بسم
الله الرحمن الرحيم
Shalat Kusuf
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat
dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya,
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
pembahasan tentang shalat kusuf (gerhana), semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta'rif Kusuf dan Khusuf
Gerhana matahari dalam bahasa Arab disebut
Kusuf, sedangkan gerhana bulan disebut khusuf. Hal ini, jika kusuf dan khusuf
disebutkan secara bersamaan, namun jika kusuf atau khusuf disebutkan secara
terpisah, maka kusuf bisa digunakan untuk gerhana matahari maupun gerhana
bulan, demikian juga kata "khusuf".
Gerhana matahari dan bulan merupakan tanda
kekuasaan Allah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
« إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ،
وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا
فَصَلُّوا » .
"Sesungguhnya
matahari dan bulan tidaklah terjadi gerhana karena kematian seseorang dan bukan
pula karena lahirnya seseorang. Akan tetapi, keduanya merupakan dua tanda di
antara tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Apabila kalian melihatnya, maka
laksanakanlah shalat." (HR. Bukhari)
Al Hafizh menjelaskan tentang maksud ‘tanda’ di
hadits tersebut, yaitu sebagai tanda keesaan Allah, tanda kekuasaan Allah
sekaligus untuk menakuti hamba-hamba-Nya terhadap siksaan Allah dan azab-Nya.
Ia pun menguatkan hal tersebut dengan ayat:
وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا
"Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk
menakuti." (Terj. QS. Al Israa': 59)
Dengan
demikian, maka jelaslah bahwa gerhana merupakan tanda kekuasaan Allah untuk
menakuti hamba-hamba-Nya sebagaimana pada bencana alam lainnya seperti gempa
bumi, dan sebagainya agar manusia kembali kepada Allah, mau menaati-Nya dan
tidak lagi berbuat maksiat. Oleh karena itu, saat terjadi gerhana Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang ketika itu untuk
melaksanakan shalat, berdoa, berdzikr, beristighfar (meminta ampunan),
bersedekah, dan melakukan amal saleh lainnya seperti memerdekakan budak dengan
harapan mereka tidak ditimpa sesuatu yang mengkhawatirkan. Aisyah radhiyallahu
'anha berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari dimana
angin bertiup kencang dan cuaca mendung, tampak raut muka (gelisah) di
wajahnya, Beliau bolak-balik berjalan. Namun ketika hujan turun, Beliau senang
dan hilang sikap seperti itu. Aku pun bertanya kepada Beliau (tentang
sikapnya), maka Beliau menjawab, "Saya khawatir hal itu merupakan azab
yang ditimpakan kepada ummatku," sedangkan ketika melihat hujan, Beliau
bersabda, "(Ini adalah) rahmat." (HR. Muslim)
Di
hadits sebelumnya, Beliau menjelaskan bahwa gerhana terjadi bukanlah karena ada
seorang tokoh yang meninggal atau karena lahirnya seorang tokoh. Maksud Beliau
berkata begitu adalah untuk menghilangkan anggapan yang menyebar di saat itu,
dimana ketika itu Ibrahim putera Beliau wafat, lalu mereka pun mengaitkan
terjadi gerhana karena wafatnya putera Beliau, maka Beliau menghilangkan
anggapan tersebut. Oleh karena itu, hendaknya setelah shalat gerhana, imam
mengingatkan demikian serta menghilangkan keyakinan-keyakinan tidak benar yang
ada di masyarakat ketika terjadi gerhana.
Faedah kusuf dan hikmahnya
Kusuf
memiliki hikmah yang banyak, di antaranya adalah:
1. Terdapat bukti bahwa
matahari, bulan dan alam semesta ini diatur oleh Allah Ta'ala.
2. Menunjukkan tidak pantasnya
matahari dan bulan disembah.
3. Menyadarkan hati yang
sebelumnya lalai.
4. Sebagai contoh terhadap hal
yang akan terjadi pada hari kiamat, dan bahwa hal itu mudah bagi Allah.
5. Peringatan bahwa musibah
bisa saja menimpa kepada orang yang tidak berdosa sebagai peringatan bagi orang
yang berdosa.
6. Mengingatkan manusia yang
sebelumnya menjalankan ibadah tanpa disertai rasa khauf (takut), maka dengan
adanya gerhana diharapkan mereka menjalankannya dengan rasa takut dan harap.
Hukum shalat kusuf
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat kusuf. Ada yang berpendapat bahwa
hukumnya sunnah mu'akkadah (sangat ditekankan). Ada yang berpendapat bahwa
hukumnya sunah. Sedangkan yang lain berpendapat wajib. Jumhur (mayoritas ulama)
berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah mu'akkadah baik bagi laki-laki maupun
wanita.
Sungguh
sangat disayangkan, amalan yang begitu penting ini ditinggalkan oleh sebagian
kaum muslimin. Kita dapat saksikan untuk acara yang tidak ada contohnya,
seperti Nisfu Sya'ban mereka beramai-ramai menghadirinya, sedangkan Sunnah yang
dasarnya shahih ini mereka tinggalkan.
Adab ketika terjadi gerhana
Ada
beberapa sikap yang selayaknya dilakukan saat terjadi gerhana, di antaranya
adalah:
1. Memiliki rasa takut kepada
Allah Ta'ala
2. Memikirkan siksaan Allah
kepada orang-orang yang berbuat maksiat.
Dalam
hadits Aisyah radhiyallahu 'anha disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam khutbahnya seusai shalat kusuf bersabda,
« مَا مِنْ
شَىْءٍ كُنْتُ لَمْ أَرَهُ إِلاَّ قَدْ رَأَيْتُهُ فِى مَقَامِى هَذَا حَتَّى
الْجَنَّةَ وَالنَّارَ ، وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَىَّ أَنَّكُمْ تُفْتَنُونَ فِى
الْقُبُورِ ...."
"Tidak ada satu pun
yang aku belum pernah melihatnya kecuali sekarang aku melihatnya di tempatku
ini sampai surga dan neraka. Telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan diuji
ketika di kubur…dst." (HR. Bukhari)
Pada
saat itu diperlihatkan kepada Beliau surga dan neraka. Beliau juga
diperlihatkan siksaan yang menimpa penghuni neraka, dilihatnya seorang wanita
yang disiksa karena mengurung seekor kucing tanpa memberinya makan dan minum,
dilihatnya 'Amr bin Malik bin Luhay menarik ususnya di neraka, dimana dia
adalah orang pertama yang merubah agama Nabi Ibrahim 'alaihis salam, dia membawa
berhala kepada orang-orang Arab sehingga mereka menyembahnya. Dilihatnya
penghuni neraka yang terbanyak, yaitu kaum wanita karena sikap kufur mereka
kepada suami; mereka tidak berterima kasih terhadap kebaikan suami. Dilihat
oleh Beliau siksaan orang yang mencuri barang bawaan jamaah hajji dan
diberitakan kepada Beliau fitnah kubur. Beliau memerintahkan kaum muslimin
ketika itu untuk berlindung dari azab kubur. Beliau juga bersabda,
وَاللهِ لَوْ
تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً، وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا
"Demi Allah, kalau
sekiranya kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit
tertawa dan banyak menangis." [lihat dalil-dalilnya di kitab Shalaatul
Kusuf oleh Dr. Sa'id Al Qahthaaniy]
3. Hendaknya ada yang
menyerukan "Ash Shalaatu Jaami'ah" (mari shalat berjama'ah)
agar orang-orang yang masih di rumah keluar berkumpul untuk shalat gerhana.
Demikianlah
yang dilakukan di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lafaz
tersebut tidaklah diucapkan pada setiap kali shalat lima waktu berjama'ah,
bahkan untuk shalat kusuf. Sedangkan untuk shalat lima waktu berjama'ah,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan agar meluruskan dan
merapatkan barisan.
4. Ketika shalat kusuf tidak
ada azan dan iqamat.
5. Dalam shalat Kusuf, bacaan
dijaharkan.
6. Shalat Kusuf dilakukan di
masjid.
Ibnu
Qudamah rahimahullah menjelaskan bahwa sunnahnya shalat kusuf itu dilakukan
berjama'ah di masjid, dan dibolehkan melaksanakannya masing-masing. Namun
melakukannya secara berjama'ah lebih utama, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam melaksanakannya berjama'ah, dan sunnahnya orang-orang shalat di masjid
(Lihat Al Mughni 3/322)
7. Dalam shalat kusuf, kaum
wanita juga boleh ikut bersama kaum laki-laki di belakang mereka.
8. Shalat kusuf ini berlaku
juga bagi musafir, berdasarkan keumuman perintah Beliau untuk melaksanakan
shalat kusuf ketika melihat gerhana.
9. Diadakan khutbah setelah
shalat kusuf.
Berdasarkan
hadits-hadits yang shahih bahwa khutbah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam shalat kusuf dilakukan setelah salam, lalu Beliau duduk di atas mumbar
(dimana mimbar Beliau terdiri dari tiga tangga), Beliau berkhutbah, memuji
Allah dan menyanjung-Nya, lalu menjelaskan bahwa matahari dan bulan terjadi
gerhana bukanlah karena kematian seseorang dan karena lahirnya seseorang,
Beliau juga menyuruh bersedekah, beristighfar, dan berdoa. Beliau juga
menjelaskan tentang siksa kubur dan siksaan di neraka.
10.
Bersegera untuk berdzikr, berdoa, beristighfar, bertakbir,
memerdekakan budak, bersedekah, shalat, dan berlindung dari azab kubur dan azab
neraka.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ
ذَلِكَ، فَاذْكُرُوا اللهَ، وَكَبِّرُوْا، وَصَلُّوْا، وَتَصَدَّقُوْا
"Apabila kalian
melihatnya, maka segeralah dzikrullah, bertakbir, shalat dan bersedekah."
(HR. Malik, Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa'i)
إِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَافْزَعُوْا إِلَى ذِكْرِ
اللهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
“Jika
kalian melihat hal itu, maka segeralah berdzikir kepada Allah, berdoa, dan
beristighfar kepada-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa)
Asma
binti Abi Bakar radhiyallahu ‘anha berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan memerdekakan budak pada saat terjadi gerhana matahari.” (HR.
Bukhari)
Dengan
demikian, bahwa amalan yang dilakukan saat gerhana adalah shalat, berdoa,
istighfar, takbir, dzikr, sedekah, memerdekakan budak, dan berlindung dari azab
kubur dan azab neraka (hal ini berdasarkan beberapa hadits shahih).
Waktu pelaksanaan shalat kusuf
Waktu
shalat kusuf dimulai ketika pertama kali gerhana hingga selesai, dalilnya
adalah hadits Abu Bakrah berikut:
كُنَّا
عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَانْكَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَقَامَ
النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى دَخَلَ الْمَسْجِدَ ،
فَدَخَلْنَا فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ ، حَتَّى انْجَلَتِ الشَّمْسُ
"Kami pernah berada di
sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu terjadilah gerhana, maka
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit sambil menarik selendangnya hingga
masuk ke masjid. Kami pun ikut masuk ke masjid, lalu Beliau shalat bersama kami
dua rakaat sampai hilang gerhana matahari." (HR. Bukhari)
Cara Pelaksanaan shalat gerhana
Tatacara pelaksanaan shalat gerhana adalah sbb:
1. Dilakukan dua rakaat. Masing-masing rakaat dua kali
ruku’ dan dua kali berdiri (pada setiap berdiri membaca Al Fatihah dan surat).
Sebelum membaca surat Al Fatihah, seperti biasa
membaca doa istiftah.
Catatan: Boleh menjaharkan (mengeraskan) dan
mensirkan bacaan Al Fatihah dan surat dalam shalat Kusuf, akan tetapi Imam
Bukhari berpendapat, bahwa menjaharkan lebih shahih.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaharkan bacaannya dalam shalat kusuf.” (HR.
Bukhari no. 1065).
2. Disyari'atkan agar lama ketika berdiri, ruku’, dan
sujud dalam shalat gerhana.
Lebih jelasnya, mari kita simak penjelasan Aisyah
radhiyallahu ‘anha sebagai berikut,
“Telah terjadi gerhana di
masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau keluar ke masjid dan
orang-orang pun membuat barisan di belakangnya, Beliau bertakbir dan membaca
surat yang panjang, lalu bertakbir untuk ruku’, Beliau melakukan ruku’ yang
lama, lalu bangkit sambil mengucapkan “Sami'allahu liman hamidah”, Beliau pun
berdiri dan tidak langsung sujud bahkan membaca surat yang panjang, namun tidak
sepanjang seperti yang pertama. Beliau pun bertakbir lalu ruku’ dan melakukan
ruku’ yang lama, namun tidak lama seperti ruku’ yang pertama, kemudian bangkit
sambil mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah” “Rabbanaa walakal
hamd.” Lalu Beliau sujud, Beliau melakukan rakaat kedua sama seperti itu,
sehingga ruku’ Beliau bejumlah empat kali dengan empat kali sujud (yakni
sujudnya seperti biasa. Matahari pun semakin tampak sebelum Beliau salam, lalu
Beliau berdiri dan berkhutbah ke hadapan manusia. Beliau memuji Allah dengan
pujian yang berhak diberikan kepada-Nya, selanjutnya Beliau bersabda,
«إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ، لَا
يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ، وَلَا لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا
فَافْزَعُوا لِلصَّلَاةِ»
“Sesungguhnya matahari dan
bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidaklah
terjadi gerhana karena kematian dan hidupnya seseorang. Jika kalian melihatnya,
maka segeralah shalat.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Catatan: Dalam shalat gerhana tidak ada azan maupun iqamat berdasarkan
kesepakatan para ulama.
Shalat lil Aayaat (karena ada peristiwa mengkhawatirkan)
Peristiwa
yang mengkhawatirkan itu misalnya gempa bumi, angin kencang, terangnya suasana
di malam hari, gelapnya suasana di siang hari, halilintar yang keras, hujan
tidak kunjung henti, dan peristiwa lainnya yang mengkhawatirkan.
Dalam
keadaan seperti ini ada beberapa pendapat ulama seperti yang disebutkan di
bawah ini:
- Tidak ada shalat lil
aayaat selain gempa bumi dan kusuf. Ini pendapat ulama madzhab Hanbali.
- Tidak ada shalat lil
aayaat selain kusuf (karena gerhana). Ini adalah madzhab Malik.
- Setiap ada peristiwa yang
mengkhawatirkan ada shalat (caranya seperti shalat kusuf).
Pendapat
ketiga beralasan dengan peristiwa kusuf (gerhana), dimana Allah menjadikannya
untuk menakuti hamba-hamba-Nya sehingga disyari'atkan shalat, demikian juga
pada peristiwa yang mengkhawatirkan lainnya. Di samping itu, Ibnu Abbas pernah
melakukan shalat karena gempa bumi yang terjadi di Basrah. Pendapat ketiga
merupakan pendapat Abu Hanifah, Ibnu Hazm, salah satu riwayat dari Imam Ahmad
dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata,
"Hal ini seperti yang anda saksikan memiliki (alasan) yang sangat
kuat."
- Tidak ada shalat lil aayat
secara berjamaah selain shalat gerhana, bahkan cukup melakukan shalat dan
bertadharru’ (merendahkan diri kepada Allah) di rumahnya. Ini pendapat Imam
Syafi’i, dan dipilih oleh Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqhis Sunnah.
Fawaa'id (beberapa catatan penting)
1. Seseorang dianggap
mendapatkan satu rakaat pertama ketika mendapatkan ruku' pertama dari rakaat
pertama. Oleh karena itu, barang siapa yang mendapatkan ruku' kedua dari rakat
pertama, maka ia dianggap belum mendapatkan rakat pertama, sehingga ia harus
menambahkan satu rakat lagi dengan dua kali ruku'. Inilah pendapat yang rajih
di antara pendapat-pendapat yang ada di kalangan ahli ilmu.
2. Apabila gerhana telah
selesai, maka tidak dilakukan shalat. Demikian juga jika seseorang tidak sempat
shalat kusuf, maka tidak disyari'atkan baginya mengqadha'.
3. Praktek shalat gerhana
bulan dengan gerhana matahari adalah sama. Ini adalah madzhab Syafi’i, Ahmad,
Dawud, Ibnu Hazm, Atha, Al Hasan, An Nakha’i, Ishaq, dan ada riwayat dari Ibnu
Abbas terhadapnya. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda
kekuasaan Allah. Keduanya tidaklah terjadi gerhana karena kematian dan hidupnya
seseorang. Jika kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, dan shalatlah
sampai gerhana itu hilang…dst.” (HR. Bukhari
dan Muslim dari hadits Mughirah).
4. Apabila gerhana telah
selesai, sedangkan orang-orang masih dalam pelaksanaan shalat, maka mereka
menyelesaikannya dengan ringan. Tetapi jika belum selesai gerhana, namun mereka
telah selesai shalat, maka hendaknya mereka memperbanyak doa, takbir, sedekah, dan
sebagainya sampai hilang gerhana itu.
5. Apabila para ahli falak
berkata bahwa akan terjadi gerhana, maka kita tidak melakukan shalat gerhana
sampai kita menyaksikan gerhana. Hal ini, berdasarkan sabda Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam "Fa idzaa ra'aytum dzaalik," (Apabila kalian
melihatnya…dst). Oleh karena itu, Syaikh Ibnu 'Utsaimin berpendapat bahwa jika
terjadi gerhana namun tidak dapat dilihat kecuali dengan alat tertentu, seperti
teropong, maka kita tidak melakukan shalat gerhana (Lih. Asy Syarhul Mumti'
5/236-237).
6. Menurut pendapat yang
shahih, bahwa shalat kusuf boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang karena
keumuman perintah Beliau untuk segera melaksanakan shalat.
Demikian mungkin hal yang dapat kami kumpulkan seputar shalat
gerhana semoga bermanfaat, wal hamdulillahi rabbil 'aalamin.
Marwan bin Musa
Maraaji': Shalatul Kusuf (Dr. Sa'id Al Qahthaaniy), Al Wajiz
(Abdul 'Azhiim bin Badawi), Al Kusuf (Syaikh Ali bin Hasan Al
Halabiy), Maktabah
Syamilah versi
3.45, Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li
Abhatsil Qur’an was Sunnah), Fiqhus
Sunnah
(Syaikh Sayyid Sabiq), Shahih Fiqhis Sunnah (Abu Malik Kamal), dll.
0 komentar:
Posting Komentar