Terjemah Bulughul Maram (17)

Senin, 22 Desember 2025

 

بسم  الله الرحمن الرحيم



Terjemah Bulughul Maram (17)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut lanjutan terjemah Bulughul Maram karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penerjemahan buku ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Dalam menyebutkan takhrijnya, kami banyak merujuk kepada dua kitab; Takhrij dari cetakan Darul ‘Aqidah yang banyak merujuk kepada kitab-kitab karya Syaikh M. Nashiruddin Al Albani rahimahullah, dan Buluughul Maram takhrij Syaikh Sumair Az Zuhairiy –hafizhahullah- yang kami singkat dengan ‘TSZ’.

كِتَابُ اَلصَّلَاةِ

Kitab Shalat

بَابُ صَلَاةِ اَلتَّطَوُّعِ

Bab Shalat Sunah

375- عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ كَعْبٍ الْأَسْلَمِيِّ -رِضَى اَللَّهُ عَنْهُ- قَالَ : , قَالَ لِي اَلنَّبِيُّ r سَلْ . فَقُلْتُ : أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي اَلْجَنَّةِ . فَقَالَ : أَوَغَيْرَ ذَلِكَ ? , قُلْتُ : هُوَ ذَاكَ , قَالَ : " فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ اَلسُّجُودِ -  رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

375. Dari Rabi’ah bin Malik Al Aslami radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku, ‘Mintalah?’ Maka aku menjawab, “Aku minta untuk menemanimu di surga”, lalu Beliau bersabda, “Apa tidak ada lagi yang lain?” aku menjawab, “Hanya itu saja,” Beliau bersabda, “Bantulah aku dengan kamu banyak bersujud (melakukan shalat sunah).” (Diriwayatkan oleh Muslim)[i]

376- وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : , حَفِظْتُ مِنْ اَلنَّبِيِّ r عَشْرَ رَكَعَاتٍ : رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اَلظُّهْرِ , وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا , وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اَلْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ , وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اَلْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ , وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اَلصُّبْحِ -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ . وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا : , وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اَلْجُمْعَةِ فِي بَيْتِهِ -

376. Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma ia berkata, “Aku hafal (shalat sunah rawatib) yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak sepuluh rakaat; yaitu dua rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib di rumahnya, dua rakaat setelah Isya di rumahnya dan dua rakaat sebelum Subuh.” (Muttafaq 'alaih, sedangkan dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh keduanya, “Dan dua rak’at setelah Jumat di rumahnya”)[ii]

377- وَلِمُسْلِمٍ : , كَانَ إِذَا طَلَعَ اَلْفَجْرُ لَا يُصَلِّي إِلَّا رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ -

377. Sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan, “Apabila telah terbit fajar, Beliau tidak melakukan shalat lagi selain dua rakaat yang ringan.”[iii]

378- وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- : أَنَّ اَلنَّبِيَّ r , كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ اَلظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اَلْغَدَاةِ -  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ .

378. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sebelum Subuh.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)[iv]

379- وَعَنْهَا قَالَتْ : , لَمْ يَكُنْ اَلنَّبِيُّ r عَلَى شَيْءٍ مِنْ اَلنَّوَافِلِ أَشَدَّ تَعَاهُدًا مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيْ اَلْفَجْرِ -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

379. Darinya juga (Aisyah) radhiyallahu 'anha ia berkata, “Tidak ada satu pun shalat sunat yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menjaganya daripada dua rakaat fajar (shalat sunnah sebelum shalat Subuh).” (Muttafaq 'alaih)[v]

380- وَلِمُسْلِمٍ : , رَكْعَتَا اَلْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ اَلدُّنْيَا وَمَا فِيهَا -

380. Sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan, “Dua rakaat fajar itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.”[vi]

381- وَعَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ أُمِّ اَلْمُؤْمِنِينَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ : سَمِعْتَ اَلنَّبِيَّ r يَقُولُ : , مَنْ صَلَّى اِثْنَتَا عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي اَلْجَنَّةِ -  رَوَاهُ مُسْلِمٌ . وَفِي رِوَايَةٍ " تَطَوُّعًا"

381. Dari Ummu Habibah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat dalam sehari semalam maka akan dibuatkan untuknya satu rumah (istana) di surga.” (Diriwayatkan oleh Muslim, sedangkan dalam satu riwayat disebutkan, “Shalat sunah”)[vii]

382- وَلِلتِّرْمِذِيِّ نَحْوُهُ , وَزَادَ : , أَرْبَعًا قَبْلَ اَلظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا , وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اَلْمَغْرِبِ , وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اَلْعِشَاءِ , وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ اَلْفَجْرِ - 

382. Dan dalam riwayat Tirmidzi sama juga seperti itu namun ada tambahannya, “Empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya dan dua rakaat sebelum shalat Fajar.”[viii]

383- وَلِلْخَمْسَةِ عَنْهَا : , مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعٍ قَبْلَ اَلظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اَللَّهُ عَلَى اَلنَّارِ - 

383. Sedangkan dalam riwayat lima Imam Ahli Hadits darinya juga (Ummu Habibah) disebutkan, “Barang siapa yang menjaga empat rakaat sebelum shalat Zhuhur dan empat rakaat, setelahnya maka Allah Ta’ala akan mengharamkan neraka atasnya.”[ix]

384-وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , رَحِمَ اَللَّهُ اِمْرَأً صَلَّى أَرْبَعًا قَبْلَ اَلْعَصْرِ -  رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ , وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَصَحَّحَهُ

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang menjaga empat rakaat sebelum Ashar.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan ia menghasankannya, serta Ibnu Khuzaimah dan ia menshahihkannya)[x]

385- وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ الْمُزَنِيِّ t عَنْ اَلنَّبِيِّ r قَالَ : , صَلُّوا قَبْلَ اَلْمَغْرِبِ , صَلُّوا قَبْلَ اَلْمَغْرِبِ " ثُمَّ قَالَ فِي اَلثَّالِثَةِ : " لِمَنْ شَاءَ " كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا اَلنَّاسُ سُنَّةً -  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ .

385. Dari Abdullah bin Mughaffal Al Muzanniy radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Shalatlah sebelum Maghrib, shalatlah sebelum Maghrib”, kemudian Beliau bersabda pada ketiga kalinya, “Bagi siapa yang mau,” Beliau tidak ingin orang-orang menjadikannya sebagai suatu hal yang (sangat) sunnah.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)[xi]

386- وَفِي رِوَايَةِ اِبْنِ حِبَّانَ : , أَنَّ اَلنَّبِيَّ r صَلَّى قَبْلَ اَلْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ - 

386. Sedangkan dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan, “Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat sebelum Maghrib dua rakaat.”[xii]

387- وَلِمُسْلِمٍ عَنْ أَنَسٍ] قَالَ [ : , كُنَّا نُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ اَلشَّمْسِ , فَكَانَ r يَرَانَا , فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَانَا - 

387. Dan dalam riwayat Muslim dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Kami pernah shalat dua rakaat setelah matahari tenggelam, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat kami, Beliau tidak menyuruh kami mengerjakannya dan tidak pula melarang kami.”[xiii]

388- وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ : , كَانَ اَلنَّبِيُّ r يُخَفِّفُ اَلرَّكْعَتَيْنِ اَللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ اَلصُّبْحِ , حَتَّى إِنِّي أَقُولُ : أَقَرَأَ بِأُمِّ اَلْكِتَابِ? -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

388. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa meringankan dua rakaat sebelum shalat Subuh, sampai aku berkata, “Apakah Beliau membaca Ummul kitab (surah Al Fatihah)?” (Muttafaq 'alaih)[xiv]

389- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ-رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ- : , أَنَّ اَلنَّبِيَّ r قَرَأَ فِي رَكْعَتَيْ اَلْفَجْرِ : ( قُلْ يَا أَيُّهَا اَلْكَافِرُونَ ) و : ( قُلْ هُوَ اَللَّهُ أَحَدٌ ) -  رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

389. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca dalam dua rakaat (sebelum shalat) Fajar, “Qulyaa ayyuhal kaafirun” dan Qul huwallahu ahad.” (Diriwayatkan oleh Muslim)[xv]

390- وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ : , كَانَ اَلنَّبِيُّ r إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيْ اَلْفَجْرِ اِضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ اَلْأَيْمَنِ -  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ .

390. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila telah shalat dua rakaat fajar, Beliau berbaring miring ke kanan.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)[xvi]

391- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ اَلرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ اَلصُّبْحِ , فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى جَنْبِهِ اَلْأَيْمَنِ -  رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ .

391. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu telah shalat dua rakaat sebelum shalat Subuh, maka hendaknya ia berbaring miring ke kanan.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia menshahihkannya)[xvii]

392- وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , صَلَاةُ اَللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى , فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ اَلصُّبْحِ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً , تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

392. Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika salah seorang di antara kamu takut tiba waktu Subuh maka (hendaknya) ia shalat satu rakaat untuk mengganjilkan shalat malamnya.” (Muttafaq 'alaih)[xviii]

393- وَلِلْخَمْسَةِ - وَصَحَّحَهُ اِبْنِ حِبَّانَ - : , صَلَاةُ اَللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى" -  وَقَالَ النَّسَائِيُّ : "هَذَا خَطَأٌ" .

393. Sedangkan dalam riwayat lima orang Ahli Hadits yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban lafaznya adalah, “Shalat malam dan siang hari itu dua rakaat-dua rakaat”, namun Nasa’i berkata, “Ini adalah kekeliruan.”[xix]

394- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , أَفْضَلُ اَلصَّلَاةِ بَعْدَ اَلْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اَللَّيْلِ -  أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ .

394. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (Diriwayatkan oleh Muslim)[xx]

395- وَعَنْ أَبِي أَيُّوبَ اَلْأَنْصَارِيِّ t أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ : , اَلْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ , مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ , وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ , وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ -  رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيَّ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ , وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ وَقْفَهُ .

395. Dari Abu Ayyub Al Anshaari radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Witir itu adalah suatu yang hak bagi setiap muslim, siapa saja yang suka berwitir lima rakaat maka lakukanlah, siapa saja yang suka berwitir dengan tiga rakaat maka lakukanlah, dan siapa saja yang suka berwitir dengan satu rakaat maka lakukanlah.” (Diriwayatkan oleh empat Imam Ahli Hadits selain Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, namun Nasa’i menguatkan mauqufnya)[xxi]

396- وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ t قَالَ : , لَيْسَ اَلْوِتْرُ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ اَلْمَكْتُوبَةِ , وَلَكِنْ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اَللَّهِ r -  رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ .

396. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Witir itu bukanlah suatu hal yang wajib seperti halnya shalat fardhu, namun ia adalah amalan sunah yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia hasankan, juga diriwayatkan oleh Nasa’i dan Hakim, Hakim menshahihkannya)[xxii]

397- وَعَنْ جَابِرٍ , أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَامَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ, ثُمَّ اِنْتَظَرُوهُ مِنْ اَلْقَابِلَةِ فَلَمَّا يَخْرُجْ , وَقَالَ : " إِنِّي خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ اَلْوِتْرُ -  رَوَاهُ اِبْنُ حِبَّانَ .

397. Dari Jabir bin Abdulah radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamullail di bulan Ramadhan, kemudian para shahabat menunggu Beliau di hari berikutnya namun Beliau tidak keluar, Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku khawatir witir ini diwajibkan kepada kamu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban)[xxiii]

398- وَعَنْ خَارِجَةَ بْنِ حُذَافَةَ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , إِنَّ اَللَّهَ أَمَدَّكُمْ بِصَلَاةٍ هِيَ خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ حُمُرِ اَلنَّعَمِ " قُلْنَا : وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ ? قَالَ : " اَلْوِتْرُ , مَا بَيْنَ صَلَاةِ اَلْعِشَاءِ إِلَى طُلُوعِ اَلْفَجْرِ -  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ .

398. Dari Kharijah bin Hudzafah radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberikan tambahan kepadamu dengan shalat dimana shalat tersebut lebih baik dari unta merah”, kami bertanya, “Shalat apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Yaitu) witir, yang dikerjakan antara shalat Isya dan terbit Fajar.” (Diriwayatkan oleh lima Ahli Hadits selain Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim)[xxiv]

399- وَرَوَى أَحْمَدُ : عَنْ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ جَدِّهِ نَحْوَهُ .

399. Ahmad juga meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya yang sama seperti itu.[xxv]

400- وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ , عَنْ أَبِيهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , اَلْوِتْرُ حَقٌّ, فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا -  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ بِسَنَد لَيِّنٍ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ .

400. Dari Abdullah bin Buraidah radhiyallahu 'anhu dari bapaknya ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam besabda, “Witir itu hak, barang siapa yang tidak berwitir maka ia bukan termasuk orang yang mengikuti jejak kami.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang lunak dan dishahihkan oleh Hakim)[xxvi]

401- وَلَهُ شَاهِدٌ ضَعِيفٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عِنْدَ أَحْمَدَ .

401. Hadits ini memiliki penguat dari jalan lain namun dha’if dari jalan Abu Hurarah radhiyallahu 'anhu dalam riwayat Ahmad.[xxvii]

402- وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: , ]مَا] كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً, يُصَلِّي أَرْبَعًا, فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ, ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا, فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ, ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا. قَالَتْ عَائِشَةُ, فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ, أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ? قَالَ: "يَا عَائِشَةُ, إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي". -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

402. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat baik di bulan Ramdahan maupun di bulan lainnya, Beliau shalat empat rakaat, janganlah kamu tanya tentang bagus dan lamanya, lalu shalat empat rakaat, janganlah kamu tanya tentang bagus dan lamanya, lalu shalat tiga rakaat. Aisyah berkata, “Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah. Mengapa engkau tidur sebelum shalat witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur namun hatiku tidak tidur.” (Muttafaq 'alaih)[xxviii]

403- وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا عَنْهَا: , كَانَ يُصَلِّي مِنْ اَللَّيْلِ عَشْرَ رَكَعَاتٍ, وَيُوتِرُ بِسَجْدَةٍ, وَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْ اَلْفَجْرِ, فَتِلْكَ ثَلَاثُ عَشْرَةَ - 

403. Sedangkan dalam riwayat yang lain dalam Bukhari-Muslim dari Aisyah disebutkan, “Beliau shalat malam tiga belas rakaat dan berwitir satu rakaat serta melakukan dua rakaat fajar, sehingga berjumlah tiga belas rakaat.”[xxix]

404- وَعَنْهَا قَالَتْ: , كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يُصَلِّي مِنْ اَللَّيْلِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً, يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ, لَا يَجْلِسُ فِي شَيْءٍ إِلَّا فِي آخِرِهَا. - 

404. Darinya (Aisyah) radhiyallahu 'anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, berwitir dengan lima rakaat, dan tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir.”[xxx]

405- وَعَنْهَا قَالَتْ: , مِنْ كُلِّ اَللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اَللَّهِ r فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى اَلسَّحَرِ -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا

405. Darinya juga (Aisyah) radhiyallahu 'anha ia berkata, “Setiap malam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berwitir dan biasanya Beliau selesai menjelang fajar.” (Muttafaq 'alaih)[xxxi]

406- وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ اَلْعَاصِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , يَا عَبْدَ اَللَّهِ! لَا تَكُنْ مِثْلَ فُلَانٍ, كَانَ يَقُومُ مِنْ اَللَّيْلِ, فَتَرَكَ قِيَامَ اَلنَّهَارِ -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

406. Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu 'anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Wahai Abdullah, janganlah kamu sama seperti si fulan, dahulu ia selalu shalat malam namun sekarang ia tinggalkan.“ (Muttafaq 'alaih)[xxxii]

407- وَعَنْ عَلِيٍّ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , أَوْتِرُوا يَا أَهْلُ اَلْقُرْآنَ, فَإِنَّ اَللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ اَلْوِتْرَ -  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ .

407. Dari Ali radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Berwitirlah wahai Ahlul Qur’an, karena Allah itu witir (Esa), menyukai witir.” (Diriwayatkan oleh lima orang dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzamah)[xxxiii]

408- وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; عَنْ اَلنَّبِيِّ r قَالَ: , اِجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

408. Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jadikanlah akhir shalatmu di malam hari adalah witir.” (Muttafaq 'alaih)[xxxiv]

409- وَعَنْ طَلْقٍ بْنِ عَلِيٍّ t قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ r يَقُولُ: , لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ -  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالثَّلَاثَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ .

409. Dari Thalq bin Ali radhiyallahu 'anhu ia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan tiga Imam Ahli Hadits, serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban)[xxxv]

410- وَعَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ t قَالَ: , كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يُوتِرُ بِـ "سَبِّحِ اِسْمَ رَبِّكَ اَلْأَعْلَى", و: "قُلْ يَا أَيُّهَا اَلْكَافِرُونَ", و: "قُلْ هُوَ اَللَّهُ أَحَدٌ" -  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ. وَزَادَ: , وَلَا يُسَلِّمُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ - 

410. Dari Ubay bin Ka’b radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berwitir dengan membaca “Sabbihismarabbikal a’la”, “Qul yaa ayyuhal kaafirun” dan qulhuwallahu ahad.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i, Nasa’i  menambahkan, “Beliau tidak melakukan salam kecuali pada rakaat terakhir”)[xxxvi]

411- وَلِأَبِي دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيِّ نَحْوُهُ عَنْ عَائِشَةَ وَفِيهِ: , كُلَّ سُورَةٍ فِي رَكْعَةٍ, وَفِي اَلْأَخِيرَةِ: "قُلْ هُوَ اَللَّهُ أَحَدٌ", وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ - 

411. Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi sama juga seperti itu dari jalan Aisyah radhiyallahu 'anha, yang di situ disebutkan, “Setiap surat tesebut dibaca dalam setiap rakaat, sedangkan di rakaat terakhir membaca “Qulhuwallahu ahad” dan AlMu’awwidzatain (yakni Al Falaq dan An Naas).”[xxxvii]

412- وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ t أَنَّ اَلنَّبِيَّ r قَالَ: , أَوْتِرُوا قَبْلَ أَنْ تُصْبِحُوا -  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

412. Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Berwitirlah sebelum tiba waktu Subuh.” (Diriwayatkan oleh Muslim)[xxxviii]

413- وَلِابْنِ حِبَّانَ: , مَنْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ وَلَمْ يُوتِرْ فَلَا وِتْرَ لَهُ - 

413. Sedangkan dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan, “Barang siapa yang mendapatkan waktu Subuh tiba, namun belum berwitir, maka tidak ada witir lagi baginya.”[xxxix]

414- وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , مَنْ نَامَ عَنْ اَلْوِتْرِ أَوْ نَسِيَهُ فَلْيُصَلِّ إِذَا أَصْبَحَ أَوْ ذَكَرَ -  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ .

414. Darinya juga (Abu Sa’id) ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang tertidur sampai belum mengerjakan shalat witir atau lupa maka shalatlah ketika tiba waktu shubuh atau ketika ingat.” (Diriwayatkan oleh lima orang selain Nasa’i)[xl]

415- وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اَللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ, وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اَللَّيْلِ, فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اَللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ, وَذَلِكَ أَفْضَلُ -  رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

415. Dari Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang khawatir tidak dapat bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di awalnya, namun barang siapa yang yakin dapat bangun di akhir malam maka hendaknya ia berwitir di akhir malam, karena shalat di akhir malam itu disaksikan, dan hal itu lebih utama  (Diriwayatkan oleh Muslim)[xli]

416- وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ r قَالَ: , إِذَا طَلَعَ اَلْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَ كُلُّ صَلَاةِ اَللَّيْلِ وَالْوَتْرُ، فَأَوْتِرُوا قَبْلَ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ -  رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ .

416. Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Beliau bersabda, “Apabila telah terbit fajar maka telah hilang waktu shalat malam dan shalat witir, maka berwitirlah sebelum terbit fajar.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi)[xlii]

417- وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: , كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يُصَلِّي اَلضُّحَى أَرْبَعًا, وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اَللَّهُ -  رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

417. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha sebanyak empat rakaat dan menambahkan sesuai yang Allah kehendaki.” (Diriwayatkan oleh Muslim)[xliii]

418- وَلَهُ عَنْهَا: , أَنَّهَا سُئِلَتْ: هَلْ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يُصَلِّي اَلضُّحَى? قَالَتْ: لَا, إِلَّا أَنْ يَجِيءَ مِنْ مَغِيبِهِ. -

418. Dan dalam riwayat Muslim juga disebutkan, “Bahwa Aisyah pernah ditanya, “Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sering shalat Dhuha? Aisyah menjawab, “Tidak, kecuali setelah purang dari bepergian.”[xliv]

419- وَلَهُ عَنْهَا: , مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ r يُصَلِّي سُبْحَةَ اَلضُّحَى قَطُّ, وَإِنِّي لَأُسَبِّحُهَا - 

419. Dalam riwayat Muslim juga darinya (Aisyah) disebutkan,”Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Dhuha sedikit pun, namun aku mengerjakannya.”[xlv]

420- وَعَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: , صَلَاةُ اَلْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ اَلْفِصَالُ -  رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ .

420. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Shalat orang-orang yang banyak kembali kepada Allah itu dilakukan ketika anak-anak unta mulai kepanasan.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi)[xlvi]

421- وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r , مَنْ صَلَّى اَلضُّحَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اَللَّهُ لَهُ قَصْرًا فِي اَلْجَنَّةِ -  رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَاسْتَغْرَبَهُ .

421. Dari Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang shalat Dhuha sebanyak dua belas rakaat maka Allah akan membuatkan istana untuknya di surga.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan ia menganggapnya gharib)[xlvii]

422- وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: , دَخَلَ اَلنَّبِيُّ r بَيْتِي, فَصَلَّى اَلضُّحَى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ -  رَوَاهُ اِبْنُ حِبَّانَ فِي "صَحِيحِهِ" .

422. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke rumahku lalu shalat Dhuha delapan rakaat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya)[xlviii]

Bersambung….

Wa shallallahu 'alaa Nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Alih Bahasa:

Marwan bin Musa


[i] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (489) dalam Ash Shalaah, bab Fadhlissujuud wal hats ‘alaih.

[ii] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (1180), Muslim (729), lafaz tersebut adalah lafaz Bukhari. Sedangkan dalam sebuah riwayat di Bukhari (937) dan Muslim (729), Al Hafizh menyebutkannya seara makna –TSZ-.

[iii] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (723) (88) dari hadits Hafshah, sama juga seperti itu Bukhari meriwayatkannya (1181) –TSZ-.

[iv] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (1182) bab Maa Jaa’a fit tathawwu’ matsnaa matsnaa.

[v] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (1163) bab Ta’aahud rak’atai Al Fajr, Muslim (724) bab Istihbaab rak’atai sunnatil fajr, Abu Dawud (1254) dan Ahmad (23750).

[vi] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (725) bab Istihbaab rak’atai Al Fajr, Nasa’i (1759), dalam Qiyamul lail, Tirmidzi (416) dalam Ash Shalaah dan Ahmad (25754).

[vii] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (728) dalam Shalatul Musaafiriin, bab Fadhlus sunanir raatibah qablal faraa’idh wa ba’dahunna dan Nasa’i (1802) dalam Qiyamul lail.

[viii] Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi (415) dalam Abwaabush shalaah, Tirmidzi mengatakan, “Hadits ‘Anbasah, dari Ummu Habibah dalam bab ini adalah hadits hasan shahih”, dan Ibnu Majah (1141), Al Albani mengatakan, “Shahih, dan lihat Shahih At Tirmidzi Juz pertama (hal. 238).

[ix] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (1269) dalam Ash Shalah, Tirmidzi (427) dalam Abwaabush shalaah, Nasa’i (1816) dalam Qiyaamullail, Ibnu Majah (1160) dalam Iqamatush shalaah was sunnah fiihaa, Ahmad dalam Al Musnad (26232), hadits Abu Dawud dishahihkan oleh Al Albani dalam shahihnya dengan no. (1269).

[x] Hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (2/117), Abu Dawud (1271), Tirmidzi (430), Ibnu Khuzaimah (1193), Tirmidzi mengatakan “Hadits ini gharib hasan.”

Catatan: Al Iraqiy berkata, “Telah berjalan kebiasaan pengarang (Imam Tirmidzi) mengedepankan sifat hasan sebelum gharib, namun di sini ia mengedepankan gharib sebelum hasan, zhahirnya adalah bahwa ia mengedepankan sifat yang lebih ghalib (banyak) terhadap hadits tersebut, jika ghalibnya adalah hasan, maka ia mengedepankan, namun jika ghalibnya gharib, maka ia mengedepankan, dan hadits ini dengan sifat seperti ini tidak diketahui selain dari jalan ini, jalan-jalan mutaba’ah dan syahid tidak ada, maka ia mengedepankan sifat gharib terhadap hadits tersebut” –TSZ-.

Hadits tersebut dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud no. (1271).

[xi] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (1183), lafaz yang dinisbatkan Al Hafizh kepada Bukhari, yaitu kata-kata “Shalluu qablal maghrib-shalluu qablal maghrib” adalah wahm (perkiraan keliru) dari Al Hafizh rahimahullah karena hadits tersebut.dalam kitab Shahih dengan lafaz “صلوا قبل صلاة المغرب” dan pada ketiga kalinya Beliau bersabda:…dst, dalam sebuah riwayat (7368) disebutkan “خشية” sebagai ganti dari “كراهية” –TSZ-.

[xii] Syaadz, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (617) “Mawaarid”, dan lihat Nashburraayah (2/158). Al Albani berkata, “Hadits itu dalam riwayat Bukhari dan lainnya dari enam orang dari beberapa jalur yang lain –yakni yang telah dijelaskan pada no. 385-, ia mengatakan, “Karenanya hadits ini shahih bukan yang fi’ilnya (perbuatannya), dimana yang fi’ilnya adalah syaadz.” Lihat Adh Dha’iifah (5662). (Ash Shahihah [233]).

[xiii] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (836) –TSZ-.

[xiv] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (1165) dalam At Tahajjud, Muslim (724) bab Istihbaab rak’atai sunnatil fajr, diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (1255) dalam Ash Shalaah, bab Fii takhfiifihimaa.

[xv] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (726) bab Istihbaab rak’atay sunnatil fajr fii shalaatil musaafiriin, diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (1259) dalam Ash Shalaah, Nasa’i (945) dalam Al Iftitaah, dan lihat Shifat Shalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

[xvi] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (1160) bab Adh Dhaj’ah ‘alasy syiqqil ayman ba’da rak’atay Al fajr, Ibnu Majah (1198) dan Ahmad (25637) .

[xvii] Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (9104), Abu Dawud (1261) dalam Ash Shalaah, Tirmidzi (420) dalam Abwaabush shalaah, ia katakan, “Hadits hasan shahih gharib melalui jalur ini”, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud no. (1261), Shahih Tirmidzi (420) serta lihat Al Misykaat (1206) .

[xviii] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (991) dalam At Tahajjud, Muslim (749) bab Shalaatul laili matsna-matsna, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi (437) dalam Ash Shalaah dan Nasa’i (1694) dalam Qiyamul lail.

[xix] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (1295) dalam Ash Shalaah, Tirmidzi (597) dalam Abwaabush shalaah, Ibnu Majah (1322), Ahmad (4776) dan Nasa’i (1666) dalam Qiyamullail, dari Syu’bah Dari Ya’la bin ‘Athaa’ dari Ali bin Abdillah Al Azdiy dari Ibnu Umar, Tirmidzi mendiamkan hal ini, ia hanya mengatakan, “Kawan-kawan Syu’bah berselisih tentang hadits ini, sebagian di antara mereka ada yang memarfu’kannya sedangkan yang lain memauqufkanya, dan para perawi yang tsiqah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka tidak menyebutkan kata-kata “Shalat siang hari.”. Nasa’i mengatakan, “Hadits ini menurutku keliru, namun ia katakan dalam Sunan Kubranya bahwa “Isnadnya jayyid”. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban juga meriwayatkan dalam kedua shahihnya. Baihaqi menyandarkan dalam Al Ma’rifah dari Abu Ahmad bin Faaris, ia katakan, ”Bukhari pernah ditanya tentang hadits Ya’la bin ‘Athaa’ ini, apakah ia shahih? iapun menjawab, “Ya.” [Nashburrraayah (2/160)], serta lihatlah Shahih As Sunan karya Al Albani di beberapa tempat –TCDA=.

Dalam Tamaamul Minnah disebutkan, “Di antara syarat-syarat hadits shahih adalah rawinya tidak melakukan syadz dari rawi-rawi tsiqah lainnya yang meriwayatkan  hadits tersebut, dan syarat ini dalam hadits tersebut tidak ada, karena hadits tersebut dalam Shahihain dan lainnya dari beberapa jalan dari Ibnu Umar tanpa menyebutkan “Wan Nahaar”, tambahan ini diriwayatkan secara menyendiri oleh Ali bin Abdullah Al Azdiy dari Ibnu Umar bukan perawi-perawi lainnya yang meriwayatkan  dari Ibnu Umar, Al Hafizh dalam Fat-hul Bariy mengatakan yang kesimpulannya, “Sesungguhnya kebanyakan para imam mencacatkan tambahan ini, karena para perawi yang hafiz dari kalangan sahabat Ibnu Umar itu meriwayatkan tanpa menyebutkan kata-kata itu, karenanya Nasa’i menghukumi si perawi keliru dalam meriwayatkan, Ibnu Wahb meriwayatkan dengan isnad yang kuat dari Ibnu Umar bahwa ia berkata, “Shalaatul laili wan nahaari matsnaa-matsnaa” (shalat malam dan siang itu dua rakaat-dua rakaat), secara mauquf (kata-kata Ibnu Umar saja), mungkin Al Azdiy tercampur olehnya antara riwayat yang mauquf (dari sahabat dengan tambahan “Wan Nahaar”) dengan yang marfu’ (dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu tanpa tambahan Wan Nahaar), oleh karena itu tambahan ini tidak shahih jika mengikuti orang yang mengikuti bahwa syarat shahih itu tidak syaadz….” Syaikh Al Albani mengatakan, “Kemudian saya menemukan jalur-jalur lain dan beberapa syahid  hadits tersebut, yang salah satunya shahih sebagaimana yang saya takhrij dalam Ar Raudhun Nadhiir (522), jadi hadits tersebut shahih –wal hamdulillah-, oleh karena itu saya memasukkannya dalam Shahih Abu Dawud 1172. (Lihat Tamaamul Minnah oleh Syaikh Al Bani hal. 239-240).

[xx] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (1163) dalam Ash Shiyaam, Nasa’i (1613) dalam Qiyamul lail dan Ibnu Majah (1742).

Dalam TSZ disebutkan awal haditsnya yaitu,

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم ، و .... " الحديث

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah yaitu Muharram, …dst.”

[xxi] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (1422), Nasa’i (1711) dalam Qiyamullail, Ibnu Majah (1190) dari Az Zuhriy dari ‘Atha’ bin Yazid dari Abu Ayyub, isnadnya shahih sebagaimana dalam Al Misykaat (1265), Ahmad juga meriwayatkan dalam Musnadnya (5/481), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (680-Mawaarid) dalama Maa jaa’a fil witr, Hakim dalam Al Mustadrak (1/303) ia katakan, ”Sesuai syarat keduanya (Bukhari-Muslim)”, dan dishahihkan oleh Al Albani. [Lihat Shahih As Sunan karya Al Albani –Abu Dawud-Nasa’i-Ibnu Majah-dan Nashbur raayah 2/126)] .

[xxii] Shahih, diriwayatkan oleh Nasa’i (1676) dalam Qiyamullail, Tirmidzi (454) bab Maa jaa’a annal witra laisa bihatm dari hadits Sufyan Ats Tsauriy dari Abu Ishaq, ia katakan, “Hadits ini lebih shahih daripada hadits Abu Bakar bin ‘Ayyasy –akan datang di nomor 405-, juga diriwayatkan oleh Hakim (1/300) ia menshahihkannya dan disepakati oleh Adz Dzahabiy. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (929) dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi (454).

[xxiii] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbab dalam Shahihnya (4/62, 64) dari Jabir radhiyallahu 'anhu, dan lihat Nashbur Raayah (2/128).

Sumair Az Zuhairiy mengomentari dengan mengatakan, “Dh’aif dengan lafaz ini.”

[xxiv] Shahih, tanpa kalimat “di mana lebih baik dari unta merah”. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/54/1), Abu Dawud (1418), Tirmidzi (2/314), (452), Darimi (370), Ibnu Majah (1168), Ath Thahaawiy dalam Syarhul Ma’aaniy (1/250), Ibnu Nashr dalam Qiyamullail (111), Thabraniy dalam Al Kabir (1/207/2), Daruquthni (174), Hakim (1/306), Baihaqi (2/478) dari beberapa jalan dari Yazid bin Abi Habib dari Abdullah bin Rasyid Az Zaufiy dari Abdullah bin Abi Marrah Az Zaufiy dari Kharijah bin Hudzafah ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami lalu berkata, “….” Disebutkanlah hadits itu tanpa kata-kata “Maka kerjakanlah shalat itu”, namun paling banyak dengan lafaz “Allah telah menjadikannya buat kamu” sebagai ganti lafaz sebelumnya. Tirmidzi berkata, “Hadits gharib, kami tidak mengetahui kecuali dari hadits Yazid bin Abi Habib”. Al Albani berkata, “Yazid itu tsiqah, bahkan telah dikuatkan dari jalan yang sama oleh Khalid bin Yazid, yang cacat hanyalah orang yang di atasnya.” Hakim berkata, “Shahih isnadnya” dan disepakati oleh Adz Dzahabiy. Al Hafizh dalam At Talkhish (hal. 117) berkata, “Dan didha’ifkan oleh Bukhari, sedangkan Ibnu Hibban mengatakan, “Isnadnya terputus dan matannya batil”. Al Albani berkata, ”Adapun terputus itu hanyalah pengakuan saja tanpa bukti, cacatnya hanyalah pada Ibnu Rasyid ini dimana dianggap tsiqah oleh Ibnu Hibban saja, adapun kata-kata “dan matannya batil” ini hanyalah sikap berlebihan dari Ibnu Hibban saja, karena bagaimana dikatakan batil padahal hadits ini memiliki syahid yang banyak yang mengharuskan dikatakan shahih.” Dan lihat Shahih At Tirmidzi (452), [Al Irwaa’ (423)]-TCDA-.

[xxv] Dha’if, diriwayatkan oleh Ahmad (2/208), Ibnu Abi Syaibah (2/54/1) dari Al Hajjaj bin Artha’ah dari Amr, para perawinya adalah tsiqah selain Al Hajjaj, ia adalah seorang mudallis dan telah melakukan ‘an’anah. Ahmad (2/206) juga meriwayatkan, Ibnu Nasr (111) dari Al Mutsanniy bin Ash Shabah, Daruquthni (174) dari Muhammad bin ‘Ubaidullah yang keduanya dari ‘Amr, kedua anak Ash Shabaah dan ‘Ubaidullah adalah dha’if. [Al Irwaa’ (2/159), Nashbur Raayah (2/124)].

Lafaznya dalam riwayat Ahmad adalah,

إن الله زادكم صلاة إلى صلاتكم ، وهي الوتر

“Sesungguhnya Allah memberikan tambahan shalat kepada shalatmu, yaitu witir” –TSZ-.

[xxvi] Dha’if, diriwayatkan oleh Ahmad (5/357), Abu Dawud (1419), Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (2/54/1), Thahawiy dalam Musykilul Aatsar (2/136), Ibnu Nashr dalam Qiyamullail (111), Hakim (1/305-306), Baihaqi (2/470) dari Abul Muniib Ubaidullah bin ‘Abdillah telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Buraidah dari bapaknya secara marfu’. Hakim mengatakan, “Hadits shahih, dan Abul Muniib Al ‘Itkiy Marwazi adalah tsiqah pada semua haditsnya” namun Baihaqi mengomentarinya dengan berkata, “Aku katakan, “Bukhari berkata, “Ia memiliki hadits-hadits yang mungkar,” sedangkan dalam At Taqriib disebutkan, “Sangat jujur, namun kadang keliru”, hadits ini memiliki penguat dari hadits Abu Hurairah –akan datang nanti di no.(399)-, dan didha’ifkan oleh Al Albani sebagaimana dalam Al Misykaat (1278) [Al Irwaa’ (417)] .

[xxvii] Isnadnya dha’if, diriwayatkan oleh Ahmad (2/443), Ibnu Abi Syaibah dari Waki’ dari Khalil bin Murrah dari Mu’awiyah bin Qurrah darinya. Az Zaila’i dalam Nashbur Raayah (2/113) berkata, “Hadits ini munqathi’ (terputus),” Ahmad berkata, “Mu’awiyah bin Qurrah tidak mendengar sedikitpun hadits Abu Hurairah, juga tidak berjumpa dengannya. Sedangkan Al Khalil bin Murrah didha’ifkan oleh Yahya dan Nasa’i, Bukhari mengatakan, “Mungkarul hadits”, sedangkan Al Hafizh dalam Ad Diraayah (113) mengatakan, “Dan isnadnya dha’if.” [Al Irwaa’ (2/147)] .

Dalam TSZ disebutkan lafaznya yaitu,

من لم يوتر فليس منا

“Barangsiapa yang tidak berwitir, maka ia tidak termasuk orang yang mengikuti jejak kami.”

[xxviii] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (1147), Muslim (738) –TSZ-.

[xxix] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (1140), Muslim (738) (128) –TSZ-.

[xxx] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (737), penisbatan kepada Bukhari adalah wahm (keliru).

[xxxi] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (996) dalam Al Witr, Muslim (745) bab Shalaatul lail.

[xxxii] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (1152) dalam At Tahajjud, Muslim (1159) dalam Ash Shiyaam.

[xxxiii] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (1416) bab Istihbaabul witr, Tirmidzi (453) dalam Abwaabush shalaah dari jalan Abu Bakar bin ‘Ayyasy, Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan”, Nasa’i (1675), Ahmad (1265) dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (1068). Al Albani mengatakan, “Isnadnya dha’if karena bercampurnya hapalan Abu Ishaq –yakni As Sabii’iy- juga ‘an’anah(periwayatan dengan menyebutkan dari)nya, sedangkan pada Ibnu Dhamirah ada pembicaraan singkat, namun hadits ini hasan, bahkan shahih, ia memiliki penguat. [dari ta’liq Al Albani terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah] dan lihat Al Misykaat (1266).

[xxxiv] Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (998) dalam Al Witr, Muslim (751) bab Shalatul laili matsnaa-matsnaa.

[xxxv] Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (16241), Abu Dawud (1439), Tirmidzi (470) ia berkata, “Hadits ini hasan gharib”, Nasa’i (1679) dalam Qiyamullail, Ibnu Khuzaimah (1101), Ibnu Hibban (174) no. 671 “Mawaarid”, Ibnu Abi Syaibah (2/286) isnadnya hasan. Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud (1439), serta lihat Musnad Ahmad (Hamzah Az Zain) .

Dalam TSZ disebutkan lengkap hadits tersebut bahwa Thalq bin ‘Ali berkata,

زارني أبي يوما في رمضان، فأمسى عندنا وأفطر، فقام بنا تلك الليلة وأوتر،؛ ثم انحدر إلى مسجده فصلى بأصحابه، حتى إذا بقي الوتر، قدم رجلا، فقال: أوتر بأصحابك، فإني سمعت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يقول: … الحديث

Pada bulan Ramadhan ayahku mengunjungiku, ia berada di tempat kami hingga sore dan ikut berbuka, di malam itu ia melakukan qiyamullail dan berwitir, kemudian turun ke masjidnya, lalu shalat bersama kawan-kawannya, sehingga ketika tinggal witir, ia mendatangi seseorang dan berkata, “Berwitirlah bersama kawan-kawanmu, karaena aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “….dst.

[xxxvi] Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (2720, 2722) dari Ibnu Abbas, Abu Dawud dari Ubay bin Ka’ab (1423) bab Maa yaqra’u fil witr, Nasa’i (1701) dalam Qiyamul lail dari Ubay. Dan lihat Shahih An Nasa’i serta Shahih Abi Dawud (1423) .

[xxxvii] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (1424) dalam Ash Shalaah, Tirmidzi (463) ia katakan, “Hadits ini hasan gharib”, Al Albani berkata dalam Al Misykaat (1269), “Isnadnya dha’if, namun Hakim (1/305) meriwayatkan dari jalan lain yang ia shahihkan, ia katakan, “Shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim”, dan disepakati oleh Adz Dzahabiy. Lihat Shahih Abi Dawud (1424).

[xxxviii] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (754) bab Shalaatul laili matsnaa-matsnaa, Tirmidzi (468) dalam Al Witr, Ibnu Majah (1189), Darimiy (1/372), Ibnu Abi Syaibah (2/50/2), Ibnu Nasr dalam Qiyamullail (138), Hakim (1/301), Al Irwaa’ (422) .

[xxxix] Yakni dari hadits Abu Sa’id, dimana hadits tesebut Shahih juga, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (2408) –TSZ-.

Dalam TCDA disebutkan, “Diriwayatkan oleh Hakim (1/302), juga Baihaqi. Ia mengatakan, “Shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim”, dan disepakati oleh Adz Dzahabiy, dari jalan Qatadah dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id secara marfu’. Lihat Al Irwaa’ (2/135).

[xl] Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi (465) dalam Al Witr, bab Maa jaa’a fir rajuli yanaamu ‘anil witri aw yansaah, Ibnu Majah (1188) dalam Iqaamtush shalaah was sunnah fiihaa, Ahmad (10871) dari jalan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari ‘Athaa’ bin Yasaar dari Abu Sa’id. ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam ini para ahli hadits tidak berhujjah dengannya . namun di sini ia tidak sendiri, bahkan ada penguat dari jalan yang sama yaitu Muhammad bin Mutharrif  dari Zaid bin Aslam. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (1431), Daruquthni (171), Hakim (1/302), juga Baihaqi (2/480) ia katakan, “Shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim,” dan disepakati oleh Adz Dzahabiy. Al Albani menshahihkannya, lihat Al Irwaa’ (2/153), Al Albani berkata, “Tidak ada pertentangan antara hadits ini dengan sebelumnya [yakni di no. (413)] berbeda dengan apa yang diisyaratkan oleh Muhammad bin Yahya itu, karena hadits ini khusus bagi yang tertidur atau lupa, maka orang yang seperti ini melakukannya setelah terbit fajar ketika ingatnya, dan bagi yang ingat itu (yakni tidak lupa atau tertidur) waktu habis witirnya ini sampai terbit fajar.” [Al Irwaa’ (2/153)] .

[xli] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (755) bab Man khaafa allaa yaquuma min aakhiril lail falyuutir awwalah.

[xlii] Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi (469), Ibnu Addiy (1/157) secara marfu’, Tirmidzi mengatakan, “Sulaiman bin Musa menyendiri dalam meriwayatkan lafaz ini”. [Lihat Shahih At Tirmidzi (469)].

[xliii] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (719) bab Istihbaab shalatidh dhuhaa.

[xliv] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (717) bab Istihbaab shalatidh dhuhaa.

[xlv] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (718), lengkapnaya adalah,

وإن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليدع العمل، وهو يحب أن يعمل به، خشية أن يعمل به الناس، فيفرض عليهم

.”Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan suatu amalan, padahal suka sekali kalau dikerjakan karena khawatir nanti orang-orang melakukannya sehingga nantinya diwajibkan kepada mereka.”

Sumair Az Zuhairiy mengatakan, “Hadits tersebut ada juga dalam Bukhari (1128) secara lengkap –TSZ-.

[xlvi] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (748) bab shalaatul awwaabiin hiina tarmidhul fishaal, Ahmad (18832), Ibnu Khuzaimah (1127), Darimiy (1457), kami tidak mendapatkannya di (Sunan) Tirmidzi. [lihat Al Misykaat (1312) dan Ash Shahihah (1164)]. Al Fishaal adalah jamak dari kata fashiil yang artinya anak unta yang baru disapih dari induknya .

[xlvii] Dha’if, diriwayatkan oleh Tirmidzi (473) bab Maa jaa’a fi shalaatidh dhuhaa, Abu ‘Isa mengatakan, “Hadits Anas adalah hadits gharib”, kami tidak mengetahui hadits itu kecuali dari jalur ini”, diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (1380), dan didhaifkan oleh Al Albani dalam Dha’if At Tirmidzi (473) .

[xlviii] Dha’if, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya (4/103), diantara bukti yang menunjukkan kedha’ifannya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, ”Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha sedikitpun, namun aku mengerjakannya…”, dan haditsnya telah lewat di nomor (419) sanadnya kuat, diriwayatkan oleh Malik, Bukhari (1/286, 296), Muslim (718), Abu ‘Uwaanah (2/267), Abu Dawud (1291), Baihaqi (3/49), Ibnu Abi Syaibah (2/94-95), Ahmad (6/168-169) dari jalan ‘Urwah dari ‘Aisyah. Hadits ini jelas-jelas menjelaskan bahwa ‘Aisyah tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha, ini adalah bukti lemahnya hadits tersebut, hadits shahih yang berasal dari ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim hanyalah yang menerangkan “Bahwa Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat empat rakaat”, yang telah lewat di no. 418, dan tidak ada pertentangan antara hadits itu dengan ini, karena di hadits itu tidak dikatakan bahwa ‘Aisyah melihat Beliau shalat, bukankah sangat mungkin kalau Aisyah menerima hadits itu dari sahabat yang lain yang melihat Beliau melakukannya. [Al Irwaa’ (262)]. Yang disebutkan juga dalam hadits yang shahih adalah hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalan dari Ummu Hani’, “Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk menemuinya pada hari penaklukkan Makkah, Beliau lakukan shalat sejumlah 8 rakaat, aku tidak pernah melihat Beliau melakukan shalat yang lebih ringan daripada shalat ini, hanyasanya Beliau sempurnakan ruku’ dan sujudnya.” Diriwayatkan oleh Bukhari (1/102, 280, 296), Muslim (2/157), Abu Dawud (1290, 1291), Nasa’i (1/46), Tirmidzi (474), Shahih Ibnu Majah (1143), dan lihat Al Irwaa’ (464).

Dalam TSZ disebutkan, “Dha’if, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (2531), dan dalam sanadnya terputus.”

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger