بسم
الله الرحمن الرحيم
Akhlak Izzah
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan tentang Izzah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Saat terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan bangsa Persia,
Rustum -Pemimpin bangsa Persia- mengajak berdamai dengan kaum muslimin, maka
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu -panglima perang kaum muslimin-
mengutus seorang sahabat yang mulia yaitu Rib’i bin Amir radhiyallahu ‘anhu
untuk menyampaikan kepada Rustum beberapa tawaran kaum muslimin. Rib’i pun
segera berangkat menemuinya dan masuk ke istana. Di dalam istana para
rajuritnya memakai mahkota dan pakaian yang ditenun dengan warna emas dengan
dilengkapi senjata, di lantainya pun digelar permadani dan bantal, sedangkan
Rustum sendiri memiliki ranjang dari emas, maka Rib’i masuk ke istana sambil
mengendarai kudanya dengan membawa pedang yang disarungkan dalam lipatan
bajunya yang agak usang, ia juga membawa tombak, perisai, dan busur panah.
Ketika sampai pada permadani yang terdekat, ia diminta turun dari kudanya,
namun Rib’i tetap melewati permadani, dan setelah berada di atas permadani, ia
pun turun darinya dan mengikat kudanya dengan dua bantal yang ada, ia belah
bantal itu kemudian memasukkan tali ke dalamnya. Namun para prajurit Persia
tidak mampu menghalanginya dan mereka berkata kepadanya, “Letakkan senjatamu.” Rib’i
menolaknya sambil berkata dengan gagah beraninya, “Aku tidak datang kepada
kalian untuk meletakan senjata atas perintahmu. Kalianlah yang mengundangku.
Jika kalian tidak suka kedatanganku dengan caraku, maka aku akan kembali.” Maka
para prajuritnya memberitahukan kepada Rustum tentang sikap Rib’i bin Amir
radhiyallahu ‘anhu dan akhirnya Rustum mengizinkan Rib’i menemuinya, ia pun
bertanya kepada prajuritnya, “Apakah dia hanya sendiri?” Lalu diberitahukan
kepadanya. Rib’i pun datang bersandar dengan tombaknya sambil menusuk bantal
dan permadani yang ada di bawahnya, sehingga ia tidak meninggalkan bantal dan
permadani kecuali dalam keadaan rusak. Ketika Rib’i bin Amir radhiyallahu ‘anhu
telah mendekat kepada Rustum, maka para pengawalnya segera melindungi Rustum,
lalu Rib’i duduk di lantai dan menancapkan tombaknya di permadani. Para
pengawal Rustum pun berkata kepadanya, “Apa yang mendorongmu bersikap
demikian?” Rib’i menjawab, “Kami tidak suka duduk di atas perhiasan kalian
ini!” Maka mulailah Rustum berbicara dengan Rib’i bin Amir radhiyallahu ‘anhu,
Rustum bertanya, “Apa yang kamu bawa?” Rib’i menjawab,
اَللهُ ابْتَعَثَنَا وَاللهُ جَاءَ بِنَا
لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ، وَمِنْ ضِيْقِ
الدُّنْيَا إِلَى سَعَتِهَا، وَمِنْ جَوْرِ الْأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ الْإِسْلاَمِ
فَأَرْسَلَنَا بِدِيْنِهِ إِلَى خَلْقِهِ لِنَدْعُوَهُمْ إِلَيْهِ، فَمَنْ قَبِلَ
مِنَّا ذَلِكَ قَبِلْنَا ذَلِكَ مِنْهُ وَرَجَعْنَا عَنْهُ، وَتَرَكْنَاهُ وَأَرْضَهُ
يَلِيْهَا دُوْنَنَا، وَمَنْ أَبَى قَاتَلْنَاهُ أَبَداً، حَتَّى نُفْضِيَ إِلَى مَوْعُوْدِ
اللهِ
“Sesungguhnya Allah mengirim kami untuk mengeluarkan hamba dari
penyembahan kepada hamba menuju penyembahan kepada Allah, dari kesempitan dunia
menuju kelapangannya, dan dari kezaliman berbagai agama kepada keadilan Islam.
Dia mengirim kami membawa agamanya untuk kami ajak manusia kepada-Nya. Barang
siapa yang menerimanya, maka kami akan kembali; membiarkan dirinya dan
negerinya untuk diatur olehnya; bukan oleh kami. Tetapi barang siapa yang
menolaknya, maka kami akan memeranginya selama-lamanya sampai kami memperoleh
janji Allah.”
Rustum berkata, “Apa janji Allah itu?” Ia menjawab, “Yaitu surga bagi
orang yang meninggal dunia dalam memerangi mereka yang menolak itu dan
kemenangan bagi yang masih hidup.”
Rustum berkata, “Saya telah mendengar kata-kata Anda, maka bolehkah Anda
menunda tawaran ini agar kami berpikir dan Anda pun menunggu?” Rib’i menjawab,
“Ya. Berapa hari yang kamu mau; sehari atau dua hari?” Rustum menjawab, “Tidak,
bahkan sampai kami mengirim surat kepada orang-orang berpengalaman di antara
kami dan kepada para tokoh kami.” Ketika itu Rustum mencoba mengadakan
pendekatan kepadanya dan mencoba menolak tawaran itu, maka Rib’i berkata,
“Sesungguhnya termasuk hal yang ditetapkan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa
sallam dan dipraktekkan oleh para pemimpin kami adalah tidak membiarkan musuh
di luar pengetahuan kami dan tidak memberikan kesempatan kepada mereka lebih
dari tiga hari. Kami akan datang kepada kalian selama tiga hari, maka silahkan
pikirkan urusan kamu dan mereka, dan pilihlah satu di antara yang tiga setelah
habis waktunya; pilih Islam sehingga kami akan biarkan engkau dan negerimu,
membayar jizyah (pajak) sehingga kami terima darimu dan membiarkan dirimu, dan
jika engkau tidak membutuhkan bantuan kami, maka kami biarkan dirimu, namun
jika engkau membutuhkannya, maka kami akan membelamu, atau engkau memilih
perang perang pada hari keempatnya. Kami tidak akan memulainya antara hari ini
dengan hari keempat kecuali jika engkau memulainya. Saya menjadi penjaminmu
terhadap para sahabatku dan semua orang yang nanti engkau lihat.” Rustum berkata,
“Apakah engkau pemimpin mereka?” Rib’i menjawab, “Bukan. Akan tetapi kaum
muslimin seperti satu jasad; satu dengan yang lainnya; dimana yang bawah dari
mereka melindungi yang atas.” (Tarikh Thabari 3/519-520).
Demikianlah keadaan kaum muslimin saat kembali kepada agamanya; mereka
berada di atas semua bangsa dan Negara di dunia ketika itu, bahkan dua Negara
adidaya dunia ketika itu, yaitu Persia dan Romawi takluk oleh mereka.
Al Hakim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Thariq bin
Syihab, ia berkata, “Ketika Umar tiba di Syam, maka beliau disambut oleh para
tentara. Ketika itu Umar mengenakan kain, sepatu khuf, dan sorban sambil
menggiring kepala untanya untuk menyelam ke dalam air, lalu ada yang berkata,
“Wahai Amirul Mukminin! Engkau disambut oleh para tentara dan para komandan
negeri Syam namun keadaan engkau seperti ini?” Umar menjawab,
إِنَّا قَوْمٌ أَعَزَّنَا
اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ، فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّةَ بِغَيْرِهِ
“Sesungguhnya kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam. Kami
tidak akan mencari kemuliaan dengan selainnya.” (HR. Hakim 1/130, dan didiamkan
oleh Adz Dzahabi).
Khalifah Harun Ar Rasyid mengirim seseorang untuk meminta Imam Malik
menemuinya. Saat Imam Malik telah hadir, maka Khalifah berkata, “Selayaknya
engkau datang kepada kami agar anak-anak kami (Al Amin dan Al Ma’mun) mendengar
darimu kitab Al Muwaththa.” Imam Malik berkata, “Semoga Allah memuliakan
Amirul Mukminin. Sesungguhnya ilmu ini keluar dari rumahmu. Jika kamu
memuliakannya, maka ilmu akan mulia, tetapi jika kamu merendahkannya, maka ilmu
akan menjadi rendah. Ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi seseorang.”
Khalifah pun berkata kepadanya, “Engkau benar.” Maka ia berkata kepada kedua
anaknya, “Pergilah kamu berdua ke masjid agar engkau mendengarkannya bersama orang-orang
yang lain.” Imam Malik berkata, “Namun dengan syarat keduanya duduk di tempat
mereka berdua sampai dan tidak mengungguli manusia.” Maka Khalifah pun menerima
tawaran itu.
Apa itu ‘Izzah?
Izzah adalah kemuliaan dan jauh dari posisi hina dan rendah. Allah
menyuruh kita agar memiliki sifat izzah (mulia) dan tidak menghinakan diri kepada
manusia, bahkan hanya menghinakan dan merendahkan diri kepada Allah Azza wa
Jalla saja.
Seorang muslim hendaknya merasa bangga dengan agamanya, karena hanya
agamanya saja yang hak (benar) dan diridhai Allah, sedangkan agama selainnya
adalah batil.
Kemuliaan dan ketinggian hanya diperoleh dengan sikap taat kepada Allah
dan mencari keridhaan-Nya. Sebaliknya, barang siapa yang mencari kemulian pada
selain itu, maka Allah akan menghinakannya.
Dengan demikian, menghinakan diri kepada Rabbul ‘ibad (Tuhan
seluruh manusia) adalah kemuliaan, dan menghinakan diri kepada manusia adalah
sebuah kehinaan.
Di samping itu, Allah adalah Al ‘Aziz (Yang Mahaperkasa lagi Mulia),
milik-Nyalah ‘izzah (kemuliaan), Dia memberikan kemuliaan kepada siapa yang Dia
kehendaki, dan cara untuk meraihnya adalah dengan bertakwa kepada-Nya,
menghinakan diri kepada-Nya saja, dan mencari keridhaan-Nya. Dia berfirman,
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ
الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ
وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah, "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari
orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di Tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 26)
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ
وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi
orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (QS. Al Munafiqun: 8)
Contoh-contoh sikap izzah
Di antara contoh sikap izzah adalah seorang muslim tidak mudah begitu
saja menyerahkan miliknya kepada orang yang menginginkannya dan tidak menjadi
santapan pengekor hawa nafsu, bahkan ia menjaga dirinya, hartanya,
kehormatannya, dan keluarganya serta
membelanya dari setiap orang yang hendak merampasnya. Ia tidak rela dirinya,
kehormatannya dan keluarganya dihinakan, bahkan ia siap membelanya meskipun
harus mengorbankan nyawanya. Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang
sampai kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ،
أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِي؟ قَالَ: «فَلَا تُعْطِهِ
مَالَكَ» قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِي؟ قَالَ: «قَاتِلْهُ» قَالَ:
أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِي؟ قَالَ: «فَأَنْتَ شَهِيدٌ» ، قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ
قَتَلْتُهُ؟ قَالَ: «هُوَ فِي النَّارِ»
“Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau jika ada
seseorang yang hendak mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau
berikan!” Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika ia memerangiku?” Beliau menjawab,
“Perangilah dia.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika ia berhasil membunuhku?”
Beliau menjawab, “Berarti engkau syahid.” Ia bertanya lagi, “Lalu bagaimana
jika aku berhasil membunuhnya?” Beliau menjawab, “Dia di neraka.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
«مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ
أَهْلِهِ، أَوْ دُونَ دَمِهِ، أَوْ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ»
“Barang siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid.
Barang siapa yang terbunuh karena membela keluarganya, maka dia syahid, barang
siapa yang terbunuh karena membela darahnya, maka dia syahid, dan barang siapa
yang terbunuh karena membela agamanya, maka dia syahid.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Hibban dari Sa’id bin Zaid, dishahihkan oleh Al Albani
dalam Shahihul Jami’ no. 6445)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi
wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': http://islam.aljayyash.net/,
Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah
(Markaz Nurul Islam Li abhatsil Qur’an was Sunnah), Al Wala wal Bara (M. bin Sa’id Al
Qahthani), dll.
0 komentar:
Posting Komentar