lainnya, wallahu a’lam.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: «أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ، حَتَّى
بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً»
(112)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
“Allah mengangkat udzur seseorang yang Dia panjangkan ajalnya sehingga usianya
mencapai enam puluh tahun.” (HR. Bukhari)
Para
ulama berkata, “Maksudnya Allah tidak memberikan udzur saat Dia telah
menangguhkan hingga usia ini.”
Fawaid:
1.
Luasnya rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya, karena Dia telah memanjangkan usia
mereka agar dapat bertaubat dan kembali kepada-Nya.
2.
Allah Ta’ala tidak akan menyiksa hamba-Nya kecuali setelah ditegakkan hujjah
kepadanya.
3.
Usia hingga enam puluh adalah hanya kemungkinan akhir ajalnya, karena umur umat
ini antara enam puluh sampai tujuh puluh dan sedikit yang melewati usia itu.
4.
Barang siapa yang telah mencapai usia enam puluh tahun, tidak ada hujjah
baginya untuk tidak bertaubat dari maksiat.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ عُمَرُ يُدْخِلُنِي مَعَ
أَشْيَاخِ بَدْرٍ فَكَأَنَّ بَعْضَهُمْ وَجَدَ فِي نَفْسِهِ، فَقَالَ: لِمَ
تُدْخِلُ هَذَا مَعَنَا وَلَنَا أَبْنَاءٌ مِثْلُهُ، فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّهُ مَنْ
قَدْ عَلِمْتُمْ، فَدَعَاهُ ذَاتَ يَوْمٍ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُمْ، فَمَا رُئِيتُ
أَنَّهُ دَعَانِي يَوْمَئِذٍ إِلَّا لِيُرِيَهُمْ، قَالَ: مَا تَقُولُونَ فِي
قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالفَتْحُ} [النصر: 1] ؟
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: أُمِرْنَا أَنْ نَحْمَدَ اللَّهَ وَنَسْتَغْفِرَهُ إِذَا
نُصِرْنَا، وَفُتِحَ عَلَيْنَا، وَسَكَتَ بَعْضُهُمْ فَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا،
فَقَالَ لِي: أَكَذَاكَ تَقُولُ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ؟ فَقُلْتُ: لاَ، قَالَ: فَمَا
تَقُولُ؟ قُلْتُ: «هُوَ أَجَلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَعْلَمَهُ لَهُ» ، قَالَ: {إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالفَتْحُ} [النصر: 1]
«وَذَلِكَ عَلاَمَةُ أَجَلِكَ» ، {فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا} [النصر: 3] ، فَقَالَ عُمَرُ: «مَا أَعْلَمُ مِنْهَا
إِلَّا مَا تَقُولُ»
(113) Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Umar pernah memasukkanku (dalam
musyawarah) bersama para orang tua yang hadir di perang Badar, namun sepertinya
sebagian mereka merasa tidak enak dalam hatinya, dan berkata, “Mengapa engkau
masukkan anak ini bersama kita, padahal kami juga memiliki anak yang sebaya dengannya?”
Umar menjawab, “Sebenarnya dia itu sebagaimana yang telah kalian ketahui
(tumbuh dari rumah kenabian dan sumber ilmu) .” Pada suatu hari Umar mengundang
Ibnu Abbas dan memasukannya bersama mereka. Ibnu Abbas berkata, “Sepertinya
Beliau mengundangku pada hari itu hanya untuk memperlihatkan keadaan diriku
kepada mereka.” Beliau berkata, “Apa pendapat kalian tentang firman Allah
Ta’ala, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,” (QS. An
Nashr: 1), lalu sebagian mereka berkata, “Kita diperintahkan untuk memuji Allah
dan memohon ampunan kepada-Nya apabila kita ditolong dan diberikan kemenangan,”
sedangkan sebagian lagi diam; tidak berkata apa-apa.” Lalu Umar berkata
kepadaku, “Apakah pendapatmu demikian wahai Ibnu Abbas?” Aku menjawab, “Tidak.”
Umar berkata, “Apa pendapatmu?” Aku menjawab, “Itu adalah ajal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah beritahukan kepada Beliau,” Dia
berfirman, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,”
adalah tanda akan tiba ajalmu, lalu Dia berfirman, “Maka bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penerima taubat,” (QS. An Nashr: 3). Umar berkata, “Memang, saya sendiri
tidak mempunyai pendapat selain apa yang telah engkau ucapkan itu.” (HR.
Bukhari)
Fawaid:
1. Keutamaan
Ibnu Abbas dan kedalaman ilmunya berkat doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuknya agar Allah memberikan pemahaman terhadap agama dan pengetahuan tentang
tafsir Al Qur’an.
2. Mengingatkan agar
beristighfar saat ajal semakin dekat.
3. Keutamaan
ilmu, dimana karena hal tersebut seseorang menjadi unggul di atas orang-orang
yang sebaya dengannya.
4. Bolehnya bagi
seseorang menyebutkan nikmat yang Allah berikan kepadanya.
5. Bolehnya
memasukkan anak-anak ke dalam kalangan orang tua jika ada manfaatnya.
6. Kabar gembira
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang akan tibanya penaklukkan
Mekkah.
7. Hendaknya
pemerintah bermusyawarah dengan Ahli Ilmu dalam masalah-masalah penting.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: مَا صَلَّى
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ
عَلَيْهِ: {إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالفَتْحُ} [النصر: 1] إِلَّا يَقُولُ
فِيهَا: «سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي»
(114) Dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah melakukan suatu shalat pun setelah turun ayat, “Apabila telah
datang pertolongan Allah dan kemenangan,” (QS. An Nashr: 1) melainkan
membaca di dalam shalat itu doa, “Subhaanaka Rabbana wa bihamdikallahummagh
firliy,” (artinya: Mahasuci Engkau wahai Rabb kami, dan dengan memuji-Mu,
ampunilah aku).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah
riwayat dalam Shahihain pula dari Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ
يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي " يَتَأَوَّلُ القُرْآنَ
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat sering mengucapkan dalam ruku dan sujudnya, “Subhaanakallahumma
Rabbana wa bihamdikallahummagh firliy,” Beliau mengamalkan Al Qur’an.
Yakni dalam
ayat,
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ
“Maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. (QS. An
Nashr: 3)
Dalam sebuah
riwayat Muslim dari Aisyah disebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ
يَقُولَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ: «سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوبُ إِلَيْكَ» قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، مَا هَذِهِ الْكَلِمَاتُ
الَّتِي أَرَاكَ أَحْدَثْتَهَا تَقُولُهَا؟ قَالَ: «جُعِلَتْ لِي عَلَامَةٌ فِي
أُمَّتِي إِذَا رَأَيْتُهَا قُلْتُهَا» {إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ}
[النصر: 1] إِلَى آخِرِ السُّورَةِ
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak mengucapkan sebelum wafatnya, “Subhaanaka
wabihamdika astaghfiruka wa atuubu ilaik,” (artinya: Mahasuci Engkau, dan
dengan memuji-Mu, aku meminta ampun dan bertaubat kepada-Mu). Aisyah berkata, “Aku
bertanya, “Wahai Rasulullah, apa maksud kalimat yang sepertinya engkau
baru-baru ini mengucapkannya, “ Beliau bersabda, “Kalimat itu dijadikan tanda bagiku
pada umatku. Jika aku telah melihatnya, maka aku mengucapkannya,” Selanjutnya
Beliau membaca firman Allah Ta’ala, “Apabila telah datang pertolongan Allah
dan kemenangan,” sampai akhir surat (QS. An Nashr: 1-4).
Dalam riwayat
Muslim pula dari Aisyah disebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ مِنْ
قَوْلِ: «سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ»
قَالَتْ: فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَاكَ تُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ: «سُبْحَانَ
اللهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ؟» فَقَالَ: "
خَبَّرَنِي رَبِّي أَنِّي سَأَرَى عَلَامَةً فِي أُمَّتِي، فَإِذَا رَأَيْتُهَا
أَكْثَرْتُ مِنْ قَوْلِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللهَ
وَأَتُوبُ إِلَيْهِ، فَقَدْ رَأَيْتُهَا {إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ}
[النصر: 1] ، فَتْحُ مَكَّةَ، {وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللهِ
أَفْوَاجًا، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا}
[النصر: 3] "
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengucapkan, “Subhaanallah wabihamdi
astaghfirullah wa atuubu ilaih,” (artinya: Mahasuci Allah dan dengan
memuji-Nya. Aku meminta ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya), Beliau
bersabda, “Rabbku memberitahuku, bahwa aku akan melihat tanda pada umatku. Jika
aku melihatnya, maka aku memperbanyak ucapan, “Subhaanallah wabihamdi
astaghfirullah wa atuubu ilaih,” dan kini aku telah melihatnya, yaitu, “Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,” (QS. An Nashr: 1-4) kemenangan
itu adalah penaklukkan Mekkah. Beliau melanjutkan membacakan ayat, “Dan kamu
lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,--Maka bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 2-3)
Fawaid:
1. Rutinnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertasbih, bertahmid, dan beristighfar
dalam ruku dan sujudnya, serta dalam waktu dan kondisi utama.
2. Ketundukan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Rabbnya, dan melihat kekurangan
dalam menunaikan ibadah kepada-Nya di tengah-tengah banyaknya ibadah yang
Beliau lakukan, dan inilah kesempurnaan.
3. Dorongan menambahkan
kebaikan di akhir-akhir usia.
4. Sikap ketika
memperoleh nikmat dan kemenangan adalah bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla, termasuk
di antaranya dengan bertasbih, bertahmid, dan beristighfar, serta banyak
beribadah.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa
alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin
Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin), Bahjatun
Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah
versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar