بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu
(Berpeganglah
Dengan Sunnahku dan Sunnah Para khulafa’urasyidin Setelahku)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini syarah hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu
Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu
dia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kami nasehat
yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Kami berkata,
“Wahai Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasihat perpisahan, maka berilah
kami wasiat.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أُوْصِيْكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ
عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً
كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah
Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin meskipun yang memimpin kalian adalah
seorang budak. Karena barang siapa yang hidup di antara kalian (sepeninggalku),
maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian
berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang
mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham.
Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena
semua perkara bid’ah adalah sesat.“ (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu
Majah, dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’
no. 2549).
Penjelasan hadits Irbadh bin Sariyah
radhiyallahu ‘anhu
Kalimat,
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kami nasehat
(mau’izhah)”.
Mau’izhah
artinya mengingatkan disertai targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memberikan nasihat melihat waktu
yang tepat dan memperhatikan kondisi mad’u (audien). Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga dalam memberikan nasihat sangat menyentuh hati.
Dalam
memberikan nasihat, Beliau mengikuti Al Qur’an, yaitu menyertakan targhib
dengan tarhib, sehingga tidak membuat putus asa manusia dan tidak membuat
manusia berani melakukan maksat. Sebagian kaum salaf berkata,
إنَّ
الْفَقِيهَ كُلُّ الْفَقِيهِ الَّذِي لَا يُؤَيِّسُ النَّاسَ مِنْ رَحْمَةِ
اللَّهِ وَلَا يُجَرِّئُهُمْ عَلَى مَعَاصِي اللَّهِ
“Sesungguhnya
orang yang betul-betul faqih adalah orang yang tidak membuat putus asa manusia
dari rahmat Allah dan tidak membuat mereka berani mengerjakan maksiat kepada
Allah.”
Sabda Beliau, “Bertakwa kepada
Allah”, maksudnya adalah mencari perlindungan dari azab Allah
dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini merupakan
hak Allah Azza wa Jalla. Dan tidak ada wasiat yang paling mulia dan paling
lengkap melebihi wasiat untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, bahkan Allah
mewasiatkan kita dan umat-umat sebelum kita untuk bertakwa kepada -Nya, Dia
berfirman,
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا
“Dan sungguh Kami telah
memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga)
kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir Maka
(ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah
kepunyaan Allah, dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.
An Nisaa: 131)
Sabda Beliau, “Tunduk dan patuh
kepada pemimpin kalian,” maksudnya tunduk dan patuh kepada para pemimpin
baik adil maupun zalim, yakni dengarkanlah apa yang mereka katakan dan jauhilah
apa yang mereka larang, meskipun yang memimpin kalian seorang budak. Tentunya
jika mereka tidak memerintahkan bermaksiat. jika ternyata memerintahkan
bermaksiat, maka tidak boleh ditaati. Perintah menaati ulil amri disebutkan di
surat An Nisaa’ ayat 59,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah
Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari Akhir. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisaa’: 59)
Pada ayat tersebut, taat kepada
ulil amri tidak diberi tambahan “taatilah” sebagaimana ketika Allah memerintahkan
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hal itu karena taat kepada ulil amri tidak mutlak.
Ibnu Rajab Al Hanbaliy berkata,
“Adapun mendengar dan taat kepada pemerintah kaum muslimin, maka di dalamnya
terdapat kebahagiaan di dunia. Dengannya, maslahat kehidupan hamba menjadi
tertib, dan dengannya pula mereka bisa menampakkan agama mereka dan menaati Rabb mereka.”
Al
Mubarakfuri berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat dorongan untuk bersikap
halus dan sejalan dengan pemerintah serta menjaga diri dari hal yang
menimbulkan fitnah (kekacauan) dan mengakibatkan berpecah-belah.”
Dalam
Al Majma’ disebutkan, “Jika dikatakan, bahwa syarat imam (pemerintah)
itu harus seorang merdeka, bersuku Quraisy, dan selamat anggota badannya (dari
cacat), maka saya katakan, “Ya, jika diangkat berdasarkan keputusan Ahlul Halli
wal ‘Aqdi (tim pengangkat kepala negara). Tetapi jika suatu pemerintahan
digulingkan oleh yang lain (lalu yang menggulingkan menjadi pemimpin), maka
tetap tidak boleh menyelisihinya, dan hukum-hukumnya tetap diberlakukan
meskipun ia seorang budak atau seorang muslim yang fasik. Di samping itu, dalam
hadits itu tidak disebut Imam, bahkan imam memberikan salah satu
kekuasaan kepadanya.”
Pensyarah
kitab Aqidah Thahawiyyah berkata,
أَمَّا لُزُوْمُ طَاعَتِهِمْ وَإِنْ جَارُوْا ، فَلِأَنَّهُ يَتَرَتَّبُ
عَلَى الْخُرُوْجِ عَنْ طَاعَتِهِمْ مِنَ الْمَفَاسِدِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ مِنْ
جَوْرِهِمْ ، بَلْ فِي الصَّبْرِ عَلَى جَوْرِهِمْ تَكْفِيْرُ السَّيِّئَاتِ ، وَمُضَاعَفَةُ
الْأُجُوْرِ ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى مَا سَلَّطَهُمْ عَلَيْنَا إِلاَّ لِفَسَادِ
أَعْمَالِنَا ، وَالْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ
“Adapun
wajibnya menaati mereka (penguasa) meskipun mereka zalim, karena memberontak
terhadap mereka menimbulkan banyak mafsadat melebihi tindak kezaliman yang
mereka lakukan. Bahkan bersabar terhadap gangguan mereka dapat menghapuskan
kesalahan dan melipatgandakan pahala, karena Allah Ta’ala tidaklah memberikan
kekuasaan kepada mereka atas kita kecuali karena buruknya amal kita, dan
balasan itu sesuai dengan amalan yang dikerjakan.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ
رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ
فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Barang
siapa yang melihat suatu hal yang tidak disukai dari pemimpinnya, maka
hendaknya ia bersabar, karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah
sejengkal saja, lalu ia meninggal dunia, maka ia akan meninggal dunia dengan
cara Jahiliyyah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda Beliau, “Karena barang
siapa yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan
banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk,”
yakni siapa saja yang diberi umur panjang, maka ia akan melihat banyak
perselisihan baik dalam masalah akidah, ibadah, manhaj (jalan hidup), dsb. yang
membuat seseorang kebingungan untuk memilih mana jalan yang harus ia ikuti, apalagi
masing-masing golongan yang ada seakan-akan di atas kebenaran karena berdalil
meskipun sebenarnya salah dalam memahami dalilnya.
Apa
yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan ternyata benar-benar
terjadi. Telah terjadi perselisihan yang banyak sepeninggal Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal, ini tampak sekali setelah terbunuhnya Umar
bin Khattab radhiyallahu 'anhu, pintu fitnah terbuka, umat Islam pun berselisih
dan terus berselisih. Namun demikian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak membiarkan begitu saja umatnya kebingungan, bahkan Beliau memberikan
jalan keluar saat kita menghadapi kondisi tersebut, yaitu dengan berpegang
teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kita untuk mengikuti sunnah Beliau
meskipun menyelisihi kebanyakan orang. Tidak sebatas itu, Beliau juga menyuruh kita
mengikuti para khalifah (pengganti) Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang
rasyidin (mendapat petunjuk), yang tidak lain adalah para sahabat Beliau,
terutama khalifah yang empat; Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu
'anhum. Hal itu, karena bisa saja di antara golongan-golongan itu berdalih
dengan ayat atau hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun dalam
memahaminya tidak seperti yang dipahami Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para sahabatnya, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menambahkan dengan sunnah (jalan yang ditempuh, cara beragama, dan pemahaman)
para sahabat, yakni apakah para sahabat memahami seperti itu ketika mendengar
ayat atau hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, terutama pada
ayat atau hadits-hadits yang membutuhkan penjelasan tambahan karena masih
samar. Oleh karena itu Al Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam mukadimah kitab
tafsirnya,
“Apabila ada seseorang yang
bertanya, “Apa cara terbaik dalam menafsirkan (Al Qur’an)?” Jawab,
“Sesungguhnya cara terbaik dalam hal ini adalah menafsirkan Al Qur’an dengan
(penjelasan) Al Quran, yang masih belum jelas di ayat ini mungkin dijelaskan di
ayat lain. Jika kamu tidak menemukan (penjelasan di ayat lain), maka dengan
melihat As Sunnah, karena ia adalah pensyarah Al Qur’an dan penjelasnya…dst.”
Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan, “Jika kita tidak menemukan (penjelasannya)
dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka kita melihat pendapat para sahabat,
karena mereka lebih tahu tentang hal itu…dst.” Ibnu Katsir berkata lagi, “Jika
kamu tidak menemukan dalam Al Qur’an, As Sunnah juga dari para sahabat, maka
dalam hal ini para imam melihat pendapat para tabi’iin…dst.”
Dengan cara seperti ini, yakni
merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi pertama Islam
(As Salafush Shaalih), kita dapat selamat dari perselisihan.
Inilah solusi
agar kita tetap di atas hidayah saat terjadi banyak perselisihan (dukhan)
seperti di zaman sekarang. Dengan demikian, tolok ukur benar tidaknya ‘aqidah,
pemahaman, jalan hidup, cara beragama, dan ibadah kita di zaman banyaknya
perselisihan seperti sekarang ini adalah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam dan para sahabat, jika sudah sama seperti pemahaman mereka berarti
pemahaman kita sudah benar. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا
“Maka jika mereka beriman seperti yang kamu[i]
telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Al
Baqarah: 137)
Ayat di atas cukup
jelas, bahwa jika kita memiliki pemahaman terhadap Islam seperti yang mereka
(Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat) pahami, tentu kita
berada di atas petunjuk.
Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata:
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مُتَأَسِّيأ فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَإِنَّهُمْ كَانُوْا اَبَرَّ هَذِهِ الْأُمَّةِ قُلُوْبًا وَاَعْمَقُهَا عِلْمًا
وَاَقَلُّهَا تَكَلُّفًا وَأَقْوَمُهَا هَدْياً وَأَحْسَنُهَا حَالاً قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ
اللهُ تَعَالَى لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاِقَامَةِ
دِيْنِهِ فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ فَإِنَّهُمْ
كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ
“Barang siapa yang hendak mencari
panutan, maka carilah panutan dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, karena mereka adalah orang yang paling baik hatinya, paling dalam
ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya dan paling baik
keadaannya. Mereka adalah orang-orang yang dipilih Allah Ta’ala untuk menemani
Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dan untuk menegakkan agamanya, Maka
kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka, karena mereka berada di
atas petunjuk yang lurus.” (Disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam Jaami’ Bayaanil
‘ilm).
Hudzaifah bin
Al Yaman radhiyallahu 'anhu berkata, “Semua ibadah yang tidak pernah
dilakukan para sahabat, maka janganlah kamu lakukan.”
Di samping itu, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat merupakan cermin ajaran Islam,
yakni apabila kita ingin melihat Islam, maka lihatlah Rasulullah shallalllahu
'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, jangan melihat kaum muslimin zaman
sekarang. Karena kaum muslimin di zaman sekarang banyak yang meninggalkan
ajaran agamanya, mereka mengerjakan larangan-larangan dan meninggalkan perintah,
sehingga tidak bisa melihat Islam dengan melihat mereka.
Dalam hadits di atas juga kita
diperintahkan menjauhi bid’ah, yakni mengada-ada dalam agama yang dibawa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini merupakan dalil terlarangnya berbuat
bid’ah. Oleh karena itu, jika seorang yang berbuat bid’ah
berkata, « Bukankah tidak ada larangannya saya mengerjakan ibadah
ini? » Maka jawablah dengan hadits ini, yakni Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam melarang semua bid’ah dalam agama. Karena jika disebutkan
satu persatu tidak mungkin, disebabkan banyaknya jumlah bid’ah.
Hadits di atas juga menerangkan
bahwa bid’ah dalam agama semuanya sesat, tidak ada yang hasanah (baik). Yang
demikian adalah karena bid’ah menjadikan agama ini menjadi rusak.
Faedah:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
اِفْتَرَقَتِ
الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً ، وَ
تَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً ،
وَ تَفْتَرِقُ أُمَتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً
“Orang-orang
Yahudi telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua
golongan. Orang-orang Nasrani telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu
atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh
puluh tiga golongan.”[ii]
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً ، وَ
إِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَ سَبْعِيْنَ ، ثِنْتَانِ وَ
سَبْعُوْنَ فِي النَّارِ ، وَ وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَ هِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah,
sesungguhnya orang-orang Ahli Kitab sebelummu telah berpecah belah menjadi
tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi
tujuh puluh tiga golongan; tujuh puluh dua di neraka, dan satu di surga, yaitu
Al Jamaa’ah.”[iii]
Al Jamaa’ah menurut Ibnu Mas’ud adalah
yang sejalan dengan kebenaran meskipun ia hanya sendiri. Al Jamaah adalah
orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ saaful
ummah (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para
khalifah setelahnya yang mendapat petunjuk) seperti yang sudah diterangkan
sebelumnya. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik.
Berdasarkan hadits di atas, maka
mereka yang menyelisihi Al Jamaa’ah mendapatkan ancaman dengan masuk ke dalam
neraka. Meskipun begitu, kita tidak memvonis secara ta’yin (orang-perorang)
bahwa si fulan di neraka, karena boleh jadi ia beristighfar dan bertobat, lalu
Allah mengampuni dan menerima tobatnya, atau dia memiliki amal saleh yang
menghapuskan keburukannya, atau didoakan dan dimintakan ampunan oleh kaum
mukmin ketika ia masih hidup atau sudah meninggal, atau mendapatkan syafaat
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau mendapat cobaan dari Allah
Subhaanahu wa Ta’ala dengan cobaan-cobaan di dunia yang menghapuskan
kesalahannya, atau mendapat ujian ketika di kubur, atau ia mendapatkan ujian
pada hari Kiamat dengan rintangannya yang menghapuskan kesalahannya, atau
mendapatkan rahmat dari Allah Yang Maha Penyayang.
Demikian juga perlu diketahui,
bahwa kalau pun tujuh puluh dua golongan ini masuk ke neraka, maka mereka tidak
kekal di neraka, bahkan dibersihkan di neraka sesuai kadar penyimpangan dan
kesesatannya.
Adapun golongan Syi'ah
dan Ahmadiyyah, maka menurut penulis, kedua golongan ini tidak termasuk ke dalam tujuh puluh tiga ini karena akidah
mereka bertentangan dengan akidah Islam, dimana golongan yang satu (Syi'ah)
mengatakan bahwa Al Qur'an yang dipegang kaum muslim telah dirobah, dikurangi
dan diberi tambahan, sedangkan golongan yang satu lagi (Ahmadiyyah) mengatakan
bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi, padahal tidak ada lagi nabi
setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Tuhfatul Al
Ahwadzi (Al Mubarakfuri), ‘Aunul Ma’bud (M. Asyraf Al Azhim Abadiy),
Faidhul Qadir (Al Manawi), Silsilah Ash Shahihah (M. Nashiruudin Al
Albani), Tas-hihul Mafahim Al Khathi’ah dan Untaian Mutiara Hadits
(Penulis), Syarh AL Arba’in (Al Luhaimid), dll.
[i] Yakni Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya shallallahu 'alaihi wa sallam.
[ii] HR. Abu Dawud (2/503-cet. Al Halabiy), Tirmidzi (3/367),
Ibnu Majah (2/479), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (1834), Al Ajuriy dalam Asy
Syari’ah (hal. 25), Hakim (1/128), Ahmad (2/332), Abu Ya’la dalam Musnadnya
(qaaf 280/2) dari beberapa jalan dari Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari
Abu Hurairah secara marfu’. Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Hakim
berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim.” Dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi.
Syaikh Al Albani berkata, “Dalam hal ini perlu ditinjau kembali, karena
Muhammad bin ‘Amr terdapat pembicaraan. Oleh karena itu, Imam Muslim tidak
berhujjah dengannya, ia hanyalah meriwayatkan mutaba’ahnya, dan ia hasan
haditsnya.” Lihat Ash Shahiihah 1/356 no. 203.
[iii] HR. Abu Dawud (2/503-504), Darimiy (2/241), Ahmad (4/201), Hakim (1/128),
Al Ajuriy dalam Asy Syarii’ah (18), Ibnu Baththah dalam Al Ibanah
(2/108/2, 119/1), Al Laalikaa’i dalam Syarhus Sunnah (1/23/1) dari jalan
Shafwan ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku Azhar bin Abdullah Al Hauzaniy
dari Abu ‘Amir Abdullah bin Luhay dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Hakim berkata,
“Sanad-sanad ini menjadikan hujjah tegak untuk menshahihkan hadits ini.” Adz
Dzahabi menyetujuinya. Al Haafizh dalam Takhrij Al Kasysyaf (hal. 63)
berkata, “Dan isnadnya hasan.” Syaikh Al Albani berkata, “Beliau (Al Hafizh)
tidak menshahihkannya, karena Azhar bin Abdullah ini tidak ada yang
mentsiqahkannya selain Al ‘Ijliy dan Ibnu Hibban, dan ketika Al Hafizh
menyebutkan dalam At Tahdzib perkataan Al Azdiy terhadapnya, “Mereka
membicarakannya.” Ia mengomentari dengan berkata, “Orang yang sangat jujur,
namun mereka membicarakannya karena madzhab Nashibiynya.” Hadits ini disebutkan
Al Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/390) dari riwayat Ahmad, namun ia
tidak membicarakan sanadnya, ia hanya mengisyaratkan kuatnya dengan perkataan,
“Hadits ini datang dari beberapa jalan.” Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Al Masaa’il (83/2) berkata, “Ia adalah hadits yang shahih lagi
masyhur.” lihat Ash Shahiihah 1/358 no. 204.
0 komentar:
Posting Komentar