Tanya-Jawab Masalah Agama (3)

 بسم الله الرحمن الرحيم



Tanya-Jawab Masalah Agama (3)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut tanya jawab berbagai masalah aktual, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

9. Pertanyaan: Assalammualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Afwan ustadz, ana ingin bertanya, ”Apa hukum menerima uang Rp. 600.000 bantuan dari pemerintah melalui bpjs ketenagakerjaan. Untuk menerima uang bantuan tersebut, ana harus mendaftar bpjs ketenagakerjaan iuran perbulan Rp. 10.800. Jadi bolehkah ana mendapat uang itu ust.? Syukron. Jazakumullahu khairan.

Jawab:

Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh. Dalam hal ini ada perincian:

Pertama, jika perusahaan yang mendaftarkan kita ke bpjs dan kita tidak bisa menolaknya, karena pihak perusahaan secara langsung akan memotong gaji kita, di samping perusahan juga mengeluarkan bantuan untuk menutupi biaya bpjs, maka si karyawan hanya berhak mengambil uang senilai gaji yang dipotong dan bantuan dari pihak perusahaan tidak boleh lebih. Adapun bunga atau pertambahan dari depositnya adalah haram karena itu riba, Allah Ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

Kedua, jika diberikan pilihan (mandiri) antara mengikuti atau tidak, dan kita bisa mengambil iuran yang kita serahkan ditambah bunga dari iuran yang kita serahkan, atau terkadang kita tidak bisa mengambilnya kecuali setelah waktu yang ditentukan ditambah bunga yang dihasilkan, dan jika terjadi keterlambatan, akan terkena denda, maka tambahan atau bunga dan denda tersebut juga riba. Sehingga haram hukumnya.

Ketiga, jika iuran kita terhadap sesuatu yang tidak pasti, dimana biaya akan diberikan jika seseorang mendapatkan musibah (seperti asuransi kecelakaan), dan jika tidak, maka tidak akan turun biaya itu serta akan hangus, maka ini terdapat gharar. Sedangkan gharar adalah akad yang tidak jelas akhirnya; ada atau tidak. Dan gharar dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim.

Tetapi jika uang kita diambil untuk hal itu dan kita tidak bisa menolaknya, karena jika kita menolaknya, maka tidak akan diurus milik kita seperti SIM, maka yang menanggung dosa adalah pihak yang mengambilnya, adapun kita maka tidak berdosa.

Keempat,  jika seorang menerima bantuan secara gratis (tanpa membayar iuran apa pun) karena kita sebagai warga tidak mampu, maka tidak mengapa. Wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

10. Pertanyaan: Bismillah, bagaimana hukumnya bekerja sebagai desainer bangunan di developer perumahan yang kemungkinan dia menjualnya dengan sistem kredit (riba)? Contohnya: kita hanya bertugas membuat desain rumahnya saja tanpa ikut campur dalam masalah penjualan propertinya. syukron ustadz.

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Jika kita hanya bekerja sebagai desainer bangunan atau kita diminta mendesain bangunan, maka tidak mengapa kita melakukannya dan menerima upah dari desain bangunan yang kita buat, dan kita tidak mesti bertanya kepada developer apakah nantinya dia akan menjual dengan sistem kredit yang riba atau tidak, kecuali jika kita mengetahuinya. Jika kita mengetahuinya, maka kita ingatkan agar tidak menjualnya dengan cara kredit yang ada ribanya. Jika dia menolak tawaran kita, karena kita sudah mengetahui nantinya akan dilakukan akad secara riba, maka jangan mendesain untuknya, karena Alah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

 “Tolong-menolonglah di atas kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong di atas dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2)

Namun perlu diingat, bahwa pada dasarnya sesuatu yang mubah kita tidak perlu tanyakan untuk apa nantinya, karena hal ini termasuk takalluf (menyusahkan diri).

Demikian pula perlu diketahui batasan ‘membantu perbuatan maksiat’ yaitu ketika:

1. Langsung membantu maksiat dengan niat membantunya, seperti memberikan arak kepada orang yang akan meminumnya dengan niat membantunya.

2.  Langsung membantu maksiat namun tidak ada niat membantunya, seperti menjual barang-barang haram yang sama sekali tidak digunakan untuk hal yang mubah.

3. Bermaksud atau berniat membantu maksiat namun tidak secara langsung, seperti memberikan kepada orang lain uang yang nantinya dibelikan arak olehnya.

Ketiga hal di atas jelas haramnya.

4. Tidak langsung dan tidak bermaksud membantu maksiat seperti orang yang menjual sesuatu yang bisa digunakan untuk yang halal dan yang haram, dan si penjual tidak berniat membantunya mengerjakan maksiat. Misalnya seseorang memberikan uang kepada orang lain tanpa maksud agar dibelikan arak, namun kemudian dibeli arak olehnya, maka tidak ada dosa bagi orang yang memberikan uang itu kepadanya.

Termasuk contoh keempat adalah jual-beli serta melakukan sewa-menyewa dengan orang-orang kafir, fasik, dan bersedekah kepada mereka.

Hal ini diperbolehkan karena tidak langsung membantu maksiat dan tidak berniat membantu maksiat.

Namun dikecualikan dari no. 4 adalah perkara yang telah diketahui atau biasanya digunakan oleh konsumen untuk maksiat. Oleh karena itu, banyak para fuqaha (Ahli Fiqih) yang mengharamkan jual-beli anggur kepada orang yang akan memerasnya menjadi arak, menjual senjata di masa fitnah, meskipun keduanya biasa digunakan untuk yang halal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

 وكل لباس يغلب على الظن أن يستعان بلبسه على معصية فلا يجوز بيعه وخياطته لمن يستعين به على المعصية والظلم ... وكذلك كل مباح في الأصل ، علم أنه يستعان به على معصية

“Setiap pakaian yang menurut perkiraan kuat akan dipakai untuk maksiat, maka tidak boleh dijual kepadanya dan dijahitkan untuknya ketika digunakan untuk maksiat dan kezaliman. Demikian pula sesuatu yang asalnya mubah, namun diketahui akan digunakan untuk maksiat (juga tidak diperbolehkan).” (Syarhul Umdah 4/386)

(Referensi: https://islamqa.info/ar/answers/247586/%D8%B6%D8%A7%D8%A8%D8%B7-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D8%B9%D8%A7%D9%86%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%AD%D8%B1%D9%85%D8%A9-%D8%B9%D9%84%D9%89-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B9%D8%B5%D9%8A%D8%A9 )

Wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

11. Pertanyaan: Bismillah, ustadz, afwan ada yang mau ana tanyakan perihal jenggot.

1. Apa hukumnya memotong jenggot jika dalam instansi semisal kepolisian, karena kan masih tidak boleh memanjangkan jenggot, jadi harus dipotong. Apakah yang seperti ini diperbolehkan? Apakah termasuk udzur syar'i?

2. Apa hukum seseorang memotong jenggot untuk alasan menikah (sebagai syarat dari mempelai wanita karena ia belum siap/keluarganya), apakah boleh dituruti? Apakah ini termasuk udzur syar'i jika dilakukan?

Hal ini bagaimana dalam pandangan Islam khususnya manhaj salaf? Karena ada pertanyaan seperti ini ke ana, mohon dibantu jawab ust. Jazakallah khair, barakallah fiik

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Membiarkan janggut tumbuh hukumnya wajib. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى»

“Selisihilah orang-orang musyrik, potong kumis (yang melewati bibir) dan biarkanlah janggut.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i)

Sehingga mencukur janggut hukumnya haram. Demikian pendapat mayoritas Ahli Ilmu.

Imam Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid berkata, “Haram mencukur janggut.”

Syaikh Ali Mahfuzh salah seorang ulama Al Azhar berkata, “Madzhab yang empat sepakat wajibnya melebatkan janggut dan haram mencukur habis.” (Al Ibda’ fi Madhaarril Ibtida’)

Adapun memotong janggut melebihi segenggam, maka mayoritas  Ahli Fiqih membolehkannya dan tidak menganggap makruh. Bahkan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushannaf, bahwa memotong janggut melebihi segenggam telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdulah bin Umar bin Khaththab, Thawus, dan Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.”

Atha bin Abi Rabah berkata, “Mereka (kaum salaf) suka membiarkan janggut kecuali dalam haji dan umrah.”

Al Hasan berkata, “Mereka memberikan keringanan memotong janggut melebihi segenggam.”

Dengan demikian, mencukur habis janggut hukumnya haram. Kalau pun hendak dipotong, maka hanya yang lebih dari segenggam. Oleh karena itu, ketika ada permintaan untuk mencukur habis, maka bisa ditolak permintaan itu karena permintaan itu maksiat, dimana tidak ada ketaatan kepada makhluk kalau isinya maksiat, dan alas an di atas tidak termasuk uzur syar’i. kita hanya boleh memotong melebihi segenggam tanpa menghabiskannya.

Untuk pertanyaan kedua juga sama seperti jawaban sebelumnya, yakni kita tidak boleh mencukur janggut ketika diminta oleh mempelai wanita, dan bisa disampaikan kepadanya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang melarang mencukur habis janggut, dan hal ini bukan termasuk uzur syar’i, wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

12. Pertanyaan: Assalamu 'alaikum Ustadz. Ijin bertanya. Saya dapat fasilitas COP (Car Ownership Program) dari perusahaan, yang cicilannya dipotong setiap bulan dari gaji dengan porsi 25% dari nilai barang. Namun PT kami menunjuk pihak leasing untuk pengadaan. Periode 5 tahun. Apabila kami resign sebelum 5 tahun  ada opsi tebus barang atau opsi bayar penalti. Status STNK nama leasing. Biaya maintenance dan lain-lain ditanggung leasing. Kami perjanjian dengan HRD PT namun isinya menyetujui perjanjian dengan leasing. Apakah seperti ini dibolehkan? Jazakallahu khoiron

Jawab: Wa alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد :

Setelah memperhatikan pertanyaan di atas yang intinya pihak perusahaan menunjuk pihak leasing untuk pengadaan barang sehingga akad dialihkan kepada leasing. Sedangkan pihak leasing biasanya memberlakukan beberapa akad yang ternyata bertentangan dengan Islam, yaitu:

Pertama, adanya dua akad dalam satu perjanjian leasing, yaitu akad sewa-menyewa dan akad jual beli. Hal ini dilarang karena ada hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa salam melarang dua kesepakatan dalam satu transaksi.” (Hr. Ahmad, dan dinyatakan shahih lighairih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)

Kedua, karena adanya bunga dalam sistem leasing ini, sedangkan bunga sendiri adalah riba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

Ketiga, adanya denda jika terjadi keterlambatan dalam membayar yang juga merupakan riba.

Keempat,  adanya jaminan dalam perjanjian leasing yang tidak sah karena menggunakan jaminan pada barang yang dijual-belikan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Tidak halal jual beli sambil meminta pinjaman, dua syarat dalam jual beli, keuntungan yang belum ditanggung (seperti menjual barang yang baru dibeli namun belum diterima), dan menjual barang yang tidak dimiliki olehmu.” (Hr. Ahmad, dan dinyatakan isnadnya hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)

Sehingga karena sistem leasing seperti di atas menjadikan tidak boleh diikuti.

Wallahu a’lam.

Wa billahit taufiq wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan Hadidi, M.Pd.I

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger