بسم الله الرحمن الرحيم
Sunah-Sunah Shalat
(7)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang sunah-sunah
shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
10. Dzikr ketika bangun dari
ruku’ dan i’tidal
Dianjurkan bagi seorang yang
shalat, baik sebagai imam, makmum, maupun seorang yang shalat sendiri
(munfarid) mengucapkan ketika bangun dari ruku, “Sami’allahu liman hamidah,”
(artinya: Allah mendengar orang yang memuji-Nya). Saat ia berdiri tegak,
hendaknya ia mengucapkan, “Rabbanaa walakal hamd,”(artinya: Wahai Rabb
kami, untuk-Mulah segala puji) atau, “Allahumma Rabbanaa walakal hamd,”
(artinya: Ya Allah Rabb kami, untuk-Mulah segala puji).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Sami’allahu
liman hamidah,” ketika mengangkat punggungnya dari ruku, lalu mengucapkan saat
berdiri tegak, “Rabbanaa walakal hamd.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Bukhari dari
hadits Anas disebutkan, “Ketika ia (imam) mengucapkan “Sami’allahu liman
hamidah,” maka ucapkanlah, “Allahumma Rabbanaa walakal hamd.”
Sebagian ulama berpendapat,
bahwa makmum tidak mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah,” bahkan
ketika ia mendengar ucapan itu dari imam, ia cukup mengucapkan, “Allahumma
Rabbana walakal hamd,” berdasarkan hadits Anas di atas. Demikian pula
berdasarkan hadits Abu Hurairah dalam riwayat Ahmad dan lainnya, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: اللهُمَّ
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، فَإِذَا وَافَقَ قَوْلُ أَهْلِ الْأَرْضِ، قَوْلَ
أَهْلِ السَّمَاءِ، غُفِرَ لَهُ مَا مَضَى مِنْ ذَنْبِهِ
“Apabila
ia (imam) berkata, “Sami’allahu liman hamidah,” maka ucapkanlah, “Allahumma
Rabbanaa walakal hamd.” Jika ucapan penghuni bumi bersamaan dengan ucapan
penghuni langit, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Hadits ini
dinyatakan isnadnya shahih sesuai syarat Muslim menurut pentahqiq Musnad
Ahmad cet. Ar Risalah).
Akan tetapi sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi, “Shallu kamaa ra’aitumuni
ushalliy,” (artinya: shalatlah sebagaimana kalian lihat aku shalat)
menghendaki setiap orang yang shalat menggabung antara tasbih dan tahmid
(ucapan Sami’allahu liman hamidah dan Rabbana walakal hamd)
meskipun keadaannya sebagai makmum. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa
makmum cukup mengucapkan Rabbana walakal hamd saja, maka jawabannya
sebagaimana yang diterangkan Imam Nawawi berikut ini,
“Kawan-kawan kami (yang
semadzhab) berkata, “Maksudnya, ucapkanlah ‘Rabbanaa walakal hamd’
setelah kalimat yang sudah kalian ketahui, yaitu ‘Sami’allahu liman hamidah.’
Disebutkan secara khusus dzikr ini, karena mereka mendengar Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjaharkan dzikr tersebut (Sami’allahu liman hamidah), dimana
sunnahnya dzikr tersebut dibaca jahr, dan para sahabat tidak mendengar ucapan
Beliau ‘Rabbana walakal hamd’ karena Beliau mengucapkannya secara sir
(pelan). Mereka juga memahami sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalatlah
kalian sebagaimana kalian lihat aku shalat,” di samping ada kaedah mengikut
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak. Mereka juga sama-sama
mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah,” sehingga tidak perlu
diperintahkan lagi, namun mereka tidak mengetahui ucapan, ‘Rabbana walakal
hamd,’ sehingga mereka diperintahkan mengucapkan kalimat itu.”
Inilah ucapan paling pendek
saat i’tidal, yakni ‘Rabbana walakal hamd,’ namun dianjurkan menambah
lagi dengan dzikr seperti yang disebutkan dalam
hadits-hadits di bawah ini:
a. Dari Rifa’ah bin Rafi’ ia
berkata, “Suatu hari kami pernah shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepalanya dari
ruku dan mengucapkan ‘Sami’alahu liman hamidah,’ tiba-tiba ada seseorang
di belakang Beliau yang mengucapkan,
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ
“Wahai
Rabb kami, untuk-Mulah segala puji dengan pujian yang banyak, baik, lagi penuh
berkah.”
Setelah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam selesai shalat, Beliau bersabda, “Siapakah yang mengucapkan
kalimat tadi?” Orang itu menjawab, “Saya wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ
يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
“Aku
melihat ada tiga puluh malaikat lebih berebutan; siapa di antara mereka yang
pertama mencatatnya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Malik, dan Abu Dawud)
b. Dari Ali radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun dari ruku
mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah,” dan mengucapkan,
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ ومَا
بَيْنَهُمَا وَمِلْءَ مَا شِئْتَ، مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
“Wahai
Rabb kami, untuk-Mulah segala puji sepenuh langit, bumi, dan apa yang ada di
antara keduanya, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu[i].” (HR.
Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
c. Dari Abdullah bin Abi Aufa,
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau ketika mengangkat kepala
dari ruku mengucapkan,
«اللهُمَّ
لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاءِ، وَمِلْءُ الْأَرْضِ، وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ
شَيْءٍ بَعْدُ اللهُمَّ طَهِّرْنِي بِالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَالْمَاءِ
الْبَارِدِ اللهُمَّ طَهِّرْنِي مِنَ الذُّنُوبِ وَالْخَطَايَا، كَمَا يُنَقَّى
الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْوَسَخِ»
“Ya
Allah, untuk-Mulah segala puji sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh yang
Engkau kehendaki setelah itu. Ya Allah, sucikanlah diriku dengan salju, air
embun, dan air dingin. Ya Allah, sucikanlah diriku dari dosa-dosa dan kesalahan
sebagaimana disucikan baju yang putih dari kotoran.”(HR. Ahmad, Muslim, Abu
Dawud, dan Ibnu Majah)
Kandungan doa ini adalah
meminta kesucian secara sempurna.
d. Dari Abu Sa’id Al Khudriy
ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengucapkan “Sami’allahu
liman hamidah,” mengucapkan,
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَمِلْءُ
مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ
الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ: اللهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا
مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
“Wahai
Rabb kami, untuk-Mulah segala puji sepenuh langit dan bumi, sepenuh yang Engkau
kehendaki setelah itu, Wahai Pemilik pujian dan kemuliaan. Yang berhak
diucapkan seorang hamba, dimana kami semua adalah hamba-Mu adalah, “Ya Allah,
tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, tidak ada yang dapat
memberi jika Engkau menghalangi, dan tidak bermanfaat pemilik kekayaan baginya
(bahkan hanya amal saleh saja yang bermanfaat).” (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud).
e. Telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga, bahwa setelah mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah,”
Beliau mengucapkan,
لِرَبِّيَ الْحَمْدُ, لِرَبِّيَ الْحَمْدُ
“Untuk
Rabbku segala puji. Untuk Rabbku segala puji.”
Beliau mengulanginya sehingga
I’tidal Beliau lamanya seperti ketika ruku (HR. Abu Dawud dan Nasa’i dengan
sanad yang shahih).
11. Tatacara turun sujud dan
bangun daripadanya
Jumhur (mayoritas) para ulama
berpendapat dianjurkannya meletakkan kedua lutut terlebih dahulu sebelum kedua
tangan. Demikian diceritakan oleh Ibnul Mundzir dari Umar An Nakha’iy, Muslim
bin Yasar, Sufyan Ats Tsauriy, Ahmad,
Ishaq, dan para penganut madzhab ra’yu. Ibnul Mundzir berkata, “Itulah yang
saya pegang.”
Bahkan Abuth Thayyib
menceritakan dari mayoritas para fuqaha (Ahli Fiqh).
Ibnul Qayyim berkata, “Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua lutut terlebih dahulu sebelum
kedua tangannya, lalu menaruh kedua tangannya setelah itu, dan dahi bersama
hidungnya. Inilah yang benar yang diriwayatkan Syuraik, dari Ashim bin Kulaib,
dari ayahnya, dari Wa’il bin Hujr ia berkata, “Aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud meletakkan kedua lutut sebelum kedua
tangannya, dan ketika bangkit mengangkat kedua tangannya lebih dulu sebelum
kedua lututnya,” dan tidak ada riwayat yang menyelisihi hal tersebut.”
Akan tetapi Malik, Al Auza’iy,
dan Ibnu Hazm berpendapat dianjurkannya meletakkkan tangan lebih dulu daripada
kedua lutut. Ia juga salah satu riwayat dari Ahmad. Al Auza’i berkata, “Aku
mendapatkan manusia meletakkan tangan mereka lebih dulu sebelum kedua
lututnya.” Ibnu Abi Dawud berkata, “Itu merupakan pendapat para Ahli Hadits.”
Adapun cara bangun dari sujud
saat bangkit ke rakaat kedua, maka ada khilaf di antara ulama. Menurut jumhur,
yang dianjurkan adalah mengangkat kedua tangannya lalu kedua lututnya, namun
menurut yang lain, mengangkat kedua lutut lebih dulu sebelum kedua tangannya.
Dalam Shifat Shalatin Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Syaikh Al Albani disebutkan, bahwa Beliau
bersandar dengan kedua tangannya ketika bangkit.” (HR. Abu Ishaq Al Harbiy
dengan sanad yang shalih. Dan sama seperti ini dalam riwayat Baihaqi dengan
sanad yang shahih.)
12. Praktek sujud
Dianjurkan bagi seorang yang
sujud memperhatikan keadaan berikut, yaitu:
a. Menekan hidung, dahi, dan
kedua telapak tangan ke lantai, serta menjauhkan kedua tangan (lengannya) dari
kedua rusuknya. Dari Abu Humaid, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika sujud menekan hidung dan dahinya ke tanah, serta menjauhkan kedua
tangannya dari kedua rusuknya, serta meletakkan kedua telapak tangannya sejajar
dengan kedua pundaknya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi, ia berkata, “Hasan
shahih.”)
b. Meletakkan kedua telapak
tangan sejajar dengan kedua telinga atau kedua bahunya. Ada riwayat terhadap
keduanya, namun di antara ulama ada yang menggabung antara dua riwayat itu,
yaitu dengan menjadikan ujung ibu jari sejajar dengan kedua telinga, sedangkan
telapak tangan sejajar dengan kedua pundak.
c. Membuka semua jari-jari
tangannya dalam keadaan merapat. Dalam riwayat Hakim dan Ibnu Hibban
disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ruku merenggangkan
jari-jarinya, dan ketika sujud merapatkannya.
d. Menghadapkan ujung-ujung
jarinya ke kiblat. Dalam Shahih Bukhari dari hadits Abu Humaid
disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud meletakkan
kedua tangannya dengan tidak menghamparkannya dan tidak menggenggamnya, dan
Beliau hadapkan ujung-ujung jari kakinya ke kiblat.
Bersambung...
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
S. Sabiq), Maktabah Syamilah versi 345, dll.
[i] Maksudnya adalah jika ucapan ‘hamd’ (pujian) diwujudkan materi tentu akan
memenuhi langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya karena keagungannya.
0 komentar:
Posting Komentar