بسم الله الرحمن الرحيم
Tujuan Manusia Diciptakan
Segala puji bagi Allah,
shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, sahabatnya,
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'd:
Allah
Subhaanahu wa Ta'ala memiliki nama Al Hakim, yang artinya Mahabijaksana. Dia
Mahabijaksana dalam perkataan-Nya, perbuatan-Nya, taqdir-Nya terhadap alam
semesta, dan dalam menetapkan syariat. Oleh karena perbuatan-Nya di atas
kebijaksanaan, maka Dia tidaklah menciptakan manusia main-main tanpa ada hikmah
di balik itu. Dia berfirman,
"Maka
apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main
(saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?" (Terj. QS. Al Mu'minuun: 115)
Allah
Subhaanahu wa Ta'ala menciptakan manusia dan jin tidak lain agar mereka hanya menyembah
dan beribadah kepada-Nya serta mengisi hidup mereka di dunia dengan beribadah
yang nantinya Dia akan membalas mereka dengan balasan yang besar, berupa surga
dan tambahannya. Inilah beban yang dipikulkan kepada mereka selama mereka hidup
di dunia. Dia berfirman, "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (Terj. QS. Adz Dzaariyaat: 56)
Kesiapan
manusia menerima beban beribadah
Beban
beribadah ini sebelumnya telah Allah tawarkan kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung, namun mereka menolaknya karena khawatir di tengah perjalanan mereka
tidak mampu memikulnya. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
"Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu sangat zalim dan sangat bodoh." (Terj. QS. Al Ahzaab: 72)
Amanah
di ayat ini adalah beban beribadah, tugas-tugas keagamaan, atau menjalankan
kewajiban dan meninggalkan larangan.
Tujuan
diutusnya para rasul
Ketika
manusa lengah terhadap tujuan ini, yakni tujuan mereka diciptakan di dunia,
maka Allah mengutus Rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya untuk mengingatkan
mereka terhadap tujuan ini. Kemudian pelaksanaan ibadah itu diperinci dalam
kitab-Nya dan dalam sunnah Rasul-Nya karena keadaan manusia yang tidak
mengetahui bentuk dan tatacara ibadah yang dicintai Allah dan diridahi-Nya.
Oleh karena itu, di antara tujuan diutusnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah mengajarkan tatacara atau bentuk ibadah yang diridhai Allah subhaanahu
wa Ta'ala setelah mengajak manusia hanya beribadah dan menyembah kepada Allah
'Azza wa Jalla saja. Dari sini, kita ketahui tidak dibenarkannya mengada-ada
dalam beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala, karena yang mengetahui
tatacara yang diridhai Allah adalah utusan-Nya yang mendapatkan wahyu dari-Nya,
yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sanksi
bagi manusia yang menyimpang dari tujuan diciptakannya
Selanjutnya,
apabila manusia keluar dari tujuan mereka diciptakan, maka berarti ia telah
bersikap melampaui batas dan tidak memenuhi kewajibannya. Allah Subhaanahu wa
Ta'ala berfirman:
"Adapun
orang yang melampaui batas,--Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,--Maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).--Dan adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya--Maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (Terj. QS. An Naazi'at: 37-47)
Oleh
karena itu, hidup manusia di dunia bukanlah sekedar untuk makan, minum, dan
bersenang-senang. Ia tidaklah sama seperti hewan yang tidak terkena beban untuk
beribadah, dimana hidup mereka (hewan-hewan) hanya makan, minum, dan
bersenang-senang saja. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya
Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di
dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan Jahannam adalah tempat
tinggal mereka." (QS. Muhammad: 12)
Maka
dari itu, isilah hidup ini dengan beribadah dan bertakwa kepada-Nya.
Ta'rif
(definisi) ibadah
Ibadah adalah istilah
untuk semua perkara yang dicintai Allah dan diridhai-Nya baik berupa perkataan
maupun perbuatan, yang tampak (dengan lisan dan anggota badan) maupun yang
tersembunyi (dengan hati). Contoh: shalat, zakat, puasa, haji, jujur dalam
berbicara, menunaikan amanah, berbakti kepada orang tua, menyambung tali
silaturrahim, memenuhi janji, beramar ma'ruf dan bernahi munkar, berjihad
melawan orang-orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak
yatim, orang miskin, budak, manusia secara umum dan hewan, takut kepada Allah
dan kembali kepada-Nya, mengikhlaskan ibadah kepada-Nya, sabar terhadap
hukum-Nya, bersyukur atas nikmat-Nya, ridha terhadap taqdir-Nya, bertawakkal
kepada-Nya, berharap kepada-Nya, takut akan azab-Nya, dsb.
Dengan demikian, ibadah
itu ada yang bisa dilakukan oleh hati, ada yang bisa dilakukan oleh lisan dan
ada yang bisa dilakukan oleh anggota badan. Contoh ibadah yang dilakukan oleh
hati adalah berniat ikhlas, mencintai kebaikan didapatkan orang lain, memiliki
‘aqidah yang benar dsb. Contoh ibadah yang dilakukan oleh lisan adalah membaca
Al Qur’an, berdzikr, bershalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
berkata jujur dsb. Sedangkan contoh ibadah yang dilakukan oleh anggota badan
adalah berbakti kepada orang tua, membantu orang lain, menyambung tali silaturrahim,
berbuat baik kepada teman dan tetangga dsb. Dan ada ibadah yang dilakukan
secara sekaligus oleh hati, lisan dan anggota badan, yaitu shalat.
Oleh karena itu, shalat adalah ibadah yang paling utama sebagaimana akan
diterangkan setelah ini.
Ibadah yang paling utama
Di antara sekian ibadah,
yang paling utama dan paling dicintai Allah setelah tauhid adalah shalat pada
waktunya. Dalilnya adalah hadits berikut:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي اللَّه عنه قَالَ : سَأَلْتُ
النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أََحَبُّ إِلىَ
اللَّهِ تَعَالَى ؟ قَالَ :الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا قُلْتُ : ثُمَّ أَيُّ ؟
قَالَ: «بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ : ثُمَّ أَيُّ ؟ قَالَ : «الجِْهَادُ فِيْ
سَبِيِلِ اللَّهِ
Dari Ibnu
Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Aku bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, “Amal apa yang paling dicintai Allah Ta’ala?” Beliau menjawab: “Shalat
pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”
Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”
Beliau menjawab: “Berjihad fii sabiilillah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Pembagian hukum ibadah
Ibadah
ada yang wajib dan ada yang sunat. Yang wajib misalnya shalat lima waktu, puasa
di bulan Ramadhan, membayar zakat, dsb. Sedangkan yang sunat misalnya shalat sunat
rawatib, sedekah sunat, berpuasa sunat, dsb. Antara yang wajib dengan yang
sunat ini yang didahulukan dan yang lebih utama adalah yang wajib, dan yang
sunat dilakukan setelah kewajiban telah dikerjakan. Yang wajib itu mesti
dikerjakan, dimana meninggalkannya adalah dosa, sedangkan yang sunat hanya
dianjurkan saja (tidak wajib), sehingga meninggalkannya tidak berdosa. Tetapi
jangan sampai karena menganggap suatu perbuatan sebagai amalan sunat lalu kita
meremehkannya, terlebih meninggalkannya setelah sebelumnya merutinkannya. Oleh
karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada
Abdullah bin 'Amr bin 'Aash:
يَا
عَبْدَ اللهِ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ، كَانَ يَقُومُ اللَّيلَ فَتَرَكَ
قِيَامَ اللَّيلِ
"Wahai
Abdullah, janganlah kamu seperti si fulan; sebelumnya ia biasa melakukan
qiyamullali, tetapi selanjutnya ia meninggalkan qiyamullail." (Muttafaq
'alaih)
Landasan
dalam beribadah
Landasan yang harus ada pada
seseorang yang beribadah itu ada tiga:
1.
Rasa cinta kepada Allah Ta’ala.
2.
Rasa takut dan tunduk kepada Allah Ta’ala.
3.
Rasa berharap kepada Allah Ta’ala
Ketiga hal ini mesti ada pada
seseorang, yakni ketika kita beribadah, kita harus memiliki rasa cinta kepada
Allah Ta’ala, memiliki rasa takut dan rasa berharap[i].
Oleh
karena itu, kecintaan saja yang tidak disertai dengan rasa takut dan kepatuhan,
seperti cinta kepada makanan dan harta, tidaklah termasuk ibadah. Demikian pula
rasa takut saja tanpa disertai dengan cinta, seperti takut kepada binatang
buas, maka itu tidak termasuk ibadah. Tetapi jika suatu perbuatan di dalamnya
menyatu rasa takut dan cinta maka itulah ibadah. Dan ibadah tidak boleh
ditujukan kepada selain Allah Ta'ala.
Golongan
yang keliru dalam beribadah
Ada tiga golongan yang keliru dalam
menilai ibadah, yaitu sbb:
1.
Golongan yang mengira bahwa ibadah
itu hanya sebatas di masjid saja, sehingga ia memisahkan antara urusan dunia
dengan agama/ibadah dan antara urusan negara dengan agama.
Ibadah dalam Islam tidak hanya
dilakukan di masjid saja, bahkan di luar
masjid pun ada ibadah.
Bergaul
dengan manusia mengikuti perintah Allah Ta’ala, maka mengerjakannya adalah
ibadah. Contoh: Berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada orang lain,
seperti kepada teman dan tetangga. bersilaturrahim, beramr ma’ruf dan bernahi
munkar, bersedekah, menyantuni anak yatim, orang miskin, janda dan ibnus sabil
(musafir yang kehabisan bekal), membantu orang lain, menyingkirkan hal yang
mengganggu jalan, menjaga lisan dan tangan kita dari mengganggu orang lain, bekerja
untuk menafkahi diri, istri dan anaknya dari rezeki yang halal. Ini semua
merupakan ibadah dan dicintai oleh Allah Ta’ala.
Bahkan
perbuatan mubah atau suatu kebiasaan harian jika diniatkan ibadah atau agar
dapat membantu beribadah, dapat berubah menjadi ibadah. Misalnya seseorang yang
makan, minum dan istirahat dengan niat agar dapat beribadah kepada Allah Ta’ala
adalah ibadah, bekerja agar dapat memperoleh rezeki yang halal adalah ibadah,
demikian juga menikah dengan niat menjaga diri dari yang haram juga ibadah.
2.
Golongan yang berlebih-lebihan dalam
beribadah.
Golongan
yang berlebih-lebihan dalam beribadah maksudnya adalah golongan yang melampaui
batas sampai melewati aturan. Misalnya mewajibkan yang sunat, mengharamkan yang
halal, menjauhi yang mubah dan sebagainya. Golongan ini juga salah.
3.
Golongan yang mengada-ngada dalam
beribadah.
Maksudnya golongan yang beribadah
tidak mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dia
beribadah atas dasar perkiraan atau menurutnya baik, ia membuat cara sendiri
dalam beribadah. Padahal syarat diterimanya ibadah di samping ikhlas adalah
harus mengikuti contoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Keutamaan
beribadah
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: يَا ابْنَ آدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِي أَمْلَأْ
صَدْرَكَ غِنًى وَأَسُدَّ فَقْرَكَ، وَإِلَّا تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَيْكَ شُغْلًا
وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ
Sesungguhnya
Allah Ta'ala berfirman, "Wahai anak Adam! Luangkanlah waktu untuk
beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi kecukupan pada hatimu dan
menutupi kekuranganmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku akan memenuhi
kedua tangan-Mu dengan kesibukan dan Aku tidak akan menutupi kefakiranmu."
(HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Shahihul Jami' no. 1914)
Dalam
hadits di atas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan firman Allah
Tabaraka wa Ta'ala yang isinya mengingatkan kita agar beribadah kepada-Nya dan
mengisi hidup ini dengan ibadah. Dia juga menjamin akan memberikan kecukupan
kepada kita serta menutupi kekurangan kita.
Sungguh
besar keutamaan beribadah kepada Allah, di samping mendapatkan kecintaan dari
Allah, dekat dengan-Nya, diberikan kecukupan dalam hidup, diberikan ketenangan,
dan di akhirat seseorang yang beribadah akan mendapatkan surga yang luasnya
seluas langit dan bumi, dimana orang yang memasukinya akan hidup kekal
selama-lamanya dan tidak akan mati, akan senang selamanya dan tidak akan sedih,
akan sehat selamanya dan tidak akan sakit, akan muda selamanya dan tidak akan
tua, dan akan mendapatkan kenikmatan terus-menerus tanpa usaha dan kerja keras
seperti halnya di dunia, bahkan semua yang diinginkan akan diberikan. Maka,
kesenangan dan kenikmatan apakah yang lebih baik daripada ini?
Allahumma a'innaa 'alaa dzikrika wa
syukrika wa husni 'ibaadatik.
Selesai, Wal hamdulillahi
Rabbil 'aalamiin.
Marwan
bin Musa
[i] Jika hanya rasa takut saja dalam beribadah, maka tidak
ubahnya seperti orang-orang Haruri (khawarij) yang keras dan kaku. Jika hanya
berharap saja tanpa mempedulikan amal, maka tidak ubahnya seperti orang
murji’ah, dan jika hanya mengandalkan cinta saja dan tidak ada rasa takut serta
harap kepada Allah Ta’ala, maka tidak ubahnya seperti orang Zindik.
0 komentar:
Posting Komentar