بسم الله الرحمن الرحيم
Individualisme, antara yang benar dan keliru
Oleh: Marwan Hadidi, M.Pd.I
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang sikap
individualis. Semoga Allah Azza wa
Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Sikap Individualisme (sikap masing-masing) yang benar
Sikap individualis terkadang benar
dalam keadaan tertentu dan terkadang keliru dalam keadaan yang lain.
Keadaan yang benar –wallahu a’lam-
adalah dalam beberapa keadaan berikut:
1.
Ketika dia tidak peduli atas celaan orang lain saat dirinya telah
berada di atas yang hak (benar)
Allah Ta’ala berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang
bodoh.” (Qs. Al A’raaf: 199)
Imam Bukhari meriwayatkan dari
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa ia berkata,
«قَدِمَ
عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنِ بْنِ حُذَيْفَةَ فَنَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيهِ الحُرِّ بْنِ
قَيْسٍ، وَكَانَ مِنَ النَّفَرِ الَّذِينَ يُدْنِيهِمْ عُمَرُ، وَكَانَ القُرَّاءُ
أَصْحَابَ مَجَالِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ، كُهُولًا كَانُوا أَوْ شُبَّانًا» ، فَقَالَ
عُيَيْنَةُ لِابْنِ أَخِيهِ: يَا ابْنَ أَخِي، هَلْ لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الأَمِيرِ،
فَاسْتَأْذِنْ لِي عَلَيْهِ، قَالَ: سَأَسْتَأْذِنُ لَكَ عَلَيْهِ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ:
«فَاسْتَأْذَنَ الحُرُّ لِعُيَيْنَةَ فَأَذِنَ لَهُ عُمَرُ» ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ
قَالَ: هِيْ يَا ابْنَ الخَطَّابِ، فَوَاللَّهِ مَا تُعْطِينَا الجَزْلَ وَلاَ تَحْكُمُ
بَيْنَنَا بِالعَدْلِ، فَغَضِبَ عُمَرُ حَتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهِ، فَقَالَ لَهُ
الحُرُّ: يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ}
[الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ
حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»
"Uyaynah
bin Hishn bin Hudzaifah pernah datang dan singgah di rumah putera saudaranya,
yaitu Al Hurr bin Qais. Al Hurr bin Qais termasuk golongan yang didekatkan
dengan Umar, ketika itu para penghapal Al Qur'an adalah orang-orang yang duduk
di majlis Umar dan majlis musyawarahnya, baik mereka sudah tua atau masih
muda." Lalu 'Uyaynah berkata kepada putera saudaranya, "Wahai putera
saudaraku, bukankah engkau memiliki kedudukan di hadapan pemerintah ini. Oleh
karena itu, izinkan aku untuk menemuinya." Al Hurr berkata, "Saya
akan memintakan izin untukmu agar dapat menemuinya." Ibnu Abbas berkata,
"Lalu Al Hurr memintakan izin untuk Uyaynah, maka Umar
mengizinkannya." Ketika Uyaynah masuk, ia berkata, "Hei putera Al Khatthab.
Demi Allah, engkau tidak memberikan kepada kami pemberian yang melimpah dan
tidak memutuskan di antara kami dengan adil." Maka Umar marah sehingga
hendak menghukumnya, lalu Al Hurr berkata kepada Umar, "Wahai Amirul
Mukminin! Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu
'alaihi wa sallam, "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh."
(Qs. Al A'raaf: 199) dan sesungguhnya orang ini termasuk orang-orang yang
bodoh." (Ibnu Abbas berkata), "Demi Allah, Umar tidak melampauinya
(melanggarnya) dan ia adalah orang yang berhenti di hadapan kitab Allah."
Yunus bin Abdul A'la rahimahullah
berkata, "Imam Syafi'i berkata kepadaku, "Wahai Abu Musa, keridhaan manusia adalah ujung yang tidak ada
batasnya. Aku tidaklah berkata demikian selain memberikan nasihat kepadamu.
Tidak ada jalan untuk selamat dari celaan orang, maka lihatlah sesuatu yang
dapat memperbaiki dirimu, lalu peganglah,
dan biarkanlah manusia berikut sikapnya." (Manaqib Asy Syafi'i
karya Al Abriy).
Allah Ta’ala juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا
يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا
فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah
dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi madharat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka
Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Qs. Al Maidah: 105)
Akan tetapi ayat ini tidaklah berarti
bahwa ia kemudian tidak menyuruh orang lain berbuat yang ma'ruf dan mencegahnya
dari yang munkar. Amr ma'ruf dan nahi munkar menjadi tidak wajib adalah ketika
nasihat sudah tidak diterima dan tidak bermanfaat (lihat surat Al A'laa: 9),
karena kondisi sudah berubah, misalnya masing-masing orang bangga dengan
pendapat dan sikapnya, kekikiran ditaati oleh manusia, dunia diutamakan, hawa
nafsu diperturutkan, dan masing-masing manusia bangga dengan pendapatnya, sehingga
amr ma'ruf tidak dipedulikan lagi. Akan tetapi, tetap beramr ma'ruf dan bernahi
munkar adalah lebih utama.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Qais bin
Abi Hazim ia berkata, “Abu Bakar radhiyallahu 'anhu pernah berdiri memuji Allah
dan menyanjung-Nya, kemudian berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya kalian
membaca ayat ini, "Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu;
(karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah
mendapat petunjuk." (Terj. QS. Al Ma'idah: 105) dan sesungguhnya kalian
telah menempatkan bukan pada tempatnya. Sesungguhnya aku telah mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغيِّرُوهُ،
أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابِهِ
"Sesungguhnya manusia apabila
melihat kemungkaran tetapi tidak merubahnya, maka dalam waktu dekat Allah akan
menurunkan siksa kepada mereka secara merata." (Pentahqiq Musnad Ahmad
berkata, "Isnadnya shahih sesuai syarat dua syaikh (Bukhari dan
Muslim).") (Minnatur Rahman
tafsir surah Al Maidah: 105 oleh penulis)
2.
Ketika dia tidak peduli atas celaan orang lain karena dia lebih
mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
مَنِ التَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ
مُؤْنَةَ النَّاسِ، وَمَنِ التَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ
اللَّهُ إِلَى النَّاسِ
'Barang
siapa saja yang mencari keridhaan Allah dengan cara yang dibenci manusia, maka
Allah akan melindunginya dari kesulitan manusia. Barang siapa saja yang mencari
keridhaan manusia dengan cara yang dibenci Allah, maka Allah akan menyerahkan
dirinya kepada (hukum) manusia.' (Hr. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Imam Syafi'i pernah berpesan kepada
Ar-Rabi' bin Sulaiman rahimahumallah,
يا ربيع رضا الناس غاية لا تدرك، فعليك بما يصلحك فالزمه، فإنه لا
سبيل إلى رضاهم، واعلم أن من تعلّم القرآن جل في عيون الناس، ومن تعلّم النحو هيب،
ومن تعلّم العربية رق طبعه، ومن تعلّم الحساب جزل رأيه، ومن تعلّم الفقه نبل قدره،
ومن لم يهذب نفسه لم ينفعه علمه، وملاك ذلك كله التقوى " .
حلية الأولياء لأبي نعيم 123/9
"Wahai Rabi, keridhaan manusia
adalah tujuan yang tidak akan dapat dicapai, maka hendaknya engkau
memperhatikan hal yang dapat memperbaiki dirimu, itulah yang engkau pegang.
Tidak ada jalan untuk mencari keridhaan mereka. Ketahuilah, barang siapa yang
belajar Alquran maka akan mulia di hadapan manusia, barang siapa yang belajar
Nahwu maka akan berwibawa, barang siapa yang belajar bahasa Arab maka akan
lunak jiwanya, barang siapa yang belajar ilmu hisab maka akan tajam
pandangannya, dan barang siapa yang belajar fiqih akan tinggi kedudukannya, dan
barang siapa yang tidak menata dirinya
dengan baik maka tidak bermanfaat ilmunya. Penopang semua itu adalah Takwa."
(Hilyatul Awliya karya Abu Nuaim 9/123)
3.
Saat dirinya lebih melihat kekurangan dan aib dirinya daripada
melihat aib orang lain.
Telah diriwayatkan sebuah hadits,
طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبَهُ عَنْ عُيُوبِ اَلنَّاسِ
“Sungguh bahagia orang
yang disibukkan oleh aibnya sehingga tidak sempat melihat aib orang lain.” (Al
Hafizh berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan isnad yang hasan, namun
yang benar bahwa hadits ini sangat dhaif, namun memiliki beberapa syahid
(penguat) tetapi semua syahidnya dhaif ((emah) sebagaimana yang dikatakan Al
Iraqiy, demikian yang dinyatakan Syaikh Sumair Az Zuhairiy)
Contoh sikap individualis yang benar
adalah seperti yang disampaikan oleh Ibrahim bin Adham rahimahullah berikut,
مالي وللناس ،
كنت في بطن أمي وحدي ،
و خرجت إلى الدنيا وحدي ،
و أموت وحدي ،
و أدخل قبري وحدي ،
و أُسألُ وحدي ،
و أُبعث من قبري وحدي ،
و أُحاسب وحدي ،
فإن دخلت الجنة دخلت وحدي ،
و إن دخلت النار دخلت وحدي ،
ففي هذه المواطن لا ينفعني أحد ،
فمالي و للناس ! ".
“Apa urusanku dengan manusia! Dahulu
aku di perut ibuku sendiri, keluar ke dunia sendiri. Aku mati sendiri dan
dimasukkan ke dalam kubur sendiri. Aku akan ditanya sendiri. Aku akan
dibangkitkan dari kubur senndiri. Aku akan dihisab sendiri. Jika aku masuk
surga, maka aku akan masuk surga sendiri. Jika aku masuk neraka, maka aku akan
masuk neraka sendiri. Di tempat-tempat ini tidak ada seorang pun yang memberi
manfaat kepadaku, maka apa urusanku dengan manusia!”
Contoh sikap individualis yang keliru
Adapun contoh sikap individualis yang
keliru adalah
1.
Ketika lebih mementingkan diri sendiri dalam urusan dunia (egois
atau ananiyyah),
2.
Tidak mau bergaul dengan orang lain,
3.
Tidak peduli dengan orang lain,
4.
Mengurung diri,
5.
Tidak mau
menerima saran dan krtik dari orang lain,
6.
Tidak mau
melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, dsb.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«المُسْلِمُ إِذَا كَانَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى
أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ المُسْلِمِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ
عَلَى أَذَاهُمْ»
Orang muslim yang mau bergaul dengan
orang lain dan sabar terhadap gangguan mereka lebih baik daripada muslim yang
tidak mau bergaul dengan manusia dan tidak sabar dengan gangguan mereka. “ (Hr.
Tirmidzi dan Ibnu Majah, lafaz ini lafaz Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Imam Nawawi membuat bab khusus dalam
Riyadhus Salihin tentang keutamaan bergaul bersama orang lain dengan sikap
sabar,
بَابٌ فَضْلُ الْاِخْتِلاَطِ بِالنَّاسِ وَحُضُوْرِ جُمَعِهِمْ
وَجَمَاعَاتِهِمْ وَمَشَاهِدِ الْخَيْرِ وَمَجَالِسِ الذِّكْرِ مَعَهُمْ
وَعِيَادَةِ مَرِيْضِهِمْ وَحُضُوْرِ جَنَائِزِهِمْ وَمُوَاسَاةِ مُحْتَاجِهِمْ
وَإِرْشَادِ جَاهِلِهِمْ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ مَصَالِحِهِمْ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى
الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ وَقَمَعَ نَفْسَهُ عَنِ
الْإِيْذاَءِ وَصَبَرَ عَلَى الْأَذَى.
اِعْلَمْ
أَنَّ الْاِخْتِلاَطَ بِالنَّاسِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ ذَكَرْتُهُ هُوَ
الْمُخْتَارُ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَسَائِرُ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ ،
وَكَذَلِكَ الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُوْنَ ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الصَّحَابَةِ
وَالتَّابِعِيْنَ ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِِ الْمُسْلِمِيْنَ
وَأَخْيَارِهِمْ ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَكْثَرِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ ،
وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ ، وأَكْثَرُ الفُقَهَاءِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ . قَالَ تَعَالَى :
{ وتَعاونُوا عَلى البِرِ والتَّقْوَِى } [ المائدة : 2 ] وَالْآيَاتُ فِي
مَعْنَى مَا ذَكَرْتُهُ كَثِيْرَةٌ مَعْلُوْمَةٌ
.
Bab tentang
keutamaan bergaul dengan orang lain, ikut menghadiri shalat Jumat dan jamaah
serta musim-musim kebaikan, juga keutamaan menghadiri majlis ilmu bersama
mereka, menjenguk orang yang sakit, menghadiri jenazahnya, membantu orang yang
butuh, membimbing orang yang tidak mengerti dsb. bagi orang yang sekiranya
mampu beramr ma’ruf dan bernahy mungkar, mampu menahan dirinya dari mengganggu
orang lain dan mampu bersabar terhadap gangguan.
Imam Nawawi kemudian melanjutkan
kata-katanya, “Ketahuilah, bahwa bergaul dengan orang-orang seperti yang aku
sebutkan inilah yang terpilih, dan ini pula yang ditempuh oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, para Nabi shalawatullah wa salaamuhu ‘alaihim,
juga para khulafaur raasyidin, serta orang-orang setelah mereka dari kalangan
para sahabat, tabi’in, ulama kaum muslimin setelah mereka dan orang-orang
pilihan. Ini pula madzhab kebanyakan tabi’in dan orang-orang setelah mereka,
dan ini pula yang dipegang oleh Imam Syafi’i, Ahmad serta kebanyakan para
fuqaha’ (Ahli Fikih) radhiyallahu 'anhum ajma’iin. Allah Ta’ala berfirman, “Tolong-menolonglah
dalam kebaikan dan ketakwaan.” (Qs. Al Maa’idah: 2)
Ayat lain yang semakna dengan maksud
yang saya sebutkan banyak dan sudah maklum.”
Dengan demikian, bergaul dan
bermasyarakat adalah lebih baik daripada menyendiri agar dia dapat membimbing,
memberikan masukan dan mengarahkan masyarakat, tentunya bergaul secara tidak
berlebihan yang sampai melupakan hak diri dan keluarga.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
0 komentar:
Posting Komentar