بسم
الله الرحمن الرحيم
Kerugian Bagi Hamba Dunia
Seorang ulama bernama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membuat bab
dalam kitab Tauhidnya:
Bab: Termasuk syirk, seseorang mengerjakan
amal saleh, tujuannya untuk mendapatkan dunia
Maksud beliau membuat bab tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa
amal saleh yang dilakukan karena dunia adalah syirk yang dapat merusak
keikhlasan dan menghapuskan amal tersebut.
Di samping itu, hal ini bisa lebih berbahaya daripada riya. Karena
orang yang melakukan amal saleh dengan niat untuk memperoleh dunia
biasanya menimpa sebagian besar amalnya,
berbeda dengan riya’, yang biasanya hanya menimpa suatu amalan dan tidak
menimpa amalannya yang lain.
Contoh beramal saleh niatnya untuk memperoleh dunia adalah orang
yang berjihad, niatnya agar memperoleh harta atau orang yang menjadi imam atau
muazin niatnya untuk memperoleh uang. Atau orang yang belajar agama agar
memperoleh gelar supaya dipandang oleh masyarakat tanpa ada tujuan lain selain
itu. Dalam Al Qur’an disebutkan:
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan---Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka
dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (terj. Huud: 15-16)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy rahimahullah menafsirkan ayat,
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya
“Yakni semua harapannya tertuju hanya kepada dunia dan
perhiasannya berupa wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan
perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Ia mengarahkan
harapannya, kerja kerasnya dan amalnya untuk semua ini dan tidak memberikan
sedikit pun bagian dari harapannya itu untuk tempat yang kekal (akhirat)…dst.” (Lih.
Taisirul Karimir Rahman pada tafsir surat
Hud: 15)
Adapun ayat “Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna“ ditakhshis dengan surat Al Israa’ ayat 18, yaitu:
Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang
(dunia), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi
orang yang Kami kehendaki.” (terjemah Al Israa’: 15)
Yakni Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberikan kepada mereka balasan
amal mereka di dunia dengan sempurna jika dihendaki-Nya.
Sedangkan ayat “Dan mereka di dunia itu tidak
akan dirugikan”
Syaikh As Sa’diy mengatakan, “Yakni tidaklah dikurangi sedikitpun
yang telah ditaqdirkan untuk mereka, namun inilah akhir kenikmatan yang mereka
dapatkan.”
Empat golongan yang terancam ayat tersebut
(Hud: 15-16)
Ada empat
golongan yang terancam ayat tersebut:
Golongan pertama, orang yang
mengerjakan amal saleh karena Allah, tetapi tidak menginginkan pahala di
akhiratnya, yang diinginkannya adalah balasan di dunia. Misalnya seseorang
melakukan shalat karena melaksanakan perintah Allah, namun yang diinginkannya
adalah agar badannya sehat. Atau misalnya seseorang bersilaturrahim, namun yang
diinginkannya adalah agar namanya baik dan hubungannya baik. Orang yang seperti
ini meskipun melakukan amal saleh karena Allah dan menjalankan perintah-Nya,
namun karena yang diharapkannya adalah dunia, ia tidak berharap apa-apa untuk
akhiratnya, tidak juga berharap agar terhindar dari neraka dan masuk ke surga,
maka ia terancam dengan ayat di atas (Hud: 15-16)
Dan perlu diketahui, bahwa amal saleh itu terbagi dua:
- Amal saleh yang tidak disebutkan syara’ balasannya di dunia.
Misalnya shalat dan puasa.
- Amal saleh yang disebutkan balasannya di dunia. Misalnya
silaturrahim, balasannya akan dilapangkan rezkinya dan dipanjangkan umurnya.
Untuk yang pertama (yang tidak disebutkan balasannya di dunia),
tidak boleh harapannya adalah dunia. Jika demikian, berarti ia telah terjatuh
ke dalam syirk.
Sedangkan untuk yang kedua (yang disebutkan balasannya di dunia),
jika ia berharap balasan di dunia saja tanpa mengharap balasan di akhiratnya,
maka ia masih terancam ayat tersebut. Namun jika di samping mengharapkan
balasan di dunia, ia pun mengharapkan balasan di akhirat secara bersamaan; ia
mengharapkan pahala di sisi Allah, ingin masuk ke dalam surga-Nya dan terhindar
dari neraka, demikian juga ingin mendapatkan balasan amal tersebut di dunia,
maka tidak apa-apa karena syara’ menyebutkan balasan di dunia untuk
mendorongnya.
Golongan kedua, orang yang
mengerjakan amal saleh, niatnya riya agar dipuji manusia dan tidak ada
keinginan mendapatkan pahala di akhiratnya. Maka orang ini juga terancam oleh
ayat tersebut.
Golongan ketiga, orang yang
mengerjakan amal saleh agar memperoleh dunia. Misalnya menuntut ilmu niatnya
semata-mata agar mudah mencari uang dan berhijrah untuk menikahi seorang
wanita. Atau belajar ilmu syar’i hanya karena tugas semata, tidak ada maksud
sama sekali untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya, untuk mengetahui
perintah Allah sehingga dapat melaksanakannya, untuk mengetahui larangan Allah,
sehingga dapat menjauhinya dan tidak ada maksud agar dimasukkan ke dalam surga
dan dijauhkan dari neraka, maka ia terancam juga oleh ayat tersebut. Termasuk
juga orang yang menghapal Al Qur’an agar dapat menjadi imam masjid, sehingga
memperoleh uang dari Baitul Mal, dsb.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan: Jika ada yang
bertanya, “Apakah termasuk juga orang yang belajar di perguruan tinggi atau
lainnya tujuannya untuk memperoleh ijazah atau kedudukan tinggi dengan
belajarnya?”
Jawab, “Mereka termasuk ke dalamnya jika mereka tidak mempunyai
keinginan untuk mencapai tujuan syar’i, oleh karena itu kami mengatakan:
Pertama, janganlah tujuan belajarnya
untuk memperoleh kedudukan duniawi, tetapi jadikanlah ijazah ini sebagai
wasilah (sarana) agar bisa beramal dalam ruang-ruang yang bermanfa’at bagi
orang lain, karena untuk bisa beramal di saat sekarang harus memiliki ijazah,
sedangkan orang-orang (yang tidak berijazah) tidak bisa memberikan manfaat
kepada orang lain kecuali melalui sarana itu. Dengan ini niat bisa menjadi
lurus.
Kedua, untuk memperoleh ilmu tersebut terkadang
tidak didapatkan kecuali melalui bangku kuliah, maka ia perlu masuk ke
perguruan tinggi tersebut atau semacamnya untuk memperoleh ilmu itu. Adapun
masalah kedudukan jangan diperhatikan.
Ketiga, seseorang jika amalnya agar
mendapatkan dua kebaikan; kebaikan dunia dan akhirat, maka tidak mengapa.
Karena Allah berfirman:
Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya
Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar--Dan memberinya rezki dari arah yang
tidak disangka-sangkanya.“ (terjemah Ath Thalaq: 2-3)
Sehingga senangnya menjalankan ketakwaan juga sambil mengingat-ingat
adanya jaminan akan diberikan jalan keluar dari kesempitan dan diberikan rizki
dari arah yang tidak diduga-duga.” (lih. Al Qaulul Mufiid karya Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin)
Golongan keempat, orang yang
mengerjakan amal saleh ikhlas karena Allah, tetapi ia berada di atas perbuatan
yang membatalkan keIslamannya. Misalnya orang yang bersedekah, shalat dan
zakat, tetapi mengerjakan perbuatan syirk akbar (misalnya berdoa kepada selain
Allah) maka ia terancam oleh ayat di atas.
Mungkin seseorang bertanya, “Jika kita memperhatikan ayat “Dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia”
sepertinya ayat ini untuk orang kafir, lalu bagaimana orang muslim terancam
juga dengan ayat ini?”
Jawab, “Karena yang menjadi patokan adalah keumuman lafaz, bukan khususnya
sebab. Sehingga siapa saja yang harapannya tertuju kepada dunia dalam beramal saleh,
meskipun ia seorang muslim bisa terkena ayat ini. Hanyasaja amal yang
dilakukannya tidak batal semuanya, tetapi hanya amal yang disusupi niat dunia
saja, berbeda dengan orang-orang kafir yang sia-sia seluruh amalnya.”
Kerugian bagi hamba dunia
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ
الْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ ، تَعِسَ
وَانْتَكَسَ ، وَإِذَا شِيكَ فَلاَ انْتَقَشَ ، طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ
فَرَسِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ، أَشْعَثَ رَأْسُهُ مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ ، إِنْ
كَانَ فِى الْحِرَاسَةِ كَانَ فِى الْحِرَاسَةِ ، وَإِنْ كَانَ فِى
السَّاقَةِ كَانَ فِى السَّاقَةِ ، إِنِ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ ، وَإِنْ
شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ
“Celaka
hamba dinar, hamba dirham dan hamba khamiishah (pakaian yang terbuat dari
sutera atau dari wool). Jika diberi, ia senang, dan jika tidak, ia marah.
Celaka dan tersungkurlah. Jika terkena duri semoga tidak tercabut. Beruntunglah
seorang hamba yang memegang tali kekang kudanya di jalan Allah, rambutnya kusut
dan kakinya berdebu. Jika ditugaskan di perbatasan, ia tetap di perbatasan, dan
jika ditugaskan di belakang, ia tetap di belakang. Jika meminta izin, tidak
diberi izin dan jika menjadi perantara, tidak diterima.” (HR. Bukhari)
Hadits di atas adalah doa keburukan dari Rasulullah shallalllahu
'alaihi wa sallam untuk Hamba dinar, dirham dan khamiishah. Di mana mereka
berbuat atas dasar dunia (materi), kalau tidak ada materi yang mereka inginkan,
mereka tidak mau beramal dan bekerja.
Dalam hadits tersebut Nabi shallalllahu 'alaihi wa sallam menamai
orang ini dengan hamba dinar, dirham dan khamiishah atau dengan kata lain
“Hamba Dunia” yang menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah syirk.
Dikatakan “Hamba terhadap sesuatu”, jika sesuatu itu yang
menggerakkan dirinya untuk beramal, menjadikannya sebagai asas dalam beramal
dan bergantung kepadanya. Sehingga ia tidak memperhatikan lagi, apakah
perbuatan yang dilakukan itu halal atau haram, yang penting apa yang
diharapkannya tercapai.
Sedangkan maksud “Seorang hamba yang memegang tali kekang
kudanya di jalan Allah, rambutnya kusut dan kakinya berdebu...dst” adalah
seorang hamba yang tidak terkenal dan tidak terpandang, serta tidak
menginginkan ketinggian.
Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa dekatnya seseorang di hadapan
orang terhormat, belum tentu derajatnya tinggi di hadapan Allah. perhatikanlah
orang tersebut, “Jika meminta izin, tidak diberi izin dan jika menjadi
perantara, tidak diterima” akan tetapi kedudukannya tinggi di sisi Allah.
Sedangkan maksud “Jika diberi ia senang, dan jika tidak ia
marah.”
Ada dua makna:
Pertama, Jika diberi rezeki oleh Allah
dia senang dan hatinya tentram. Jika tidak diberi, ia kesal dan marah dengan
hati dan ucapannya. seperti mengatakan, “Kenapa saya miskin, sedangkan dia
kaya?” Hal ini sama saja tidak menerima qadar Allah. Padahal Allah memberi dan
tidak karena suatu hikmah, Dia memberikan dunia ini kepada orang yang
dicintai-Nya dan orang yang tidak dicintai-Nya. Seharusnya bagi seorang mukmin
ridha dengan ketetapan Allah, jika diberi rizki ia bersyukur dan jika tidak ia
bersabar.
Kedua, Jika ia diberi harta oleh orang
lain ia senang, jika tidak ia marah. Ini menunjukkan orang itu tidak ridha
kecuali ada harta dan marah pun karenanya.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Fat-hul Majid (Abdurrahman bin Hasan), Taisirul Karimir Rahman (Syaikh
As Sa’diy), Syarh Kitabit Tauhid, Al Qaulul Mufiid (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin) dll.
0 komentar:
Posting Komentar