بسم
الله الرحمن الرحيم
Hakikat Silaturrahmi
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang silaturrahmi, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) silaturrahmi
Silaturrahmi atau silaturrahim artinya
berbuat baik kepada kerabat, memberikan kebaikan kepada mereka, dan menghindarkan
keburukan semampunya yang menimpa mereka.
Kerabat di sini menurut sebagian ulama adalah para
mahram, dimana jika yang satu laki-laki dan yang lain perempuan, maka tidak
boleh saling menikah, sehingga mereka itu adalah ibu-bapak, kakek-nenek, dan
seterusnya ke atas, anak-anak dan seterusnya ke bawah, saudara berikut
anak-anaknya, saudari berikut anak-anaknya, paman dan bibi baik dari pihak ayah
maupun dari pihak ibu. Berdasarkan pendapat ini, maka tidak termasuk
ke dalamnya anak paman dan bibi.
Menurut yang lain, bahwa maksud ‘kerabat’
di sini adalah mereka yang saling waris-mewarisi. Berdasarkan
pendapat ini, maka tidak termasuk ke dalamnya paman dan bibi dari pihak ibu.
Ada pula yang berpendapat, bahwa
kerabat yang dimaksud adalah semua kerabat yang senasab dari pihak ayah maupun
ibu –bukan sepersusuan-, baik mereka mewarisi maupun tidak; sehingga termasuk
anak-anak paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun ibu. Adapun kerabat suami,
maka bukan menjadi kerabat istri, dan kerabat istri bukanlah kerabat bagi
suami. Ini adalah pendapat Syaikh Ibnu Baz (Fatawa Islamiyyah 4/195).
Meskipun kerabat suami bukan sebagai
kerabat istri, demikian juga sebaliknya, tetapi sepatutnya kita berbuat ihsan
terhadapnya, karena hal ini termasuk pergaulan yang baik antara suami dan
istri, demikian yang diterangkan Syaikh. M. Bin Shalih Al Munajjid (Lihat https://islamqa.info/ar/75057
)
Pendapat ketiga ini mencakup pendapat pertama dan kedua.
Hukum silaturrahmi
Tidak ada khilaf di antara ulama,
bahwa silaturrahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya adalah dosa besar. Imam Al
Qurthhubi dan Al Qadhiy Iyadh telah menukilkan kesepakatan ulama terhadapnya.
Perintah menyambung tali silaturrahmi dan keutamaannya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ
مُخْتَالاً فَخُوراً
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat,
Ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (QS. An Nuur: 36)
Dan ayat-ayat lainnya, seperti di
surat Al Baqarah: 83, 177, 215, An Nisaa’: 1, Al Anfal 74-75, Ar Ra’d: 25, An
Nahl: 90, Al Israa’: 26, Ar Ruum: 30, dan Muhammad: 23.
Sedangkan dalam hadits, misalnya hadits Abu Ayyub Al Anshari
radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Beritahukanlah kepadaku amalan yang dapat memasukkanku ke
surga?” Lalu di antara yang hadir berkata, “Ada apa dengannya? Ada apa
dengannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah urusan
orang ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَعْبُدُ
اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي
الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung tali
silaturrahim.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ
مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللهُ»
“Rahim itu bergantungan di Arsy sambil berkata, “Barang siapa yang
menyambungku, maka Allah akan menyambungnya, dan barang siapa yang
memutuskanku, maka Allah akan memutuskannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dan ini
adalah lafaznya dari Aisyah radhiyallahu anha)
مَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ
رَحِمَهُ
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya, dan dipanjangkan
umurnya[i], maka sambunglah tali
silaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka
muliakanlah tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir,
maka sambunglah tali silaturrahmi, dan barang siapa yang beriman kepada Allah
dan hari Akhir, maka ucapkanlah perkataan yang baik atau diam.” (HR. Bukhari,
ini lafaznya, dan Muslim)
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ، أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ وَصَلُّوا
وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan orang lain, sambunglah tali silaturrahmi, dan shalatlah ketika manusia sedang tidur, maka kalian akan masuk surga dengan sejahtera.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, lafaz ini adalah lafaznya, dan Ahmad, dishahihkan
oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 456)
Ancaman memutuskan tali silaturrahmi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
«لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ قَاطِعٌ»
“Tidak masuk surga orang yang
memutuskan tali silaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Praktek Silaturrahmi
Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan,
bahwa praktek silaturrahim ini sesuai uruf (adat) yang berlaku, karena tidak
diterangkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah macamnya, jenisnya, dan ukurannya.
Dan karena Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi dengan sesuatu,
bahkan memutlakkannya. Oleh karena itu, kembalinya ke uruf. Maka, apa saja yang
dianggap uruf sebagai bentuk silaturrahmi, maka itu silaturrahmi, dan yang
dianggap uruf sebagai memutuskan tali silaturrahmi, maka dianggap memutuskan (Sebagaimana
disebutkan dalam Syarh Riyadhush Shalihin).
Di antara para kerabat yang kita
diperintahkan menyambung tali silaturrahmi itu, ada yang bisa dihubungi setiap hari,
ada yang sepekan sekali, ada yang sebulan sekali, atau pada kesempatan
tertentu.
Praktek silaturrahmi juga disesuaikan
dengan kondisi, yang lebih dekat nasabnya seperti ayah-ibu dan saudara tentu
lebih didahulukan, dan yang lebih dekat tempat tinggalnya tentu berbeda dengan
yang tempat tinggalnya jauh.
Menyambung tali silaturrahmi juga
disesuaikan dengan kebutuhan kerabat kita dan kemampuan kita. Jika kerabat kita
membutuhkan sesuatu dan kita mampu memberinya, maka menyambungnya adalah dengan
memenuhi kebutuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّدَقَةُ
عَلَى المِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ: صَدَقَةٌ
وَصِلَةٌ
“Sedekah kepada orang miskin adalah
satu sedekah, dan kepada kerabat ada dua; yaitu sedekah dan silaturrahmi.” (HR.
Nasa’i dan Tirmidzi, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ
مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا
تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, "Apa
saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu lakukan, maka sesungguhnya
Allah Maha mengetahuinya.” (QS. Al
Baqarah: 215)
Menyambung tali silaturrahmi juga
bisa dengan memberinya harta, mengunjungi mereka, memperhatikan kondisi duniawi
(ekonomi) maupun ukhrawi (agama), menanyakan kabar, menjenguknya jika sakit,
mengiringi jenazah, memenuhi undangan, mendoakan, berkomunikasi baik lewat hp
atau surat, mengadakan acara kumpul keluarga, dan lebih baik lagi jika diawali
dengan taushiyah, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan lemah lembut,
mendamaikan yang bertengkar, dsb.
Sikap manusia terhadap silaturrahmi
Manusia dalam mempraktekkan
silaturrahmi ada tiga tingkatan; (1) washil (yang menyambung), (2) mukaafi’ (yang hanya membalas), dan (3) qaathi’ (yang memutuskan). Washil
adalah orang yang melakukan lebih; dalam arti
tetap menyambung silaturrahim, meskipun tidak dibalas atau bahkan diputuskan. Mukaafi’
adalah orang yang tidak menambah pemberiannya dari yang dia terima, dan mau menyambung
ketika disambung. Sedangkan qaathi’ adalah yang disambung, namun tidak
mau menyambung. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِىءِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا
قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang yang menyambung tali silaturrahim,
bukanlah yang hanya membalas. Akan tetapi, orang yang menyambung adalah orang
yang ketika diputuskan hubungannya, ia menyambungnya.” (HR. Tirmidzi,
dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang
yang berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya kerabat; saya menyambung tali
silaturrahim dengan mereka, namun mereka memutuskannya, saya berbuat baik
kepada mereka, namun mereka berbuat buruk kepadaku. Saya bersikap santun kepada
mereka, namun mereka berkata kasar kepadaku,” Beliau menjawab,
لَئِنْ
كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ
مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika keadaannya seperti yang engkau sampaikan, maka seakan-akan
engkau menyuapkan kepada mereka abu panas, dan engkau akan senantiasa
mendapatkan pertolongan Allah selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim)
Contoh-contoh tidak menyambung tali silaturrahmi
1. Tidak mau bersedekah dan
memberikan bantuan kepada kerabatnya.
2. Tidak menyempatkan berkunjung
kepada kerabat.
3. Tidak mau hadir dalam acara
keluarga.
4. Tidak mau menyambung tali
silaturrahim, kecuali jika yang lain mau menyambung lebih dulu.
5. Tidak mau mengajak mereka kepada
hidayah, serta tidak mau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
6. Membagi kerabat ke dalam beberapa
kelompok dan menjadikan mereka bercerai-berai.
7. Menyakiti kerabat baik dengan
ucapan maupun dengan perbuatan.
Marwan bin Musa
Maraji’: Silaturrahim (Abdurrahman bin Ayid Al
‘Ayid), https://islamqa.info/ar/75057
, Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah
Ruwathil Hadits & Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah
(Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), Hidayatul Insan
bitafsiril Qur’an (Penulis), dll.
[i] Dipanjangkan umur di sini bisa ditambahkan usianya atau diberkahi usianya, demikian pula rezeki (bisa ditambahkan rezeki atau diberikan
keberkahan).
Jika seorang berkata,
“Bukankah ajal itu sudah ditentukan, demikian pula rezeki sudah dicatat? Maka
bagaimana bisa ditambahkan?”
Menurut Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, bahwa ajal maupun rezeki ada dua macam; ajal mutlak yang hanya
diketahui Allah, dan ajal muqayyad (terbatas). Demikian pula ada rezeki yang
mutlak, ada pula rezeki yang muqayyad. Yang mutlak adalah yang diketahui Allah,
bahwa Dia menangguhkannya sampai waktu tertentu, atau yang diketahui Allah,
bahwa Dia akan memberinya rezeki sekian, maka hal ini tidak berubah. Adapun
yang muqayyad adalah yang Allah tulis dan beritahukan kepada para malaikat,
maka hal ini dapat bertambah dan dapat berkurang sesuai sebab (Majmu Fatawa
8/517, 540)
Menurut Syaikh M. Bin
Shalih Al Munajjid, bahwa pencatatan takdir ada dua macam; ada yang tidak dapat
berubah, yaitu yang berada di Lauh Mahfuzh (lihat QS. Ar Ra’d: 39), dan ada
pula yang dapat berubah, yaitu yang dicatat para malaikat (Lihat https://islamqa.info/ar/43021 ).
0 komentar:
Posting Komentar