بسم الله الرحمن الرحيم
Keteladanan Kaum Salaf Dalam Berbakti Kepada Kedua Orang
Tua
Segala puji
bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum Salaf dalam berbakti kepada kedua
orang tua yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya
Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil, semoga Allah menjadikan penerjemahan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum Salaf dalam berbakti kepada kedua orang tua
Dari Muhammad bin Sirin ia berkata, “Pada masa pemerintahan Utsman bin
Affan harga pohon kurma mencapai seribu dirham, maka Usamah[i]
menebang pohon kurma dan mencabut umbutnya[ii],
lalu ia berikan kepada ibunya untuk dimakan. Orang-orang bertanya, “Apa yang
menyebabkan engkau melakukan hal itu, padahal engkau tahu harga pohon kurma
telah mencapai 1000 dirham?” Ia menjawab, “Ibuku yang memintanya kepadaku, dan
ia tidaklah meminta sesuatu yang mampu aku lakukan melainkan aku
memberikannya.” (Shifatush Shafwah 1/522)
Dari Abdullah bin Al Mubarak ia berkata, “Muhammad bin Al Munkadir
pernah berkata, “Umar –saudaranya- bermalam melakukan shalat malam, sedangkan
aku bermalam memijit-mijit kaki ibuku. Aku lebih suka menghabiskan malamku
seperti ini dari pada malamnya.” (Shifatush Shafwah 2/143)
Dari Ibnu Aun ia berkata, “Seseorang masuk menemui Muhammad bin Sirin
yang sedang berada di samping ibunya, lalu ia berkata, “Ada apa dengan
Muhammad? Apakah ia mengeluhkan sesuatu?” Orang-orang menjawab, “Tidak sama
sekali, demikianlah keadaannya ketika berada di samping ibunya.” (Shifatush
Shafwah 3/245)
Dari Hisyam bin Hassan, dari Hafshah binti Sirin ia berkata, “Muhammad
(bin Sirin) ketika menemui ibunya, tidak pernah berbicara sempurna dengannya,
karena menghormati ibunya.” (Shifatush Shafwah 3/245)
Dari Ibnu Aun, bahwa ibunya pernah memanggilnya, lalu ia menyambut
panggilan itu dengan suara yang lebih keras dari ibunya, maka ia segera
membebaskan dua orang budak. (Siyar A’lamin Nubala 6/366)
Kesetiaan Hudzail bin Hafshah
Dari Hisyam bin Hassan, ia menceritakan, bahwa Hudzal bin Hafshah
pernah mengumpulkan kayu bakar pada musim panas untuk dikuliti. Ia juga
mengambil bambu dan membelahnya. Hafshah (ibunya) berkata, “Aku sangat senang.
Jika datang musim dingin, ia membawakan tungku dan meletakkannya di belakangku,
sementara aku sendiri berdiam di tempat shalatku. Kemudian dia duduk dan
menyalakan kayu bakar yang telah dikuliti itu dan juga bambu yang telah
dibelah-belah untuk dijadikan bahan bakar sehingga asapnya tidak mengganggu,
tetapi bisa menghangatkan tubuhku. Demikianlah waktu berlalu menurut kehendak
Allah.”
Hafshah melanjutkan, “Sebenarnya ada yang bersedia mencukupi kebutuhannya
kalau ia mau.”
Ia melanjutkan lagi, “Dan kadang kala aku yang ingin mendatanginya,
lalu kukatakan kepadanya, “Nak, kamu bisa pulang dulu ke rumah istrimu.”
Setelah itu aku memberitahukan kepadanya kebutuhannya, lalu aku membiarkannya.”
Hafshah[iii] melanjutkan kisahnya,
“Saat anakku meninggal dunia, Allah memberinya kesabaran yang tinggi, hanya
saja aku merasakan kesedihan yang tidak bisa hilang, yaitu suatu malam, aku
membaca surat An Nahl dan ketika aku sampai pada ayat,
وَلَا تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ
ثَمَنًا قَلِيلًا إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ (95) مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
(96)
“Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang
sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui.--Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang
ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS. An
Nahl: 95-96)
Aku terus mengulang ayat-ayat itu, hingga Allah menghilangkan
kesedihan dari hatiku.”
Hisyam berkata, “Hafshah memiliki seekor unta yang banyak air susunya.
Hafshah mengisahkan, ‘Pada suatu pagi, dia mengirimkan susu kepadaku, lalu
kukatakan, “Nak, kamu tentu tahu bahwa aku tidak meminumnya karena aku sedang
puasa.’ Dia menanggapi ucapanku, “Wahai ibunda Hudzail, sesungguhnya susu yang
paling bagus adalah yang sempat berada di ambing (kantong kelenjar) unta.
Silahkan beri kepada orang yang engkau suka.” (Shifatush Shafwah 4/25)
Doa seorang ibu untuk anaknya
Abdurrahman bin Ahmad menyebutkan dari ayahnya, bahwa ada seorang
wanita yang datang menemui Baqi dan berkata, “Sesungguhnya puteraku ditawan,
dan aku tidak memiliki cara apa pun untuk membebaskannya. Bisakah engkau
menunjukkan kepadaku orang yang dapat menebusnya. Aku sungguh sedih sekali.”
Beliau menjawab, “Bisa. Pergilah dahulu, agar aku dapat mengamati
permasalahannya.”
Kemudian beliau menundukkan kepalanya dan menggerakkan kedua bibirnya
(berdzikr dan berdoa). Setelah beberapa lama berselang, wanita itu telah datang
bersama puteranya. Puteranya bercerita, “Aku tadi dalam tawanan seorang raja.
Ketika saya sedang dipaksa bekerja, tiba-tiba rantai di tanganku terputus.” Ia
menyebutkan hari dan waktu dimana kejadian itu terjadi, ternyata bertepatan
dengan waktu Syaikh Baqi sedang mendoakannya.
Puteranya melanjutkan kisahnya, “Maka petugas penjara itu segera
berteriak, ia melihatku dan terheran-heran, lalu ia memanggil tukang besi dan
kembali merantaiku. Setelah ia merantaiku, aku pun berjalan lagi, tiba-tiba
rantaiku putus lagi. Mereka pun tercengang, kemudian memanggil para pendeta.”
Para pendeta itu berkata, “Apakah engkau memiliki seorang ibu?” Aku menjawab,
“Ya.” Mereka pun berkata, “Mungkin doa ibunya terkabul.”
Peristiwa ini disampaikan oleh Al Hafizh Hamzah As Sahmi, dari Abul
Fath Nashr bin Ahmad bin Abdul Malik, ia berkata, “Aku pernah mendengarkan
Abdurrahman bin Ahmad menceritakan dari ayahnya, lalu ia menuturkan kisah ini.
Namun dalam kisahnya disebutkan, “Mereka berkata, “Allah telah membebaskanmu,
maka tidak mungkin lagi kami merantai dirimu.” Mereka lalu memberikan bekal dan
mengantarkanku pulang.” (Siyar A’lamin Nubala 13/290).
Surat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kepada ibunya yang berada di
Damaskus
Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Ahmad bin Taimiyah kepada ibunda yang berbahagia, semoga Allah
menenteramkan hatinya, melimpahkan karunia-Nya, dan menjadikannya sebagai hamba
dan pengabdi pilihan-Nya.
Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Ananda memuji Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia.
Dia berhak mendapatkan semua pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ananda
meminta-Nya agar Dia melimpahkan shalawat kepada penutup para nabi dan imam
orang-orang yang bertakwa, yaitu Muhammad hamba-Nya dan utusan-Nya, shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Surat ini Ananda tulis karena nikmat Allah yang begitu banyak dan
besar yang Ananda patut mensyukurinya dan meminta lagi karunia-Nya.
Nikmat-nikmat Allah setiap kali datang semakin berkembang dan
bertambah, begitu pula pertolongan-Nya tidak dapat dihitung jumlahnya.
Engkau tahu wahai Ibunda, bahwa keberadaan Ananda di negeri ini
(Mesir) karena perkara penting (mengajarkan agama) yang jika Ananda remehkan
tentu akan timbul penyimpangan dan kerusakan bagi agama dan dunia kita.
Demi Allah, Ananda berada jauh bukan karena pilihan Ananda. Jikalau
burung dapat membawa Ananda terbang, tentu Ananda akan datang kepada Ibunda.
Namun Ibunda, ketidakhadiran Ananda di sisi ibunda ada sebabnya, dan jika
ibunda melihat keadaan yang sebenarnya, tentu ibunda akan memilihkan bagi Ananda
tempat yang sama sebagaimana ananda berada sekarang.
Sungguh ibunda, Ananda selalu berdoa kepada Allah untuk menunjuki
pilihan yang tepat buat Ananda dan buat Bunda. Doakanlah wahai Bunda, pilihan
yang tepat buat Ananda, dan Ananda terus berdoa kepada Allah meminta
pilihan-Nya yang terbaik buat Ananda, Ibunda, dan kaum muslimin.
Allah telah membukakan buat Ananda pintu-pintu kebaikan, rahmat,
hidayah, dan keberkahan yang belum pernah disangka sebelumnya, dalam keadaan
selalu ingin pulang (ke pangkuanmu ibunda), Ananda pun beristikharah kepada
Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Ananda tidak akan mengutamakan kesenangan dunia daripada dekat di sisi
bunda, bahkan ananda tidak akan mengutamakan urusan agama jika dekat dengan
ibunda ternyata lebih baik bagi Ananda (di sisi-Nya).
Akan tetapi, ternyata ada beberapa urusan besar yang Ananda
khawatirkan bahayanya baik secara khusus maupun secara umum jika Ananda abaikan.
Tentu yang hadir mengetahui hal yang tidak disaksikan oleh yang tidak hadir.
Ananda ingin bunda banyak berdoa kepada Allah menetapkan pilihan untuk
Ananda, karena Dia mengetahui sedangkan kita tidak mengetahui, Dia berkuasa,
dan kita tidak berkuasa, dan Dia Maha Mengetahui yang gaib. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri bersabda, “Termasuk kebahagiaan anak cucu Adam
adalah ketika ia meminta pilihan kepada Allah dan ridha terhadap pembagian-Nya,
sedangkan termasuk kesengsaraannya adalah ketika tidak beristikharah kepada-Nya
dan benci terhadap pembagian-Nya.” [iv]
Seorang pedagang dalam perjalanannya mungkin takut kehilangan sebagian
hartanya. Oleh karena itu, ia menetap di sebuah tempat agar dapat melanjutkan
lagi perjalananannya. Permasalahan yang Ananda hadapi di sini begitu besar dan
sulit dijabarkan, tidak ada daya dan upaya untuk menyelesaikannya kecuali dengan
pertolongan Allah dan taufik-Nya.
Wassalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Salam ini juga tertuju kepada semua saudara Ananda yang ada di rumah,
baik yang sudah besar maupun masih kecil, tetangga, dan teman-teman, walhamdulillahi
Rabbil alamin. Wa shallalahu ‘ala Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa
sallama taslima. (Majmu Fatawa 28/49)
Jawaban Ibunda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap surat anaknya
Inilah jawaban ibunda Syaikhul Islam terhadap surat puteranya,
“Demi Allah, untuk hal inilah aku mendidikmu; untuk berkhidmat
(melayani) Islam dan kaum muslimin aku bernadzar terhadapmu, dan di atas ajaran
Islam itulah aku mengajarkan dirimu. Jangan engkau kira wahai puteraku, bahwa
tinggalmu di dekatku lebih kusukai daripada kedekatanmu kepada agama dan
khidmatmu untuk Islam dan kaum muslimin di berbagai negeri. Puteraku, bahkan
ridhaku kepadamu sejauh khidmatmu kepada agamamu dan kaum muslimin. Demi Allah,
wahai puteraku, aku tidak akan bertanya kepadamu di hadapan Allah tentang
jauhnya dirimu dariku, karena aku tahu di mana engkau berada dan untuk hal apa
engkau tinggal. Akan tetapi wahai Ahmad, aku akan bertanya kepadamu di hadapan
Allah dan menghisabmu jika engkau tidak berkhidmat kepada agama Allah dan tidak
melayani saudara-saudaramu kaum muslimin.”
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi
wa shahabihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Aina Nahnu min Akhlaqis salaf (Abdul ’Aziz Al Jalil dan
Baha’uddin Aqil), Maktabah Syamilah versi 3.35, http://islamstory.com/ar/ امهات-خالدات-في-التاريخ-الاسلامي dll.
[i] Beliau adalah
Usamah bin Zaid bin Haritsah, orang kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dan putera orang yang disayangnya. Ibunya adalah Ummu Ayman; orang
yang merawat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kecil.
[ii] Bagian pokok kurma
berwarna putih dan berlemak yang berbentuk seperti punuk unta, biasanya dimakan
dengan madu.
[iii] Beliau adalah
Hafshah binti Sirin, wanita mulia Ahli Ibadah; saudari Muhammad bin Sirin, dan
sebagai ibunya Hudzail.
[iv] Namun hadits ini
didhaifkan oleh Al Albani dalam Dhaiful Jami no. 5300.
0 komentar:
Posting Komentar