بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Memerdekakan Budak (bag. 1)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan
tentang memerdekakan budak, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamiin.
Ta'rif (definisi)
'itq (memerdekakan budak)
'Itq secara bahasa
artinya merdeka dan bebas. Secara syara', itq artinya membebaskan budak
dari perbudakan dan menyingkirkan kepemilikan terhadapnya serta menetapkan
kebebasan baginya.
Sejarah
munculnya perbudakan
Perbudakan sudah
dikenal di tengah-tengah manusia sejak ribuan tahun yang silam, bahkan telah
ada pada bangsa-bangsa kuno di dunia, seperti Mesir, Cina, India, Yunani, dan
Romawi, dan telah disebut-sebut dalam kitab-kitab samawi, seperti Taurat dan
Injil. Hajar misalnya, ibu dari Isma'il bin Ibrahim, ia adalah budak yang
dihadiahkan Raja Mesir kepada Sarah istri Ibrahim, kemudian Sarah menghadiahkannya
kepada Nabi Ibrahim 'alaihis salam.
Perbudakan terjadi
karena beberapa sebab, di antaranya adalah:
1. Peperangan
Yakni ketika sebuah
kaum memerangi kaum yang lain, lalu kaum itu kalah, maka istri dan anak-anak
mereka menjadi budak.
2. Kemiskinan
Dahulu banyak orang
yang menjual anak-anaknya menjadi budak karena keadaannya yang fakir. Bahkan di
zaman sekarang pun ada yang melakukan hal seperti ini.
3. Penculikan
dan pembajakan
Pernah terjadi
ketika orang-orang Eropa singgah di Afrika, lalu orang-orang Eropa menculik
orang-orang Afrika dan menjualnya ke pasar perdagangan budak di Eropa, lalu
mereka memakan hasilnya.
Agama Islam sebagai
agama yang benar, tidak membolehkan semua sebab ini kecuali satu sebab saja,
yaitu yang terjadi karena peperangan. Yang demikian sebagai bentuk kasih sayang
kepada manusia, karena kebanyakan mereka yang menang dalam peperangan biasanya
karena sifat balas dendamnya yang tinggi, membuat mereka tega membunuh wanita
dan anak-anak, maka agama Islam mengizinkan para pemeluknya untuk menjadikan
wanita dan anak-anak itu sebagai budak untuk menjaga kehidupan mereka sekaligus
untuk menyiapkan kemerdekaan bagi mereka nantinya dengan menetapkan berbagai
jalan untuk memerdekakannya.
Dengan
demikian, budak hanya berlaku dalam perang yang disyari'atkan yang terjadi
antara kaum muslim dengan musuh mereka; orang-orang kafir, dan dibatalkan
perbudakan selain itu.
Jika seorang
bertanya, "Mengapa agama Islam tidak membuat ketetapan bahwa budak itu
harus dimerdekan?"
Jawab,
"Sesungguhnya Islam datang ketika budak-budak sudah di tangan manusia,
maka tidak pantas bagi syariat Allah yang adil ini yang tujuannya untuk menjaga
jiwa, kehormatan, dan harta manusia langsung menetapkan agar mereka melepaskan
hartanya dari mereka. Di samping itu, karena budak-budak itu, terutama yang
wanita dan anak-anak, atau bahkan dari kalangan laki-laki dewasa ada yang tidak
sanggup menanggung dirinya karena kesulitannya dari bekerja dan
ketidaktahuannya terhadap bentuk-bentuk pekerjaan. Oleh karena itu, dengan
tetapnya ia sebagai budak, dimana dirinya ditanggung oleh tuannya, diberi makan
dan pakaian lebih baik daripada dimerdekakan dalam keadaan dirinya
kesusahan."
(Lihat pula Minhajul
Muslim karya Abu Bakar Al Jaza'iriy hal. 432-434)
Dalil disyariatkan
memerdekakan budak
Dalil disyariatkan
memerdekakan budak ada dalam Al Qur'an, As Sunnah, dan ijma'.
Dalam Al Qur'an,
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
"(Hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya." (Terj. QS.
An Nisaa': 92)
Dalam As Sunnah disebutkan,
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُسْلِمَةً،
أَعْتَقَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ، حَتَّى فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ»
"Barang siapa yang memerdekakan budak yang muslim, maka
Allah akan membebaskan setiap anggota badannya satu persatu dari neraka, sampai
kemaluannya (dihindarkan dari neraka) karena membebaskan farjinya." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Allah Subhaanahu wa
Ta'ala juga menjadikan memerdekakan budak sebagai kaffarat terhadap pembunuhan,
kaffarat terhadap jima' di bulan Ramadhan, dan kaffarat terhadap sumpah.
Umat Islam juga
telah sepakat tentang keabsahan memerdekakan budak dan bahwa hal tersebut
termasuk ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Keutamaan memerdekakan
budak
Memerdekakan budak
termasuk ibadah yang utama. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala,
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ-وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ- فَكُّ
رَقَبَةٍ
"Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi
sukar.--Tahukah kamu apa jalan yang mendaki lagi sukar itu?--(Yaitu) melepaskan
budak dari perbudakan," (Terj. QS. Al Balad: 11-13)
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرِئٍ مُسْلِمٍ، أَعْتَقَ امْرَأً مُسْلِمًا، كَانَ فَكَاكَهُ
مِنَ النَّارِ، يُجْزِي كُلُّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنْه
"Siapa saja seorang muslim yang memerdekan seorang muslim,
maka hal itu akan membebaskan dirinya dari neraka, dimana masing-masing anggota
badan (yang dimerdekakannya) memerdekakan anggota badannya (si
pembebasnya)." (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani)
Nash-nash yang
menerangkan keutamaan membebaskan budak sangat banyak sekali. Dan akan
disebutkan sebagiannya pada pembahasan "Upaya Islam Untuk Memerdekakan
Budak," insya Allah.
Dan perlu
diketahui, bahwa memerdekakan budak laki-laki lebih utama daripada budak
wanita, dan budak yang paling mahal dan berharga di sisi pemiliknya lebih utama
dimerdekakan daripada yang di bawahnya.
Hikmah disyariatkan
memerdekakan budak
Disyariatkan
memerdekakan budak karena tujuan yang mulia dan hikmah yang dalam, di
antaranya: membebaskan seorang manusia dari penderitaan sebagai budak,
membuatnya memiliki dirinya sendiri, serta memberikan kebebasan bertindak
padanya untuk manfaat dirinya.
Rukun memerdekakan
budak
Rukun memerdekakan
budak ada tiga:
a) mu'tiq (orang yang
memerdekakan)
b) mu'taq (orang yang
dimerdekakan)
c) shighat (lafaz yang
digunakan untuk memerdekakan)
Syarat memerdekakan
budak
Untuk sahnya
memerdekakan budak disyaratkan beberapa syarat berikut:
a. Orang
yang memerdekakan harus orang yang boleh tindakannya, yaitu orang yang baligh,
berakal, cerdas, dan memilih sendiri.
Oleh karena itu,
tidak sah memerdekakan dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang dungu, dan
orang yang dipaksa. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى
عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ
حَتَّى يَحْتَلِم
"Diangkat pena dari tiga orang; orang gila yang hilang
akalnya sampai sadar, orang yang tidur sampai ia bangun, dan anak kecil hingga
baligh." (HR. Para Pemilik kitab sunan)
Demikian juga tidak
sah pemerdekaan dari orang yang dipaksa sebagaimana tindakannya yang lain juga
tidak sah.
b. Ia
memiliki orang yang hendak dimerdekakan itu. Oleh karena itu, tidak sah
pemerdekaan dari orang yang tidak memilikinya.
c. Orang
yang dimerdekakan tidak terikat dengan hak yang lazim (mesti) yang
menghalanginya dimerdekakan, seperti berhutang atau melakukan jinayat (tindak
kejahatan), sehingga tidak sah dimerdekakan sampai ia melunasi hutangnya atau
membayarkan diyat jinayatnya.
d. Pemerdekaan
harus menggunakan lafaz yang tegas atau lafaz sindiran yang menduduki posisinya
(tegas), dan tidak cukup hanya sekedar diniatkan.
Shigat atau lafaz
untuk memerdekakan
Shighat atau lafaz
untuk memerdekakan ada dua macam:
a. Sharih
(tegas), yaitu yang menggunakan lafaz 'tq (memerdekakan) atau tahrir
(membebaskan), atau tasrif (yang terbentuk) dari keduanya. Contoh: "Engkau
merdeka, engkau bebas, engkau dimerdekakan, engkau dimerdekakan,
atau aku bebaskan engkau."
b. Kinayah
(sindiran), yaitu seperti mengatakan, "Pergilah ke mana saja yang
engkau kehendaki," atau, "tidak ada jalan lagi bagiku terhadap
dirimu," atau, "tidak ada lagi kekuasaan bagiku terhadap
dirimu," atau, "asingkanlah dirimu," atau, "menjauhlah
kamu dariku," atau, "aku akan membiarkanmu," dsb.
Kalimat sindiran ini tidak menjadi 'itq (memerdekakan) kecuali jika orang yang
mengucapkan berniat memerdekakan budak.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad
wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa
ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Minhajul Muslim (Abu Bakr
Al Jaza'iriy), Al Maktabatusy Syamilah, dll.
0 komentar:
Posting Komentar