بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Ji'alah
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
pembahasan tentang ji'alah, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamiin.
Ta'rif
(pengertian) ji'alah
Ji'alah
dinamakan juga ju’l dan ja’iilah, yaitu sesuatu yang diberikan
kepada orang lain karena perbuatan yang dilakukannya[i].
Misalnya seseorang mengatakan, “Barang siapa yang melakukan ini, maka ia akan
mendapatkan harta sekian." Yakni ia akan memberikan upah yang ditentukan
bagi orang yang mau mengerjakan pekerjaan yang ditentukan, seperti membangun
dinding, dsb.
Dalil
disyari'atkannya ji'alah
Dalil
asal tentang disyari'atkannya ju'aalah adalah firman Allah Ta'ala:
Penyeru-penyeru
itu berkata, "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya". (Terj. QS. Yusuf: 72)
Yakni
barang siapa yang mampu menunjukkan pencuri piala milik taja, maka ia akan
memperoleh bahan makanan seberat beban unta. Ini adalah ju’l, dan menunjukkan
bolehnya ji'alah.
Sedangkan
dalil dari As Sunnah adalah hadits Abu Sa'id berikut, ia berkata:
انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا، حَتَّى نَزَلُوا
عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ، فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ،
فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الحَيِّ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ،
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ نَزَلُوا، لَعَلَّهُ
أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ، فَأَتَوْهُمْ، فَقَالُوا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ
إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ، وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ، فَهَلْ
عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي
لَأَرْقِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا
أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ
مِنَ الغَنَمِ، فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
العَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ، فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ،
قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ:
اقْسِمُوا، فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا،
فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا لَهُ،
فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ» ، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا،
وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا» فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
"Sebagian
sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pergi dalam suatu safar yang mereka
lakukan. Mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, lalu mereka meminta jamuan
kepada mereka (penduduk tersebut), tetapi penduduk tersebut menolaknya, lalu
kepala kampung tersebut terkena sengatan, kemudian penduduknya telah bersusah
payah mencari sesuatu untuk mengobatinya tetapi belum juga sembuh. Kemudian
sebagian mereka berkata, "Bagaimana kalau kalian mendatangi orang-orang
yang singgah itu (para sahabat). Mungkin
saja mereka mempunyai sesuatu (untuk menyembuhkan)?" Maka mereka pun
mendatangi para sahabat lalu berkata, "Wahai kafilah! Sesungguhnya
pemimpin kami terkena sengatan dan kami telah berusaha mencari sesuatu
untuk(mengobati)nya, tetapi tidak berhasil. Maka apakah salah seorang di antara
kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?" Lalu di antara sahabat ada yang
berkata, "Ya. Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami
telah meminta jamuan kepada kamu namun kamu tidak memberikannya kepada kami.
Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau memberikan
imbalan kepada kami." Maka mereka pun sepakat untuk memberikan sekawanan
kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung tersebut), kemudian
meniupnya dan membaca "Al Hamdulillahi Rabbil 'aalamiin," (surat Al
Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun dapat
berjalan kembali tanpa merasakan sakit. Kemudian mereka memberikan imbalan yang
mereka sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata, "Bagikanlah."
Tetapi sahabat yang meruqyah berkata, "Jangan kalian lakukan sampai kita
mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kita sampaikan kepadanya
masalahnya, kemudian kita perhatikan apa yang Beliau perintahkan kepada
kita." Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam dan menyebutkan masalah itu. Kemudian Beliau bersabda, "Dari
mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?" Kemudian Beliau
bersabda, "Kamu telah bersikap benar! Bagikanlah dan sertakanlah aku
bersama kalian dalam bagian itu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Meskipun
begitu, di antara ulama ada yang melarang ji'alah, seperti Ibnu Hazm. Ia berkata dalam Al Muhalla, "Tidak
boleh menetapkan ju'l (upah) terhadap seseorang." Oleh karena itu barang siapa
yang berkata, "Jika kamu datang kepadaku dengan membawa budakku yang lari,
maka kamu akan memperoleh satu dinar," atau seorang berkata, "Jika
kamu melakukan perbuatan ini dan itu, maka kamu memperoleh satu dirham atau
seperti itu," jika setelahnya ia datang, atau misalnya ia mengumumkan
dengan suara keras dan bersaksi terhadap dirinya, "Barang siapa yang
datang kepadaku dengan barang ini, maka ia memperoleh sekian," lalu barang
itu ada yang membawakannya, maka ia tidak wajib membayarkan apa-apa, hanya saja
dianjurkan baginya memenuhi janjinya. Demikian juga orang yang datang membawa
budak yang lari, maka ia tidak perlu memberikan sesuatu kepadanya, baik pembawa
budak yang lari mengetahui adanya ji'alah maupun tidak, kecuali jika ia
menyewanya untuk mencarikan dalam waktu tertentu atau mendatangkannya dari
tempat yang yang sudah dikenal, maka wajib untuknya memperoleh bayaran sewaan
itu. Tetapi sebagian ulama ada yang
mewajibkan ju'l (pemberian upah ju'aalah) dan mereka mengharuskan upah itu dibayarkan
oleh ja'il (pemberi ju'l/imbalan), mereka berdalih dengan firman Allah Ta'ala:
"Wahai
orang-orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu." (Terj. QS. Al
Maa'idah: 1)
dan
berdasarkan perkataan Yusuf:
Penyeru-penyeru
itu berkata, "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya". (Terj.
QS. Yusuf: 72)
Serta
berdasarkan hadits orang yang meruqyah dengan pemberian sekawanan kambing."
Yang
rajih, bahwa ji'alah itu memiliki dasar dan diperbolehkan.
Bahkan
hal itu dibolehkan karena darurat, oleh karena itu dibolehkan dalam ji'alah
sesuatu yang tidak dibolehkan pada selainnya, yakni ji'alah itu dibolehkan
meskipun pekerjaannya majhul (tidak diketahui).
Di
antara hukum-hukum yang terkait dengan ji'alah
1. Tidak disyaratkan
untuk akad ji'alah ini harus dihadiri oleh kedua belah pihak orang yang
melakukan akad seperti pada akad yang lain, hal ini berdasarkan ayat "Wa
liman jaa'a bihi himlu ba'iir" (artinya: Dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,"),
lihat surat Yusuf: 72.
2. Disyaratkan
untuk orang yang siap memberikan bayaran harus sah tasharruf(tindakan)nnya,
sedangkan orang yang bekerja harus mampu melakukannya.
3. Pekerjaan
ji'alah itu harus mubah, sehingga tidak sah terhadap pekerjaan yang haram,
seperti memainkan musik, membuatkan khamr (arak), dsb.
4. Pekerjaan
ji'alah ini tidak ditentukan batasnya, sehingga jika seseorang berkata, "Barang
siapa yang mengembalikan untaku dalam waktu sepekan, maka ia berhak mendapat
lima dinar," maka ji'alah tidak sah.
5. Siapa saja yang
telah menyelesaikan tugas ji'alahnya, maka ia berhak memperoleh ju'l (upah),
karena akad menjadi tetap dengan sempurnanya pekerjaan. Jika yang melakukan ji'alah
adalah beberapa orang, maka mereka membagi rata upahnya antara sesama mereka.
6. Siapa saja yang
melakukan pekerjaan yang diji'alahkan sebelum mengetahui bahwa pekerjaan itu diji'alahkan,
maka yang melakukannya tidak berhak mendapat apa-apa, karena hal ini termasuk
melakukan perbuatan yang tidak diizinkan. Tetapi jika ia mengetahui adanya ji'alah
di tengah-tengah melakukan pekerjaan itu, maka ia berhak mengambil upah
seukuran pekerjaan yang dilakukannya setelah ia mengetahui adanya ji'alah itu.
7. Ji'alah adalah
akad yang boleh. Masing-masing berhak membatalkannya. Jika pembatalan dilakukan
oleh pekerja, maka ia tidak berhak mendapatkan ji'alah sedikit pun, karena ia
telah menggugurkan haknya. Namun jika pembatalan dari jaa'il (yang menetapkan ji'alah)
dan pembatalan itu dilakukan setelah pekerja memulai pekerjaannya, maka orang
yang bekerja berhak mendapatkan upah seukuran pekerjaannya, karena kerjanya
dengan imbalan yang belum diterimanya.
8. Para fuqaha
menjelaskan bahwa jika ada yang bekerja untuk orang lain tanpa ju’l (upah) dan
izin dari orang lain itu, maka ia tidak berhak menerima apa-apa, karena ini
sama saja memberikan manfaat tanpa imbalan, sehingga ia tidak mendapatkannya.
Di samping itu, seseorang tidak mesti membayar sesuatu yang tidak wajib
baginya. Tetapi dikecualikan dua hal berikut:
a. Jika si pekerja
sudah menyiapkan dirinya sebagai pekerja dengan upah. Misalnya pemandu jalan,
pengangkut barang dsb. Dalam keadaan ini, jika ia mengerjakan suatu pekerjaan,
maka yang demikian dengan izin yang mengharuskan diberi upah, dimana ‘uruf
berjalan seperti itu. Berbeda jika ia belum menyiapkan dirinya untuk itu, maka
ia tidak berhak apa-apa, meskipun diizinkan. Kecuali dengan adanya syarat.
b. Orang yang
menyelamatkan barang orang lain dari kebinasaan. Misalnya menariknya dari laut,
api atau menemukan barang di tempat bahaya yang akan hilang jika ditinggalkan, maka
ia berhak mendapatkan upah mitsil (standar) meskipun pemiliknya tidak
mengizinkan, karena ia telah khawatir akan binasanya barang atau rusak. Di
samping itu, dengan diberikan upah mendorong mereka melakukan perbuatan ini;
yaitu menyelamatkan barang dari kebinasaan.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Siapa saja yang menyelamatkan harta orang lain
dari kebinasaan dan mengembalikannya, maka ia berhak mendapatkan upah mitsl
(standar), meskipun tanpa syarat menurut pendapat yang paling sahih di antara
dua pendapat, dan inilah yang disebutkan Ahmad dan lainnya.”
Ibnul
Qayyim berkata, “Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan terhadap harta
orang lain tanpa izinnya, agar dengan perbuatan itu ia dapat menyampaikan harta
kepada orang itu atau ia melakukannya untuk menjaga harta pemiliknya atau
memeliharanya agar tidak hilang, maka yang benar ia mengembalikannya dengan
mendapat upah terhadap perbuatannya. Imam Ahmad menyebutkan hal itu di beberapa
tempat.”
Perbedaan
antara ji'alah dengan ijarah (menyewa atau mempekerjakan)
Ji'alah
berbeda dengan ijarah dalam beberapa hal:
1. Untuk keabsahan
ji'alah tidak disyaratkan harus mengetahui tugasnya, berbeda dengan ijarah.
Ijarah disyaratkan tugasnya harus diketahui.
2. Ji'alah tidak
disyaratkan harus mengetahui lamanya kerja. Berbeda dengan ijarah yang
ditentukan lamanya kerja.
3. Bahwa pekerja
dalam ji'alah tidak mesti bekerja. Berbeda dengan ijarah, dimana dalam ijarah,
pekerja telah siap untuk bekerja (harus bekerja).
4. Ji'alah tidak
disyaratkan ditentukan siapa pekerjanya, berbeda dengan ijarah yang disyaratkan
demikian.
5. Ji'alah adalah
akad yang dibolehkan bagi masing-masingnya untuk membatalkan tanpa izin yang
lain. Sedangkan ijarah adalah akad yang mesti. Tidak boleh yang satunya
membatalkan kecuali dengan keridhaan yang lain.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa
‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqh Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa
ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah dll.
[i] Istilah lainnya adalah akad terhadap suatu manfaat
yang diperkirakan dapat diperoleh seperti orang yang siap memberikan upah kepada
orang yang siap mengembalikan barangnya yang hilang atau hewannya yang lari
atau membangun sebuah dinding atau menggali sumur sampai ke air di dasarnya
atau membuat anaknya menjadi hafiz Al Qur'an atau mengobati yang sakit hingga
sembuh atau memenangkan perlombaan dsb.
Ada pula yang memberikan ta'rif (definisi),
bahwa ji'alah adalah siap memberikan bayaran tertentu bagi yang melakukan suatu
pekerjaan tanpa melihat siapa yang melakukannya. Misalnya ia mengatakan,
"Siapa yang menemukan motorku yang hilang, maka ia akan mendapatkan 500
riyal."
0 komentar:
Posting Komentar