بسم الله الرحمن الرحيم
Sunah-Sunah Shalat
(9)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang sunah-sunah
shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
14. Praktek duduk antara dua sujud
Sunnahnya ketika duduk antara dua sujud adalah seseorang duduk dalam
keadaan iftirasy, yaitu melipat kaki kiri lalu membukanya dan duduk di
atasnya, sedangkan kaki kanan; ia tegakkan, sambil mengarahkan jari-jari
kakinya ke arah kiblat.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membuka kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa termasuk Sunnah shalat adalah
menegakkan kaki kanan dan menghadapkan jari-jari kakinya ke kiblat, dan duduk
di atas kaki kiri.” (HR. Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Nafi’ berkata, “Ibnu Umar ketika shalat menghadapkan semuanya ke kiblat
sampai kedua sandalnya.” (Diriwayatkan oleh Al Atsram)
Dalam hadits Abu Humaid tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam disebutkan, “Kemudian Beliau melipat kaki kirinya dan duduk
di atasnya, dan posisi badan Beliau lurus sehingga setiap tulang kembali ke
tempatnya, lalu Beliau menunduk bersujud.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi,
ia menshahihkannya).
Ada pula riwayat yang menganjurkan duduk Iq’a, yaitu menegakkan
kedua kakinya dan duduk di atas kedua tumitnya. Menurut Abu Ubaidah, bahwa
anjuran iq’a merupakan pendapat Ahli Hadits.
Dari Abuz Zubair, bahwa ia mendengar Thawus berkata, “Kami pernah
bertanya kepada Ibnu Abbas tentang iq’a di atas kedua kaki, maka ia menjawab,
“Itu adalah Sunnah.” Lalu kami mengatakan, “Kami melihatnya sebagai sikap kasar
pada seseorang.” Ibnu Abbas berkata, “Itu adalah sunnah Nabimu shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ia ketika bangun dari sujud
pertama, duduk di atas ujung-ujung jarinya, ia berkata, “Sesungguhnya hal itu
termasuk sunnah.”
Dari Thawus, ia berkata, “Aku melihat Abadilah –para sahabat yang
namanya di awali Abdullah; yaitu: Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar,
Abdullah bin Az Zubair,- melakukan iq’a.” (Kedua riwayat di atas diriwayatkan
oleh Baihaqi. Al Hafizh berkata, “Shahih isnadnya.”)
Adapun iq’a dalam arti meletakkan kedua pinggul ke tanah dan menegakkan
kedua paha, maka ini adalah makruh berdasarkan kesepakatan para ulama.
Dan dianjurkan bagi seorang yang duduk di antara dua sujud meletakkan
tangan kanan di atas paha yang kanan dan tangan kiri di atas paha kiri, dimana
telapak tangan dalam keadaan terbuka menghadap ke kiblat dan merenggangkan
sedikit, dan berakhir pada kedua lutut.
Doa ketika duduk antara dua sujud
Dianjurkan berdoa ketika duduk antara dua sujud dengan salah satu doa
berikut, dan ia boleh mengulanginya jika mau.
Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi ketika duduk antara dua sujud mengucapkan,
رَبِّ اغْفِرْ لِي رَبِّ اغْفِرْ لِي
“Ya Rabbi, ampunilah aku. Ya Rabbi, ampunilah aku.” (Dishahihkan oleh Al
Albani)
Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk antara dua sujud mengucapkan,
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَعَافِنِي، وَاهْدِنِي،
وَارْزُقْنِي
“Ya Allah, ampunilah aku, sayangilah aku, jagalah aku, tunjukilah
diriku, dan berilah aku rezeki.” (Dihasankan oleh Al Albani)
15. Duduk istirahat
Duduk istirahat adalah duduk ringan yang dilakukan oleh seorang yang
shalat setelah selesai dari sujud kedua dari rakaat pertama sebelum bangun ke
rakaat kedua, dan setelah sujud kedua dari rakaat ketiga sebelum bangun ke
rakaat keempat.
Dari Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
كَانَ فِي وِتْرٍ مِنْ صَلَاتِهِ، لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا
bahwa ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Saat Beliau
berada pada rakaat ganjil dalam shalat, maka Beliau tidak bangkit hingga
benar-benar duduk. (HR. Jamaah selain Muslim dan Ibnu Majah, dan dishahihkan
oleh Al Albani).
Dalam hadits ini terdapat dalil disyariatkannya duduk istirahat, dan
inilah yang dipegang oleh Imam Syafi’i dan segolongan Ahli Hadits. Akan tetapi
menurut ulama madzhab Hanafi, Malik, Ahmad, dan Ishaq, bahwa tidak disyariatkan
duduk istirahat. Yang tampak adalah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukannya ketika telah tua dan fisik Beliau menjadi lemah, wallahu a’lam.
Ibnul Qayyim berkata tentang masalah ini,
“Para Ahli Fiqh berbeda pendapat tentang masalah itu (duduk istirahat);
apakah termasuk sunah-sunah shalat sehingga dianjurkan bagi seseorang
melakukannya, atau tidak termasuk sunah-sunah shalat, bahkan hanya dilakukan
bagi orang yang butuh melakukannya? Dalam hal ini timbul dua pendapat. Keduanya
merupakan riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah. Al Khallal berkata,
“Imam Ahmad merujuk kepada hadits Malik bin Huwairits tentang duduk istirahat,
katanya, “Telah mengabarkan kepadaku Yusuf bin Musa, bahwa Abu Umamah pernah
ditanya tentang bangkit dari sujud? Ia menjawab, “Di atas bagian depan kedua
kaki berdasarkan hadits Rifa’ah.” Sedangkan dalam hadits Ibnu Ijlan terdapat
dalil bahwa Beliau bangun di atas bagian depan kedua kaki. Sejumlah sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang meriwayatkan tentang
sifat shalat Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak menyebutkan
tentang duduk istirahat, yang menyebutkan hanyalah pada hadits Abu Humaid dan
Malik bin Huwairits. Kalau termasuk petunjuk Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan duduk istirahat terus-menerus tentu para sahabat yang
menyebutkan sifat shalat Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam akan
menyebutkannya, dan jika sekedar dilakukan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah berarti bahwa duduk istirahat termasuk sunnah-sunnah shalat, kecuali
jika diketahui bahwa melakukannya termasuk sunnah sehingga perlu diikuti,
adapun jika dikatakan bahwa Beliau melakukannya karena ada kebutuhan, maka
tidaklah menunjukkan bahwa hal itu termasuk sunnah-sunnah shalat.”
16. Praktek duduk Tasyahhud
Dalam duduk tasyahhud hendaknya diperhatikan sunnah-sunnah berikut,
yaitu:
a. Meletakkan kedua tangan seperti yang diterangkan dalam hadits-hadits
berikut:
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika duduk tasyahhud meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya,
tangan kanan di atas lutut kanannya, dan membuat lingkaran 53, serta berisyarat
dengan jari telunjuk.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Beliau menggenggam
semua jarinya dan berisyarat dengan jari yang di dekat ibu jari.” (HR. Muslim)
Membuat lingkaran 53 adalah menggenggam semua jari, dan menjadikan ibu
jari berada di bawah persendian tengah jari telunjuk.
Dari Wa’il bin Hujr, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan
telapak tangan tangan kiri di atas paha dan lututnya yang kiri, dan menjadikan
batas siku yang kanan di atas pahanya yang kanan, lalu menggenggam semua jari
dan membuat lingkaran. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Beliau membuat
lingkaran antara jari tengah dengan ibu jari, dan berisyarat dengan tulunjuk,
lalu mengangkat jarinya, dan aku lihat Beliau menggerak-gerakkannya sambil
berdoa.” (HR. Ahmad).
Dari Az Zubair radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika duduk tasyahhud meletakkan tangan kanannya di atas
pahanya yang kanan, dan tangan kirinya di atas pahanya yang kiri, dan Beliau
berisyarat dengan telunjuknya. Penglihatan Beliau tidak melebihi isyarat
(telunjuknya).” (HR. Ahmad, Muslim, dan Nasa’i)
Dalam hadits di atas terdapat dalil cukupnya meletakkan tangan kanan di
atas paha tanpa menggenggamnya dan berisyarat dengan telunjuk tangan kanan.
Demikian pula terdapat dalil, bahwa termasuk sunnah adalah pandangan orang yang
shalat saat tasyahhud tidak melebihi isyaratnya.
Catatan:
Dalam menggerak-gerakkan telunjuk
ada beberapa pendapat ulama. Ada yang berpendapat bahwa menggerak-gerakkan
telunjuk dilakukan dari awal tasyahhud hingga selesai (pendapat ini dipegang
oleh Syaikh Al Albani), ada yang berpendapat bahwa menggerakkannya dimulai
ketika berdoa sebelum salam (pendapat ini dipegang oleh Imam Ath Thahaawiy),
dan ada yang berpendapat bahwa menggerakkan dilakukan ketika membaca kalimat
yang berisi doa ketika bertasyahhud, shalawat dan doa sebelum salam (ini
dipegang oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin). Mereka semua beralasan dengan lafaz yang
ada dalam hadits, yaitu "yad'uu bihaa". Wallahu a'lam. Di antara
ulama ada pula yang berpendapat bahwa menggerakkan telunjuk dilakukan ketika
mengucapkan Laailaahaillallah agar tidak berlawanan dengan hadits Ibnuz Zubair,
Pendapat ini dipegang oleh Imam Baihaqi. Namun hadits Ibnuz Zubair yang
menyebutkan tambahan “tidak menggerak-gerakkannya” menurut Syaikh Al
Albani adalah syadz. Wallahu a'lam.
Menurut ulama madzhab Syafi’i, bahwa berisyarat hanya sekali saja, yaitu
saat mengucapkan “Illallah” dari kalimat syahadat. Ulama mazhab Hanafi
berpendapat, bahwa mengangkat jari telunjuk ketika mengucapkan “Laa ilaaha”
dan menurunkannya ketika mengucapkan “Illallah.” Ulama madzhab Maliki
berpendapat, menggerakkan itu dilakukan ke kanan dan ke kiri hingga selesai
shalat, sedangkan ulama madzhab Hanbali berpendapat, bahwa isyarat dengan jari
dilakukan ketika disebut nama Allah sebagai isyarat terhadap tauhid tanpa
menggerakkannya.
Menurut kami –wallahu a’lam-, bahwa berisyarat dengan telunjuk dimulai
dari awal tasyahhud, adapun mulai menggerakkannya maka ada beberapa pendapat
ulama sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
b. Berisyarat dengan jari
telunjuknya yang kanan dengan ditundukkan sedikit sehingga salam.
Dari Numair Al Khuza’iy ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam saat duduk dalam shalat meletakkan tangannya yang kanan di
atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya, dan Beliau
menundukkannya sedikit sambil berdoa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu
Majah, dan Ibnu Khuzaimah, namun hadits ini didhaifkan oleh Al Albani karena
Malik bin Numair tidak dikenal dan tidak meriwayatkan dari ayahnya selain itu
sebagaimana dikatakan Ibnul Qaththan dan Adz Dzahabiy. Ia juga menyendiri dalam
meriwayatkan menundukkan telunjuk di antara para perawi yang meriwayatkan
mengangkat jari dalam tasyahhud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga
hadits itu munkar).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati Sa’ad yang sedang berdoa dengan
dua jari, maka Beliau bersabda,
أَحِّدْ يَا سَعْدُ
“(Berisyaratlah dengan) satu jari saja wahai Sa’ad.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Nasa’i, dan Hakim, dan dinyatakan “Shahih Lighairih” oleh
pentahqiq Musnad Ahmad).
Ibnu Abbas pernah ditanya tentang seorang yang berdoa berisyarat dengan
satu jarinya, maka ia menjawab, “Itu adalah ikhlas.”
Anas bin Malik berkata, “Itu adalah sikap tadharru’ (merendahkan diri
dalam berdoa).”
Mujahid berkata, “Yang demikian memusnahkan setan.”
c. Duduk iftirasy dalam tasyahhud awwal dan duduk tawarruk dalam tasyahhud
akhir
Duduk iftirasy sudah diterangkan pada pembahasan praktek duduk antara
dua sujud, adapun duduk tawarruk adalah menegakkan kaki kanan dengan
menghadapkan jari-jari kakinya ke kiblat dan melipat kaki kiri di bawahnya,
serta duduk di lantai dengan pinggulnya.
Dalam hadits Abu Humaid tentang sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam disebutkan,
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ
اليُسْرَى، وَنَصَبَ اليُمْنَى، وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ
رِجْلَهُ اليُسْرَى، وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk pada dua rakaat
(tasyahhud awwal), maka Beliau duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki
kanan, dan ketika berada di rakaat terakhir, maka Beliau mengedepankan kaki
kirinya, menegakkan kaki yang lain (kanan), dan duduk di atas pinggulnya.” (HR.
Bukhari)
Bersambung...
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
S. Sabiq), Shifat Shalatin Nabi (M. Nashiruddin Al
Albani), Al Hidayah fi Masaa’il Fiqhiyyah Muta’aridhah (Aceng Zakaria), Maktabah
Syamilah versi 345, dll.
0 komentar:
Posting Komentar