Pemimpin Wanita Dunia dan Akhirat (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Ringkasan Kisah
Pemimpin Wanita Dunia dan Akhirat (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan kisah singkat 4 pemimpin wanita dunia dan akhirat, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Fathimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikaruniakan tujuh anak; tiga laki-laki dan empat perempuan. Anak-anaknya yang laki-laki adalah Ibrahim, Al Qasim, dan Abdullah. Sedangkan anak-anaknya yang perempuan adalah Ummu Kultsum, Ruqayyah, Zainab, dan yang paling kecil adalah Fathimah. Semua anak-anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di masa Beliau hidup selain Fathimah yang wafat enam bulan setelah Beliau wafat, dalam usia 29 tahun.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang Fathimah radhiyallahu ‘anha,
«فَاطِمَةُ بَضْعَةٌ مِنِّي، فَمَنْ أَغْضَبَهَا أَغْضَبَنِي»
“Fatimah belahan jiwaku, siapa yang membuatnya marah, sama saja membuatku marah.” (HR. Bukhari, dalam sebuah riwayat disebutkan, “Siapa yang menyakitinya, maka sama saja menyakitiku.”)
Meskipun usia Fathimah hanya sampai 29 tahun, namun ia bisa menjadi salah seorang pemimpin wanita dunia.
Fathimah memiliki akhlak yang mulia, ia adalah wanita yang berbakti kepada ayahnya, bersabar bersama suaminya, mampu mendidik anak-anaknya, dan taat kepada Allah Tuhannya.
Adapun contoh berbaktinya kepada ayahnya adalah, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dekat Baitullah dan dalam keadaan sujud, lalu Uqbah bin Abi Mu’aith mengambil kulit ari hewan dan meletakkannya di punggung Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil ditertawakan oleh kaum kafir Quraisy, maka Fathimah datang menyingkirkan kulit ari itu dari punggung ayahnya.
Pada saat perang Uhud, ayahnya terluka, maka Fathimah segera mengurusnya, membasuh lukanya, serta menambal lukanya sehingga darahnya tidak mengalir.
Ketika ayahnya datang, maka Fathimah menciumnya dan mendudukkannya di tempat duduknya.
Fathimah juga hadir mendampingi ayahnya ketika berdakwah, dan ikut merasakan penderitaan bersama ayahnya ketika kaum Quraisy memboikotnya dan ketika ayahnya kehilangan istrinya, dan pada saat ayahnya berhijrah ke Madinah. Meskipun begitu ia terus membantu ayahnya dan mengurusnya selaku anak yang berbakti kepadanya.
Contoh kesabarannya bersama suaminya adalah ketika tiga saudarinya menikah dengan orang yang kaya, -yaitu Zainab dengan Abul ‘Ash bin Ar Rabi’, Ruqayyah dan Ummu Kultsum dengan dua putera Abu Lahab sebelum Nabi shallallahu alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi, lalu ketika Beliau diangkat menjadi nabi, keduanya ditalak oleh suaminya, kemudian Ruqayyah dinikahi oleh Utsman, dan setelah Ruqayyah wafat, maka Ummu Kultsum dinikahi oleh Utsman-, sedangkan Fathimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pemuda yang fakir. Saat ayahnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada menantunya, Ali bin Abi Thalib tentang apa yang ada padanya, maka Ali memberitahukan, bahwa pada sisinya ada sebuah baju besi yang harganya tidak lebih dari 400 dirham, maka Beliau menikahkannya dengan Fathimah dengan baju besi itu.
Saat Fathimah masuk ke rumah suaminya, ternyata di dalamnya hanya ada pakaian khamilah (beludru), sebuah bantal, penggilingan, dua tempat minum, dan sedikit wewangian. Ia tidak memiliki pembantu, sehingga ia sendiri yang memutar penggilingan hingga tangannya melepuh, dan yang sendiri mengurus rumahnya.
Suatu hari ia meminta kepada ayahnya agar diberikan seorang pembantu, tetapi ayahnya tidak memberikan, dan mengajarkan kepadanya untuk bertasbih kepada Allah setiap hari sebelum tidur 33 x, bertahmid 33 x, dan bertakbir 34 x. Beliau menjelaskan, bahwa hal itu lebih baik daripada seorang pembantu (sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari).
Demikianlah Fathimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia seorang yang berbakti kepada ayahnya, sabar bersama suaminya, dan siap mendidik anaknya. Oleh karenanya, anak hasil didikannya dengan izin Allah Ta’ala ternyata menjadi pemimpin pemuda surga, yaitu Al Hasan dan Al Husain.
Fathimah juga wanita yang sangat taat kepada Allah dan menjaga dirinya. Kitab-kitab tarajim (biografi) menyebutkan, bahwa ketika tiba ajal Fathimah, maka ia berkata kepada Asma’ binti Umais, “Wahai Asma, aku menganggap buruk apa yang dilakukan terhadap kaum wanita (yang meninggal dunia), yaitu dihamparkan kain ke atasnya, sehingga menyifati tubuhnya.” Asma’ berkata, “Wahai puteri Rasulullah, maukah engkau aku perlihatkan sesuatu yang aku lihat di tanah Habasyah, lalu ia meminta dibawakan pelepah kurma yang basah, kemudian ia membengkokkannya, lalu meletakkan kain di atasnya.” Maka Fathimah berkata, “Alangkah baik dan indahnya ini. Oleh karena itu, jika aku mati, maka mandikanlah olehmu dan oleh Ali, namun jangan memasukkan seorang pun yang lain kepadaku.”
Khadijah binti Khuwailid
Khadijah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang terhormat sehingga mendapat tempaan akhlak yang mulia, sifat yang tegas, penalaran yang tinggi, dan mampu menghindari hal-hal yang tidak terpuji sehingga kaumnya pada masa jahiliyyah menyebutnya dengan Ath Thahirah (wanita yang suci).
Khadijah adalah orang pertama yang menyambut seruan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tetap membenarkan, menghibur, dan membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat semua orang mendustakan dan mengucilkan Beliau.
Khadijah telah mengorbankan seluruh hidupnya, jiwa, dan hartanya untuk kepentingan dakwah di jalan Allah. Ia rela melepaskan kedudukannya yang terhormat di kalangan kaumnya dan ikut merasakan embargo yang dikenakan kepada keluarganya.
Pribadinya yang tenang membuatnya tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan mengikuti pendapat penduduk negerinya yang menganggap Muhammad sebagai orang yang telah merusak tatanan dan tradisi bangsanya. Oleh karena keteguhan hati dan keistiqamahannya dalam beriman inilah Allah berkenan menitipkan salam-Nya melalui malaikat Jibril untuk Khadijah dan menyiapkan sebuah rumah baginya di surga.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu ia berkata,
" أَتَى جِبْرِيلُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: هَذِهِ خَدِيجَةُ قَدْ أَتَتْ مَعَهَا إِنَاءٌ فِيهِ إِدَامٌ، أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ، فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنْ رَبِّهَا وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ لاَ صَخَبَ فِيهِ، وَلاَ نَصَبَ "
“Malaikat Jibril pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, ini Khadijah datang membawa bejana berisi lauk pauk, makanan, atau minuman. Jika ia tiba, maka sampaikanlah salam dari Tuhannya, dan dariku, serta berikanlah kabar gembira kepadanya dengan rumah di surga dari permata; tidak ada kegaduhan di dalamnya dan tidak ada kepayahan.” (HR. Bukhari)
Tingginya keimanan Khadijah dan kemuliaan akhlaknya sangat membekas di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga Beliau sering menyebut-nyebut kebaikannya meskipun ia telah wafat. Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir tidak pernah keluar dari rumah sehingga Beliau menyebut kebaikan Khadijah dan memujinya setiap hari sehingga aku menjadi cemburu. Maka aku berkata, “Bukankah ia seorang wanita tua yang Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik untuk engkau?” Maka Beliau marah sampai berkerut dahinya kemudian bersabda, “Tidak! Demi Allah, Allah tidak memberiku ganti yang lebih baik darinya. Sungguh ia telah beriman di saat manusia mendustakanku, menolongku dengan hartanya di saat manusia menjauhiku, dan dengannya Allah mengaruniakan anak kepadaku dan tidak dari istri yang lain.” Aisyah berkata, “Maka aku berjanji untuk tidak menjelek-jelekkannya selama-lamanya.”
Khadijah wafat pada tahun ke-10 dari kenabian atau 3 tahun sebelum hijrah, dan pada tahun itu wafat pula paman Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abu Thalib, sehingga tahun wafatnya Khadijah dan Abu Thalib disebut ‘Amul Huzn  (tahun kesedihan).
Asiyah binti Muzahim
Ia adalah istri dari seorang penguasa yang zalim, yaitu Fir’aun la’natullah ‘alaih. Qatadah berkata, “Fir’aun adalah manusia yang paling angkuh di muka bumi. Demi Allah, kekafiran suaminya tidaklah memadharatkan istrinya ketika ia taat kepada Tuhannya. Yang demikian, agar kalian mengetahui, bahwa Allah Mahabijaksana lagi Maha adil, dia tidak menghukum seseorang kecuali karena dosanya.”
Ibnu Asakir berkata dalam Tarikh Dimasyq, “Asiyah binti Muzahim termasuk wanita pilihan. Ia adalah ibu bagi orang-orang miskin, ia menyayangi mereka, bersedekah kepada mereka dan memberi mereka. Orang-orang miskin masuk menemuinya, dan ia pernah menasihati suaminya, yaitu Fir’aun agar mengikuti Musa, namun ia menolak.”
Akibat dari keimanannya kepada Musa, ia harus rela menerima hukuman dari suaminya. Betapa pun besar kecintaan dan kepatuhan kepada suaminya, namun ternyata di hatinya masih tersedia tempat yang tertinggi yang ia isi dengan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika sebelumnya telah kita ketahui, Fathimah adalah wanita yang bersabar hidup bersama suaminya yang miskin, namun Asiyah bersabar menghadapi sikap suaminya yang kejam.
Surga menjadi tujuan Asiyah sehingga kesulitan dan kepedihan yang ia rasakan di dunia sebagai akibat meninggalkan kemewahan hidup, budaya, dan tradisi leluhur yang menyelisihi syariat Allah ia telan begitu saja. Akhirnya Asiyah meninggal dunia dalam keadaan tersenyum dalam siksaan pengikut Fir’aun.
Dari Abu Hurairah (secara mauquf), bahwa Fir'aun menancapkan patok kepada istrinya empat buah patok; di kedua tangan dan kedua kakinya. Jika para penjaga Fir'aun berpencar darinya, maka para malaikat menaunginya (dari panas matahari). Asiyah berkata, "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam Firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim." Maka Allah menampakkan untuknya rumahnya di surga. (Al Haitsami berkata dalam Al Majma', "Diriwayatkan oleh Abu Ya'la, para perawinya adalah para perawi kitab shahih." Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Mathaalibul 'Aliyah berkata, "Hadits shahih mauquf.").
Pelajaran yang dapat diambil dari 4 pemimpin wania dunia dan akhirat
Ada beberapa pelajaran yang dapat kita aambil dari 4 pemimpin wania dunia dan akhirat, yaitu:
Pertama, berbakti mereka kepada kedua orang tuanya.
Kedua, kesabaran mereka bersama suaminya, ketika suaminya kekurangan.
Ketiga, kesabaran mereka terhadap sikap suaminya, dengan tetap memberikan nasihat.
Keempat, mereka mendidik anak dengan baik.
Kelima, tetap taat kepada Allah, dan tidak menaati makhluk ketika maksiat kepada-Nya.
Selesai, wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Media Informasi Lentera Ummat (PPDI PT JICT), Khairu Nisa’il Alamin (Majdi Fathi As Sayyid), Khutbah Jum’at Khairu Nisa’il Alamin (situs Majlis Ulama Iraq),  dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger