بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Menggabung Niat Dalam Satu
Shalat, Hukum Tato Ketika Masih ada Bekasnya, Hukum Bermain Catur, dll.
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin,
shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut beberapa
masalah yang perlu diketahui, yaitu
hukum memberi gelar 'Hujjatullah',
'Hujjatul Islam', atau 'Ayatullah’, hukum menggabung niat dalam satu shalat,
hukum tato ketika masih ada bekasnya, hukum nada dering musik, dan hukum
bermain catur. Semoga Allah
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Hukum memberi gelar 'Hujjatullah', 'Hujjatul Islam', atau
'Ayatullah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya,
"Apa hukum memberi gelar 'Hujjatullah', 'Hujjatul Islam', atau
'Ayatullah?"
Beliau menjawab, "Gelar-gelar ini, yaitu Hujjatullah dan Hujjatul
Islam adalah gelar-gelar yang baru; tidak pantas ditujukan kepada seseorang,
karena tidak ada hujjah Allah bagi hamba-hamba-Nya selain para rasul.
Adapun gelar 'Ayatullah', maka jika maksudnya umum, maka segala sesuatu
terdapat ayat (tanda kekuasaan) Allah sebagaimana dikatakan,
"Pada segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan
bahwa Dia Mahaesa."
Tetapi jika maksudnya adalah ayat yang luar biasa, maka hal ini tidak
tertuju selain kepada mukjizat yang Allah tunjukan melalui para rasul.
Kepada manusia gelarnya hanyalah alim (Ahli Ilmu), mufti (Ahli Fatwa),
Qadhi, hakim, atau imam, jika ia memang berhak menyandang gelar tersebut."
Hukum Menggabung Niat Dalam Satu Shalat
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Wahai Syaikh, apa
hukum menggabung shalat sunah wudhu, shalat sunat rawatib, dan shalat sunah
Tahiyyatul Masjid dalam shalat dua rakaat, apakah seseorang memperoleh pahala
enam rakaat atau tidak?”
Ia menjawab, “Kita berharap dia memperoleh kebaikan ini, yakni apabila dia
shalat dua rakaat setelah wudhu dan masuk masjid lalu ia shalat dengan niat
shalat sunah wudhu, shalat sunah Tahiyyatul Masjid, dan shalat sunah rawatib,
misalnya rawatib Zhuhur, maka kita berharap Allah mencatat untuknya semua
kebaikan itu. Hal itu, karena dua rakaat disyariatkan untuk tahiyyatul masjid,
untuk shalat sunah wudhu, dan untuk rawatib sebelum Zhuhur. Dan shalat sunah
rawatib sebelum Zhuhur berjumlah empat rakaat dimana ia melakukan salam pada
setiap dua rakaat. Oleh karena itu, apabila seseorang berniat melakukan shalat
sunah rawatib, shalat Tahiyyatul Masjid, dan shalat sunah wudhu, maka kita
berharap agar Allah menghimpun untuknya kebaikan itu, dan aku tidak mengetahui
adanya larangan terhadap hal itu.”
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Masuknya beberapa ibadah ke
dalam satu ibadah merupakan bab mulia yang tidak diketahui kecuali oleh orang
yang jujur dalam mencari (ilmu), mendalami ilmu, dimana ia masuk ke dalam suatu
ibadah namun ia mendapatkan berbagai ibadah lainnya. Yang demikian adalah
karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al
Fawaid hal. 363)
Syaikh As Sa’diy rahimahullah berkata, “Termasuk nikmat Allah adalah
bahwa satu amal dapat menduduki beberapa amal. Oleh karena itu, apabila
seseorang masuk masjid saat tiba shalat sunah rawatib lalu shalat dua rakaat,
dimana ia berniat sebagai shalat sunah rawatib dan tahiyyatul masjid, maka dia
akan memperoleh keutamaan keduanya. Demikian pula ketika ikut bergabung shalat
sunah wudhu dengan kedua shalat sunah itu atau salah satunya, atau dengan
shalat istikharah, atau shalat sunah lainnya.” (Al Qawa’id wal Ushul Al
Jami’ah hal. 90).
Dalam kitab At Tadakhul bainal Ahkam karya Syaikh Khalid Al Khusylan
hal. 407 dijelaskan, bahwa keadaan ibadah yang saling masuk satu sama lain ada
beberapa macam:
1. Saling memasuki antara shalat sunah yang dimaksudkan dengan shalat sunah
yang tidak dimaksudkan, seperti bergabung antara shalat sunah qabliyyah
(sebelum) fajar dengan shalat Tahiyyatul masjid, maka hal ini boleh.
2. Saling memasuki antara dua shalat sunah yang tidak dimaksudkan, seperti
shalat sunah Tahiyatul masjid dengan shalat sunah wudhu. Hal ini juga boleh
meskipun banyak niatnya.
3. Saling memasuki antara dua shalat sunah yang dimaksudkan, seperti
menggabung shalat sunah rawatib Zhuhur qabliyyah dan ba’diyyah, maka hal ini
terlarang.
Hukum Nada Dering Musik
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr hafizhahullah pernah ditanya, “Adakah
nasehat dari Anda untuk orang-orang yang menggunakan suara musik untuk nada
dering Hp mereka padahal mereka bisa menggantinya?”
"Wajib bagi seseorang untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Ketika
dirinya menggunakan alat ini yang maksudnya agar memperoleh manfaat darinya,
maka hendaknya ia berhati-hati untuk menambah sesuatu yang haram atau
menjadikannya haram, seperti menggunakan nada dering musik untuk Hpnya. Karena
hal ini tidak boleh, dan hal ini jadi lebih fatal lagi ketika berbunyi di
masjid, padahal seharusnya manusia ketika berada di masjid berusaha untuk
menutup Hpnya. Ketika terdengar musik, maka dalam berbagai keadaan menjadi
haram, akan tetapi lebih parah dan haram lagi ketika suara buruk itu terdengar
di masjid, karena itu sama saja keburukan ditambah dengan keburukan dan musibah
ditambah dengan musibah." (Syarh Sunan Abi Dawud, kajian seri-560)
Hukum Tato Ketika Masih ada Bekasnya
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Mentato badan adalah haram
berdasarkan hadits yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa
Beliau melaknat wanita yang menyambung rambut dan meminta untuk disambung,
wanita yang mentato dan yang minta ditato. Jika seorang muslim telah
melakukannya karena tidak tahu keharamannya atau dibuatkan tato untuknya ketika
kecil, maka ia harus menghilangkannya setelah mengetahui keharamannya. Akan
tetapi jika menghilangkannya sulit atau menimbulkan bahaya, maka cukup
bertaubat dan beristighfar, dan tidak mengapa masih ada bekasnya di badan.” (Majmu
Fatawa 10/44)
Hukum Bermain Catur
Al Khalili rahimahullah dalam fatwanya berkata, “Adapun bermain
catur maka yang dinyatakan dalam mazhab kami yakni Mazhab Syafi'i, bahwa
hukumnya makruh dengan makruh tanzih (sekadar makruh) akan tetapi para imam
yang tiga berpendapat haram, yang menghalalkannya menurut kami jika bermainnya sambil
menganggapnya halal. Jika menganggap haram, maka haram juga hukumnya; karena
yang demikian dapat membantu maksiat, demikian pula dengan syarat tidak ada
harta yang dikeluarkan dari kedua belah pihak. Jika demikian, maka itu menjadi
judi yang diharamkan secara ijma."
Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Adapun bermain catur menurut
mazhab kami adalah makruh; tidak haram demikian yang diriwayatkan dari jamaah
para tabiin. Imam Malik dan Ahmad berpendapat haram. Imam Malik berkata,
"Bermain catur lebih buruk daripada bermain dadu, dapat membuat lalai dari
kebaikan." Mereka mengqiyaskan dengan dadu, namun kawan-kawan kami -yang
semadzhab- menolak jika hal itu diqiyaskan (dengan bermain dadu), mereka
mengatakan, bahwa bermain catur bukan bermain dadu. (Syarh Shahih Muslim
juz 15 hal. 15)
Al Hafiz -setelah menyebutkan hukum bermain dadu- berkata, "Para ulama
berbeda pendapat tentang hukum bermain catur. Sebagian mereka berpendapat mubah
karena dapat membantu urusan perang, di antara mereka adalah Said bin Jubair
dan Asy Sya'biy, namun dengan tiga syarat: tidak ada perjudian, tidak
melalaikan dari waktu shalat, dan menjaga lisannya ketika bermain dari
kata-kata kotor. Imam Syafii menganggap sebagai makruh tanzih. Namun banyak
para ulama yang berpendapat haram seperti dadu. Memang ada beberapa hadits
tentang catur, namun aku tidak tahu ada yang isnadnya shahih atau hasan."
Mikhlad bin Khaddasy pernah bertanya, "Aku pernah bertanya kepada Imam
Malik tentang main catur?" Maka ia balik berkata, "Apakah itu
kebenaran?" Aku menjawab, "Tidak." Beliau menjawab, "Tidak
ada setelah kebenaran selain kesesatan."
(Siyar A'lamin Nubala 8/108)
Jika kita melihat keadaan bermain catur yang kenyataannya membuang-buang
waktu dan menyia-nyiakannya, maka sebaiknya ditinggalkan apalagi oleh para
penuntut ilmu, karena waktu luang sangat berharga bagi mereka.
Hukum Memainkan Petasan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya,
"Apa hukum jual beli dan memainkan petasan?"
Beliau menjawab, "Segala puji bagi Allah Rabbul alamin, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam,
kepada keluarganya, dan para sahabatnya semua.
Menurutku jual-belinya adalah haram, yang demikian karena dua sebab:
Sebab pertama, karena hal itu menyia-nyiakan harta, sedangkan
menyia-nyiakan harta adalah haram karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam
melarangnya.
Kedua, di dalamnya mengganggu
manusia dengan suara yang mengagetkan, bahkan terkadang menimbulkan kebakaran
apabila menimpa sesuatu yang siap terbakar ketika apinya masih nyala dan tidak
dipadamkan.
Karena dua sebab inilah Kami memandang bahwa hukumnya haram dan tidak boleh
menjual belikannya."
(Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, Markaz Dawah wal Irsyad Unaizah
(3/3), Tanggal Fatwa 5/10/1413 H)
Hukum makan dan minum secara terang-terangan bagi orang
yang berbuka karena uzur di bulan Ramadhan
Pertanyaan: “Sebagian wanita berbuka di bulan Ramadhan karena uzur syar’i,
lalu bolehkah bagi mereka makan dan minum secara terang-terangan atau mereka
harus makan secara sembunyi-sembunyi meskipun mengakibatkan makan lebih dari
tiga kali?”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Barang siapa yang berbuka di bulan Ramadhan
karena uzur, maka ia berbuka secara rahasia seperti seorang musafir yang tidak
diketahui sebagai musafir, dan wanita yang tidak diketahui sedang haidh, mereka
makan dan minum secara rahasia agar tidak tertuduh sebagai orang yang
meremehkan puasa dan agar laki-laki tidak tertuduh sebagai orang yang
meremehkan perintah Allah.
Adapun jika berada di tengah-tengah kaum yang mengetahui bahwa dirinya
sebagai musafir, atau si wanita di tengah-tengah wanita yang mengetahui bahwa
wanita ini sedang haidh, maka tidak mengapa makan dan berbuka di tengah-tengah
mereka, karena mereka tahu keadaannya. Demikian pula seorang musafir yang
berada di tengah-tengah kaum yang mengetahui keadannya.
Adapun jika ia makan di tengah-tengah manusia yang tidak mengetahui keadaannya,
maka tidak patut dilakukan, bahkan hendaknya ia bersembunyi agar tidak dituduh
jelek. Demikian pula wanita yang kaumnya yang tidak mengetahui dirinya haidh,
maka hendaknya ia tidak makan dan mnum di tengah-tengah mereka, karena yang
demikian membuatnya tertuduh sebagai orang yang meremehkan perintah Allah dan
dirinya dianggap tidak berpuasa Ramadhan.”
Hukum Parkir Sembarangan atau Memarkir Mobil di Jalan
Umum
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Bahkan ketika engkau
parkir mobil di jalan umum dan membuat manusia kesempitan, maka sama saja
engkau meletakkan gangguan di jalan yang dilalui manusia, dan menyingkirkan hal
itu termasuk bagian dari iman. Jika menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk
keimanan, maka meletakkan gangguan di jalan termasuk kerugian, wal 'iyadz
billah." (Syarh Riyadh Ash Shalihin 4/3)
Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa
Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan Hadidi, M.Pd.I
0 komentar:
Posting Komentar