Mengenal Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah

بسم الله الرحمن الرحيم
Mengenal Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan tentang Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah akidah yang dianut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Siapa saja yang menyelisihi akidah mereka, sama saja menyiapkan dirinya untuk menerima sanksi dari Allah Azza wa Jalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang perpecahan yang akan terjadi di tengah-tengah umatnya, dimana umatnya akan terpecah belah menjadi 73 golongan, lalu Beliau bersabda,
كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
 “Semuanya di neraka kecuali satu golongan saja, yaitu Al Jama’ah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari hadits Mu’awiyah, dan diriwayatkan pula oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan Ibnu Abi Ashim dari hadits Anas. Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 204)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati Al Jama’ah ini dengan sabdanya,
«مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي»
“Yaitu orang-orang yang berada di atas (jalan) aku hari ini dan (jalan) para sahabatku.” (HR. Al Ajurriy dalam Asy Syari’ah dari Abdullah bin Amr, Thabrani dalam Ash Shaghir dan Al Awsath dari hadits Anas bin Malik. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5343).
Inilah batasan Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu berpegang dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum). Hal ini ditunjukkan oleh hadits Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Saya wasiatkan kamu untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kamu meskipun yang memimpin adalah seorang budak. Karena barang siapa yang hidup di antara kamu (setelah ini), maka ia akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham, dan jauhilah perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.“ (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dia berkata, "Hasan shahih.").
Ringkasan Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah
Berikut ini ringkasan Akidah Ahlussunnnah wal Jama’ah yang kami ringkas dari kitab Al Mu’taqad Ash Shahih karya Dr. Abdussalam bin Barjas Al Abdul Karim rahimahullah:
1.      Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah Rabbul alamin (yang sendiri menciptakan, menguasai, memberi rezeki, mengurus, dan mengatur alam semesta). Allah Azza wa Jalla berfirman,
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al Fatihah: 2)
Oleh karena Dia sebagai Rabbul alamin, maka Dia sajalah yang berhak untuk disembah dan ditujukan berbagai macam bentuk ibadah seperti doa, tawakkal, ruku dan sujud, nadzar, berkurban, dan lain-lain. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,” (QS. Al Baqarah: 21)
Barang siapa yang mengarahkan ibadah kepada selain-Nya, maka berarti dia telah berbuat syirk dan melakukan dosa yang paling besar yang menyebabkannya berhak mendapatkan azab. Allah Azza wa Jalla berfirman,
فَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ
“Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) Tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab.” (QS. Asy Syu’ara: 213).
2.      Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan nama-nama dan sifat bagi Allah Ta’ala mengikuti penetapan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa meniadakan, dan tanpa menambah atau mengurangi, tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya, tanpa menakwil maknanya kepada makna lain, dan tanpa menanyakan hakikatnya bagaimana. Di antara sifat Allah adalah bersemayam di atas Arsyi-Nya (lihat QS. Thaahaa: 5), kita mengetahui maknanya dan kita serahkan kaifiyat bersemayamnya kepada Allah Ta’ala. Demikian pula di antara sifat-Nya adalah mendengar dan melihat, kita tetapkan sifat itu, kita ketahui maknanya, dan kita serahkan kaifiyat mendengar dan melihat kepada Allah Ta’ala. Allah Azza wa Jalla berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. Asy Syura: 11).
3.      Ahlussunnah wal Jama’ah beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan beriman kepada takdir.
Beriman kepada Allah mencakup beriman kepada wujud-Nya, beriman bahwa Dia Rabbul alamin dan bahwa Dia saja yang berhak disembah, serta beriman kepada nama-nama dan sifat-Nya.
Beriman kepada malaikat mencakup beriman kepada wujud mereka dan beriman kepada hal-hal lain yang disampaikan kepada kita, seperti nama-nama mereka, sifat-sifat mereka, dan tugas-tugas mereka. Jika tidak disebutkan secara rinci, maka kita beriman kepada mereka secara ijmal (garis besar).
Beriman kepada kitab-kitab mencakup beriman bahwa kitab-kitab itu turun dari sisi Allah Azza wa Jalla dan bahwa kitab-kitab itu adalah firman Allah bukan makhluk, demikian pula mengimani isinya, dan bahwa setiap umat wajib tunduk mengikuti kitab yang diturunkan kepada mereka, dan bahwa kita-kitab itu satu sama lain saling membenarkan. Demikian pula mengimani, bahwa penasakhan (penghapusan) sebagian kitab dengan kitab yang lain adalah hak (benar), sebagaimana dimansukh sebagian syariat yang ada dalam Taurat dengan Injil, dan sebagaimana kitab-kitab samawi sebelum Al Qur’an telah dimansuk oleh Al Qur’an. Beriman kepada kitab-kitab Allah bisa secara rinci, yakni jika disebutkan rinci, bisa secara ijmal, jika disebutkan secara garis besar. Demikian pula kita meyakini bahwa Al Qur’an adalah kitab samawi terakhir yang menasakh (menghapus) kitab-kitab sebelumnya, diturunkan untuk jin dan manusia, mencakup semua yang dibutuhkan manusia dalam masalah agama maupun dunia, dan terpelihara dari adanya perubahan.
Beriman kepada rasul mencakup beriman bahwa setiap umat telah diutus oleh Allah rasul untuk mengajak kepada tauhid (mengesakan Allah) dan melarang syirk, dan bahwa semua rasul adalah orang-orang yang jujur; tidak berdusta, dan bahwa mereka telah menyampaikan risalahnya. Di antara nabi dan rasul ada yang disebutkan secara rinci, maka kita imani secara rinci, dan jika disebutkan secara ijmal, maka kita imani secara ijmal. Kita juga wajib mengimani, bahwa para rasul adalah manusia dan sebagai hamba, dan kita juga meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan rasul; tidak ada lagi nabi setelahnya. Barang siapa yang kafir kepada seorang rasul, maka sama saja kafir kepada semua rasul. Beriman kepada rasul juga menghendaki kita untuk mengikuti rasul yang diutus kepada kita.
Beriman kepada hari Akhir mencakup beriman kepada adanya kebangkitan setelah mati, beriman kepada pengumpulan manusia di padang mahsyar, beriman kepada syafat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beriman kepada penghisaban amal manusia, penimbangan amal mereka, beriman kepada adanya shirat (jembatan yang dibentangkan di atas neraka Jahannam), dan beriman kepada surga dan neraka.
Beriman kepada takdir mencakup beriman bahwa Allah Azza wa Jalla telah menetapkan takdir semua makhluk, dan bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Dan bahwa semua yang terjadi telah diketahui Allah, dicatat-Nya, dikehendaki-Nya, dan diciptakan-Nya. Kita juga harus meyakini, bahwa hamba memiliki kemampuan dan kehendak terhadap amal mereka, Allah yang menciptakan mereka dan menciptakan kemampuan, kehendak, ucapan, dan amal mereka. Ucapan dan perbuatan yang muncul dari mereka disandarkan kepada mereka secara hakiki, dan di sanalah letak pembalasan. Kita juga meyakini, bahwa takdir tidaklah menghalangi untuk beramal dan tidak pula mengharuskan seseorang untuk bersandar. Takdir juga punya sebab yang mengantarkan kepadanya, sebagaimana nikah sebab seorang punya anak, demikian pula amal saleh sebab seseorang masuk surga.
4.      Ahlussunnah wal Jama’ah meyakini bahwa iman itu ucapan di lisan (seperti mengucapkan dua kalimat syahadat), keyakinan di hati (seperti membenarkan kalimat syahadat), dan pengamalan dengan anggota badan. Iman dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
5.      Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, bahwa tidak ada amalan yang jika ditinggalkan mengakibatkan kufur selain shalat. Oleh karena itu, barang siapa yang meninggalkan shalat secara mutlak, maka dia kafir. Abdullah bin Syaqiq berkata, “Para sahabat tidaklah memandang suatu amal yang jika ditinggalkan kafir selain shalat.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi).
6.      Mengkafirkan seeorang adalah hak Allah. Oleh karena itu, tidak boleh seseorang dikafirkan kecuali jika dikafirkan Allah dan Rasul-Nya, atau kaum muslim sepakat mengkafirkannya. Oleh karena itu, barang siapa yang mengkafirkan seseorang bukan karena kekafiran yang disebutkan dalam Al Qur’an, As Sunnah, atau ijma’, maka dia berhak mendapatkan sanksi berat karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa menuduh kafir kepada seorang mukmin seperti membunuhnya (Sebagaimana dalam Shahih Bukhari).
Kekafiran bisa terjadi karena ucapan kufur, perbuatan kufur, atau keyakinan kufur, dan tidak termasuk syarat kufur istihlal (meyakini halal).
7.      Ada perbedaan antara takfir (pengkafiran) secara umum dan takfir mu’ayyan (perorangan). Takfir yang umum seperti ancaman yang umum, maka harus dimutlakkan dan diberlakukan secara umum. Adapun takfir mu’ayyan harus terpenuhi syarat dan hilangnya penghalang.
8.      Ahlussunnah wal Jama’ah meyakini bahwa semua dosa selain syirk tidaklah mengeluarkan seseorang dari Islam kecuali jika dia meyakini halalnya. Dan bahwa semua dosa selain syirk tidaklah mengekalkan pelakunya di neraka. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisaa’: 48)
Berdasarkan ayat ini, maka keadaan pelaku dosa di bawah kehendak Allah, jika Dia menghendaki, maka Dia memaafkan, dan jika Dia menghendaki, maka Dia mengazabnya di neraka, kemudian Dia mengeluarkannya karena tauhidnya.
9.      Lafaz kufur, syirk, zhalim, fasik, dan nifak dalam nash-nash syara’ terbagi dua: Pertama, akbar (besar) yang dapat mengeluarkan dari Islam karena menafikan dasar agama secara keseluruhan. Kedua, ashghar (kecil) yang menafikan kesempurnaan iman dan tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam.
10.  Ahlusunnah wal Jama’ah mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berwala (loyal) kepada mereka, mendoakan radhiyallahu ‘anhu untuk mereka, memintakan ampunan untuk mereka, dan memuji mereka.
11.  Ahlusunnah wal Jama’ah menyatakan, bahwa orang yang terbaik dari umat ini adalah Abu Bakar, lalu Umar, kemudian Utsman, lalu Ali –semoga Allah meridhai mereka-.
12.  Ahlusunnah wal Jama’ah mencintai Ahlul bait (keluarga) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengakui keutamaan dan kelebihan mereka. Dan termasuk Ahlu bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri-istri Beliau. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33)
Dalam ayat ini Allah menyebut istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ahlul Bait.
13.  Ahlusunnah wal Jama’ah meyakini adanya karamah bagi para wali. Wali Allah menurut mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa; mereka mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Allah berfirman,
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ-- الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ
“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.--(yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)
14.  Ahlusunnah wal Jama’ah meyakini bahwa Allah mewajibkan kaum mukmin menaati waliyyul amri (penguasa/pemerintah) dalam hal yang bukan maksiat. Mereka juga meyakini haramnya keluar dan mengadakan pemberontakan terhadap penguasa meskipun mereka zalim selama mereka tidak melakukan kekafiran yang jelas dalilnya.
15.  Ahlusunnah wal Jama’ah meyakini bahwa mendoakan kebaikan bagi waliyyul amri termasuk perkara yang dipuji dan ditekankan. Al Fudhail bin Iyadh berkata, “Kalau sekiranya aku memiliki doa (yang mustajab), maka aku tidak jadikan kecuali untuk penguasa.” Yang demikian, karena jika mereka baik, maka hal itu buat kebaikan mereka dan kaum muslimin.
16.  Ahlusunnah wal Jama’ah melarang berdebat dalam masalah agama, yakni berdebat dalam hal yang batil, memperdebatkan kebenaran setelah jelas, memperdebatkan masalah yang tidak diketahui oleh pendebat, berdebat dalam ayat-ayat mutasyabihat, atau berdebat tanpa ada niat baik, dsb.
Imam Ahmad berkata, “Pokok-pokok As Sunnah menurut kami adalah berpegang dengan apa yang dipegang para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah, dan bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Demikian pula meninggalkan pertikaian dan duduk-duduk dengan Ahli Hawa (Ahli Bid’ah), serta meninggalkan berbantah-bantahan dan berdebat serta bertikai dalam hal agama.”
Adapun jika berdebat dilakukan untuk menampakkan kebenaran, seperti yang dilakukan seorang ulama dan niatnya baik serta memperhatikan adab-adabnya, maka hal tersebut termasuk hal yang terpuji, Allah berfirman,
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl: 125)
17.  Ahlusunnah wal Jama’ah memperingatkan untuk tidak duduk bersama Ahlul bid’ah.
Ibnu Taimiyah berkata, “Bid’ah yang seseorang termasuk Ahlul Ahwa’ adalah yang masyhur menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah menurut orang yang mengerti Sunnah, seperti bid’ahnya Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah, dan Murji’ah.”
Ibnu Abbas berkata, “Janganlah duduk-duduk bersama Ahli Hawa (Bid’ah), karena duduk bersama mereka dapat membuat hati menjadi sakit.”
Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya. Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa Muhammad wa 'alaa ahlihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji': Al Mu’taqad Ash Shahih (Dr. Abdussalam bin Barjas Al Abdul Karim), Silsilatul Ahaditsish Shahihah (M. Nashiruddin Al Albani), Minhajul Firqatin Najiyah (M. Bin Jamil Zainu), Mausu’ah Ruwathil hadits dan Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li abhatsil Qur’ani was Sunnah), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger