بسم الله الرحمن الرحيم
Kisah Thalhah bin Ubaidillah
radhiyallahu 'anhu
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut kisah Thalhah bin Ubaidillah
radhiyallahu 'anhu, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Masa Kecil Thalhah
Thalhah terlahir dari pasangan Ubaidillah dan Ash Sha’bah
binti Al Hadhrami. Uaidillah termasuk tokoh penduduk Mekkah dan memiliki
kedudukan di tengah-tengah mereka. Di bawah asuhan ayah dan ibunya inilah
Thalhah tumbuh dewasa dan mengambil banyak pelajaran dari mereka berdua tentang
kehidupan dan akhlak yang mulia. Sehingga ketika usianya semakin dewasa, ia pun
menikah dengan Hamnah binti Jahsy yang merupakan saudari dari Zainab binti
Jahsy istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Thalhah tumbuh besar di Mekkah, sehingga beliau tahu
dataran rendah dan lembah-lembah yang ada di sana, beliau juga sering
berpindah-pindah di antara perbukitan dan gunung-gunung di sana serta melakukan
latihan memanah.
Saat usianya
semakin dewasa, maka ia memilih profesi sebagai pedagang, sehingga ia pun tahu
pasar-pasar yang ada di Basrah dan Syam dan ia dikenal sebagai pedagang yang
jujur dan amanah.
Kabar
gembira pun datang
Saat perjalanan
dagang beliau ke Basrah, dimana orang-orang sibuk berjual-beli di pasar,
tiba-tiba ia mendengar seorang yang menyeru, “Wahai para pedagang! Adakah di
antara kalian seorang yang berasal dari penduduk tanah haram?” Maka orang-orang
melihatnya dan ternyata orang itu adalah seorang rahib yang berasal dari Syam
yang tempat ibadahnya sangat banyak jumlahnya di jalan-jalan.
Thalhah pun
bangkit dan berkata, “Saya berasal dari tanah haram.”
Maka rahib
itu berkata, “Apakah telah diutus ke tengah-tengah kalian nabi akhi zaman?”
Thalhah
balik berkata, “Siapa memangnya nabi akhir zaman?”
Rahib itu
berkata, “Beliau adalah Ahmad penutup para nabi dan rasul, ia akan keluar di
tanah haram, kemudian hijrah ke daerah yang terdapat pohon kurma dan air. Jika
engkau sanggup untuk lebih dulu beriman kepadanya sebelum yang lain, maka
lakukanlah!” (sebagaimana dalam riwayat Hakim dalam Al Mustadrak, Ibnu Sa’ad
dalam Ath Thabaqat dan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah)
Rahib itu
pun pergi dan Thalhah kemudian berfikir terhadap pernyataannya itu. Setelah
urusan dagangnya selesai, maka ia segera kembali ke Mekkah untuk mengecek
kebenaran berita yang disampaikannya.
Saatnya
kebahagiaan itu datang
Thalhah
sebagaimana yang lainnya, ingin kehadiran nabi akhir zaman yang dapat
mengeluarkan manusia dari zaman Jahiliyyah yang diliputi kebodohan dan
penderitaan kepada zaman pengetahuan dan kebahagiaan. Tidak lama kemudian, apa
yang diharapkan itu pun tiba dengan munculnya cahaya Islam ke dunia dengan
turunnya malaikat JIbril membawa wahyu kepada Nabi kita Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam.
Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pun diutus dan ketika itu orang yang
beriman kepada Beliau di antaranya adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu
anhu.
Saat Thalhah
mendapatkan berita itu, maka dia tidak menunggu nanti, bahkan ketika Abu Bakar
mengajaknya ia pun segera menyambutnya dan mengetahui dengan yakin bahwa
Muhammad seorang yang jujur dan amanah adalah seorang Nabi, dan tidak mungkin
pedagang yang jujur dan amanah yaitu Abu Bakar berkumpul bersama Beliau di atas
kesesatan.
Thalhah pun
segera pergi mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk
menyatakan keislamannya. Ia termasuk As Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang
segera masuk Islam).
Meskipun ia
memiliki kedudukan di masyarakat, namun ia tetap saja disakiti di jalan Allah,
namun Allah segera angkat penderitaan dan cobaan itu darinya.
Ketika Nabi
shallallahu alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, maka Thalhah juga ikut
berhijrah bersama kaum muhajirin.
Kabar
gembira menjadi syuhada
Thalhah
senantiasa bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam sehingga dapat belajar
banyak kebaikan dari Beliau serta dapat meniru akhlak Beliau yang mula.
Suatu ketika
saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
Thalhah, Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqqash berada di atas gunung Hira, maka
gunung Hira pun bergetar, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«اسْكُنْ
حِرَاءُ فَمَا عَلَيْكَ إِلَّا نَبِيٌّ، أَوْ صِدِّيقٌ، أَوْ شَهِيدٌ»
“Tenanglah
wahai HIra! Karena di atasmu hanya ada Nabi, orang yang shiddiq, atau orang
yang akan mati syahid.” (Hr. Muslim)
Setelah
Thalhah mengetahui bahwa dirinya akan mati syahid, maka ia segera mencari
kesyahidan dalam berbagai pertempuran, karenanya ia hadir dalam semua
pertempuran bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam selain dalam perang
Badar.
Sebab tidak
hadir dalam perang Badar
Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersama sebagian para sahabat keluar untuk
mendatangi kafilah Quraisy yang pergi dari Mekkah menuju Syam, namun kafilah
itu berhasil lolos. Tetapi ketika tiba waktu kafilah itu pulang dari Syam
menuju Mekkah, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirim Thalhah bin
Ubaidillah bersama Said bin Zaid ke arah utara untuk mencari kabar tentang
kafilah Quraisy itu, hingga keduanya sampai di sebuah tempat bernama Rauha
dan mereka berdua tetap berada di sana hingga lewat kafilah Abu Sufyan dan
sampai berita itu ke telinga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebelum
kedatangan Thalhah dan Said. Oleh karena itulah, mereka berdua tidak hadir
dalam perang Badar karena tidak tahu terjadinya perang itu kecuali setelah
mereka pulang ke Madinah.
Saat Thalhah
dan Said pulang ke Madinah dan mengetahui kemenangan kaum muslimin terhadap
kaum musyrik, maka mereka berdua sangat bergembira sekali, lalu Nabi
shallallahu alaihi wa sallam memberikan kepada keduanya ghanimah yang diperoleh
kaum muslimin dalam perang Badar.
Ketika terjadi perang Uhud
Kaum musyrik tidak putus asa dengan peristiwa yang
menimpa mereka dalam perang Badar, maka mereka pun mempersiapkan diri selama
setahun untuk melawan kaum muslimin, sehingga ketika tiba waktu pertempuran
berikutnya, maka bertemulah pasukan kaum muslimin dengan pasukan kaum musyrik di
perang Uhud, dimana ketika itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah
menyiapkan 50 orang regu pemanah di atas bukit yang dipimpin oleh Abdullah bin
Jubair, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar tidak
meninggalkan bukit baik kaum muslimin memperoleh kemenangan atau kekalahan.
Peperangan pun dimulai, para sahabat berperang dengan
gagah berani dan ikhlas, sehingga di awal pertempuran kemenangan diraih oleh
kaum muslimin dan kaum musyrik pun melarikan diri, tetapi regu pemanah yang berada
di atas bukit mengira bahwa peperangan telah selesai, sehingga 40 orang dari
mereka pun turun untuk mengumpulkan ghanimah, lalu Abdullah bin Jubair
menasihati mereka, “Janganlah kalian meninggalkan bukit! Karena Nabi shallallahu alaihi wa
sallam memerintahkan demikian kepada kalian.” Mereka balik menjawab,
“Peperangan telah selesai dan kita turun untuk mengumpulkan ghanimah.” Maka
turunlah 40 orang dari mereka, sedangkan 10 orang lagi tetap berada di atas
bukit.
Saat itu
Khalid bin Walid yang masih musyrik memanfaatkan kesempatan ini, maka ia segera
menarik pasukan dan memutar balik hingga sampai di barisan belakang kaum
muslimin. Ia pun berhasil menghabisi Abdullah bin Jubair dan kawan-kawannya
kemudian menyerang kaum muslimin dari belakang.
Para
penunggang kuda pun berteriak dengan teriakan yang dapat diketahui kaum musyrik
yang kalah itu agar kembali bangkit menyerang, maka mereka pun menyerang
kembali kaum muslimin, lalu salah seorang wanita dari kalangan mereka yaitu Amrah
binti Alqamah Al Haritsiyyah segera mengambil panji kaum musyrik yang telah
jatuh ke tanah kemudian mengangkat kembali, lalu kaum musyrik kembali berkumpul
di hadapan Khalid dan mengerumuninya kemudian mereka saling memanggil, maka
ketika mereka telah berkumpul, mulailah mereka menyerang kaum muslimin dan
melanjutkan peperangan sehingga kaum muslimin terkepung dari depan dan
belakang.
Ketika
itulah kaum musyrik ingin membunuh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
maka Beliau segera memanggil kaum muslimin, “Kemarilah! Aku adalah Rasulullah.”
Orang-orang musyrik pun mendengar suara itu lalu mereka berusaha mendatangi
Beliau untuk membunuhnya, namun mereka menghadapi sembilan orang para sahabat
yang bergegas melindungi Beliau, dimana tujuh orang dari mereka berasal dari
Anshar, sedangkan dua orang lain berasal dari kaum Muhajirin yaitu Saad bin Abi
Waqqash dan Thalhah bin Ubaidullah radhiyallahu anhuma. Mulailah tujuh orang
sahabat dari kalangan Anshar maju untuk membela Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, namun mereka semua gugur sebagai syuhada. Sedangkan terhadap Saad bin
Abi Waqqas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terus memberikan anak panah
kepadanya sambil bersabda, “Lepaslah panah itu, ayah dan ibuku menjadi tebusan
bagimu.”
Sedangkan
Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhu, maka ia bangkit melawan serangan kaum
musyrik dan terus melindungi Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang ketika itu
kaum musyrik terus mendekat, sehingga jari-jari beliau putus karena tebasan
pedang musuh sampai ia berkata, “Has,” (aduh) Maka Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
«لَوْ
قُلْتَ بِسْمِ اللَّهِ لَرَفَعَتْكَ الْمَلَائِكَةُ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ »
“Kalau
sekiranya engkau mengucapkan ‘Bismillah’ tentu para malaikat akan
mengangkatmu sedangkan orang-orang menyaksikan,” (Hr. Nasa’i)
Kemudian
Allah menghindarkan serangan kaum musyrik.
Dalam sebuah
riwayat Ahmad disebutkan,
لَوْ قُلْتَ بِسْمِ اللَّهِ لَرَفَعَتْكَ الْمَلَائِكَةُ لَرَأَيْتَ
يُبْنَى لَكَ بِهَا بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ وَأَنْتَ حَيٌّ فِى الدُّنْيَا
“Kalau
sekiranya engkau mengucapkan ‘Bismillah’ tentu para malaikat akan mengangkatmu,
sehingga engkau akan menyaksikan istana yang dibuatkan untukmu di surga
sedangkan engkau masih hidup di dunia.”
Demikianlah
Thalhah terus melindungi Nabi shallallahu alaihi wa sallam hingga berhasil membawa
Nabi shallallahu alaihi wa sallam ke belakang pasukan dan tiba di sebuah batu
yang besar dan tinggi, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam naik ke atasnya
dan bersabda, “Thalhah berhak (surga)! Ya Allah, tetapkanlah surga bagi
Thalhah.” Oleh karenanya Thalhah termasuk sepuluh sahabat yang dijamin
masuk surga.
Dalam perang
itu, Thalhah terluka sebanyak 39 atau 35 luka, sedangkan jari telunjuk dan jari
sebelahnya lumpuh.
Nabi
shallallahu alaihi wa sallam sampai bersabda tentang Thalhah,
«مَنْ
سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى شَهِيدٍ يَمْشِي عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى
طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ»
“Barang
siapa yang ingin melihat seorang yang syahid yang masih berjalan di atas
permukaan bumi, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah.” (Hr. Tirmidzi,
dishahihkan oleh Al Albani)
Bersangka
baik dengan saudara-saudaranya
Suatu hari
seseorang datang kepadanya dan berkata, “Kami mendengar beberapa hal tentang
Abu Hurairah yang tidak kami dengar dari engkau.” Sepertinya orang ini
ragu-ragu terhadap Abu Hurairah karena banyaknya riwayat yang beliau sampaikan.
Namun Abu Thalhah berkata, “Ketahuilah! Ia telah mendengar hadits dari
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang kami tidak mendengarnya, maka saya
tidak ragu-ragu terhadapnya dan saya akan sampaikan kepadamu, bahwa kami adalah
orang-orang yang punya rumah, kami mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam pagi dan petang, sedangkan Abu Hurairah seorang yang miskin yang tidak
memiliki harta, dia berada di dekat pintu rumah Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam, maka aku tidak ragu jika ia mendengar hadits dari Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam yang tidak kami dengar. Apakah engkau prnah mendapati
seorang yang memiliki kebaikan berkata mengatasnamakan Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam yang tidak beliau ucapkan?” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi,
menurut Al Arnaut, para perawinya tsiqah, dan dihasankan oleh Al Hafizh dalam
Al Fath)
Thalhah yang
dermawan
Tidak heran
jika ia berinfak tanpa takut miskin, karena ia di bawah pendidikan sayyidul mursalin
(pemimpin para rasul), sayyiduz zahidin (pemimpin orang-orang yang zuhud) dan
imamul muttaqin (pemimpin orang-orang yang bertakwa), Nabi kita Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam.
Dari Musa
dari ayahnya (Thalhah), bahwa ia pernah kedatangan harta dari Hadramaut
sebanyak 700.000 dirham, maka semalaman ia tidak bisa tidur, maka istrinya
berkata, “Ada apa denganmu?” ia menjawab, “Sejak semalam aku berfikir. Aku
berkata dalam hatiku, “Apa yang difikirkan seorang hamba terhadap Rabbnya, dimana
ia bemalam dengan harta sebanyak ini di rumahnya?” Istrinya berkata, “Apakah
engkau melupakan kawan-kawan dan saudara-saudaramu ketika memiliki harta
sebanyak itu. Saat pagi hari tiba, siapkanlah nampan dan piring, lalu
bagikanlah harta itu kepada mereka.” Thalhah berkata, “Semoga Allah
merahmatimu. Engkau adalah wanita yang mendapatkan taufik putri dari seorang
yang mendapatkan taufik (ia adalah Ummu Kultsum binti Ash Shiddiq).” Ketika
tiba pagi hari, maka ia membagikannya antara kaum muhajirin dan Anshar. Ia
kirim satu nampan untuk Ali, lalu istrinya berkata, “Wahai Abu Muhammad! Apakah
kami tidak memperoleh bagian dari harta ini?” Ia menjawab, “Engkau di mana dari
sejak pagi? Yang tersisa itu untukmu.” Istrinya berkata, “Ternyata sisanya
sebuah kantong yang terdapat seribu dirham.” (Siyar A’lamin Nubala karya
Adz Dzahabi 1/30-31)
Dari Al
Hasan Al Basri bahwa Thalhah bin Ubaidillah menjual tanahnya dengan harga
700.000 dirham, maka semalaman ia tidak bisa tidur karena khawatir dengan harta
sebanyak itu, keesokan harinya di pagi hari ia pun membagi-bagikannya. (Siyar
A’lamin Nubala karya Adz Dzahabi 1/32)
Tibanya saat
untuk berpisah
Setelah
wafatnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu
anhuma fitnah begitu banyak hingga Utsman bin Affan radhiyallahu anhu terbunuh sebagai
syahid.
Saat Utsman
dibunuh, maka Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam keluar bersama ibunda
Aisyah radhiyallahu anha untuk menuntut darah Utsman radhiyallahu anhu.
Ketika itu,
Thalhah sangat bersedih sekali karena perpecahan di tengah kaum muslimin dan
sampai terjadinya peperangan di antara mereka.
Saat tiba di
medan perang dan dilihatnya Ammar bin Yasir radhiyallahu anhu berperang di
pihak Ali bin Abi Thalib, tiba-tiba Thalhah dan Zubair ingat sabda Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Ammar akan dibunuh oleh kelompok yang
durhaka, maka keduanya pun memisahkan diri dari pasukan itu. Saat itu Thalhah
dan Zubair berada di pasukan Muawiyah yang memerangi Ammar, lalu keduanya memisahkan
diri karena khawatir masuk ke dalam kelompok itu. Di samping itu, yang
mendorong mereka berdua memisahkan diri dari peperangan itu adalah ucapan Ali
bin Abi Thalib kepada Zubair, “Wahai Zubair! Aku bertanya kepadamu dengan nama
Allah, “Apakah engkau pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Engkau akan memeranginya sedangkan
engkau berbuat zalim kepadanya?” Zubair menjawab, “Aku ingat.” Zubair kemudian
pergi meninggalkan peperangan itu.” (Sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim, ia
berkata, “Shahih isnadnya dan disepakati oleh Adz Dzahabi.”)
Ketika itu
Thalhah dan Zubair menarik diri dan saat memisahkan diri dari peperangan itu, mereka
berdua dibunuh. Adapun Zubair, maka ia dibuntuti oleh Amr bin Jurmuz yang
membunuhnya secara diam-diam. Sedangkan tentang Thalhah, ada yang mengatakan,
bahwa ia dipanah tanpa diketahui siapa yang memanah. Ada yang mengatakan, bahwa
yang memanahnya adalah Marwan bin Hakam.
Ketika Ali
bin Abi Thalib mengetahui terbunuhnya Thalhah, maka ia mendatanginya dan turun
dari hewan kendaraannya, mendudukannya dan menyingkirkan debu dari wajahnya dan
janggutnya sambil mendoakan rahmat untuknya seraya berkata, “Wahai kiranya aku
telah wafat dua tahun yang silam sebelum kejadian ini.”
Suatu hari Imran
bin Thalhah menemui Ali bin Abi Thalib, lalu Ali menyambutnya dan
mendekatkannya sambil berkata, “Saya berharap agar Allah menjadikanku dan ayahmu
termasuk mereka yang difirmankan Allah Ta’ala,
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا
عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ
“Dan Kami
lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka
merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (Qs. Al
Hijr: 47)
Penjagaan
Allah terhadap jasadnya
Suatu hari
Aisyah putri Thalhah bermimpi bahwa ayahnya memintanya untuk memindahkan
kuburnya ke tempat lain karena kuburnya dipenuhi air dan basah.
Maka Aisyah
memberitahukan mimpinya itu kepada kaumnya, lalu para mahramnya keluar
bersamanya dan menggali kubur Thalhah dan mengeluarkan dari kuburnya, ternyata
jasadnya masih seperti ketika dimakamkan sebelumnya tanpa ada yang berubah
sedikit pun selain beberapa helai janggutnya. Padahal jasadnya telah dikubur 30
tahun lebih. Semoga Allah meridhai Thalhah dan menempatkan kita bersamanya di surga-Nya,
aamiin.
Wallahu a'lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar