بسم الله الرحمن الرحيم
Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah (6)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Berikut ini
lanjutan risalah Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma Amin.
Ciri khusus dan keistimewaan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang selamat,
mereka memiliki keistimewaan yang tidak ditemukan pada yang lain, di antaranya
adalah:
1. Memberikan perhatian penuh terhadap kitab Allah, baik
dengan menghapal, membaca, mendalami tafsirnya, dsb. Demikian juga memberikan
perhatian penuh terhadap hadits baik dengan mengetahui, memahami, memilah-milah
antara yang shahih dengan yang dha’if karena keduanya adalah sumber rujukan. Mereka
juga mengiringi ilmu dengan amal.
2. Masuk ke dalam ajaran Islam secara menyeluruh, mengimani
kitab-kitab semuanya, mereka mengimani semua dalil baik yang isinya janji
maupun ancaman, demikian juga dalil-dalil yang isinya itsbat (menetapkan) dan
yang isinya tanzih (mensucikan), serta menggabungkan antara iman kepada qadar
Allah dan menetapkan adanya iradah (keinginan) pada hamba serta adanya
kehendaknya dan perbuatannya. Mereka juga menggabung antara ilmu dengan ibadah,
antara ketegasan dan kasih sayang, dan antara mengerjakan sebab dengan sikap
zuhud.
3. Dalam beragama ciri khas mereka adalah ittibaa’
(mengikuti) dan tidak berbuat bid’ah, bersatu dan tidak berpecah-belah, juga
menjauhi berselisih dalam beragama.
4. Mereka menapaki jejak para A’immatul hudaa (imam kaum
muslimin) dan mengikuti mereka dalam hal ilmu, amal dan berdakwah, yaitu yang
terdiri dari para sahabat serta orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka
serta menjauhi jalan yang menyelisihi jalan mereka.
5. Mereka tawassuth (berada di tengah-tengah). Misalnya
dalam hal ‘Akidah; mereka berada di tengah-tengah antara golongan yang melampaui batas dan golongan yang
tafrith (meremehkan). Mereka berada di tengah-tengah antara kaum Qadariyyah dan
Jabriyyah, kaum Musyabbihah dan Mu’aththilah.
Sebagaimana dalam beribadah
manhaj mereka adalah i’tidal (pertengahan) antara
sikap tasaahul/takaasul (meremehkan atau bermalas-malasan) dan tasyaddud/ghuluw
(melewati aturan yang ditetapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).
Mereka itulah ummatan wasathan (lihat QS. Al
Baqarah : 143).
6. Dalam masalah Ushuul atau ‘Aqidah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah
tidak berselisih dan berbeda. Pendapat mereka tentang asma dan sifat Allah
adalah sama, pendapat mereka tentang qadar juga sama.
7. Mereka berhati-hati dalam menerima berita dan tidak
segera menghukumi.
8. Mereka berusaha untuk menyatukan kaum muslimin,
merapihkan barisan mereka di atas tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam serta menjauhkan ummat dari segala hal yang
mendatangkan pertikaian dan perselisihan.
Dari sinilah mengapa mereka disebut
dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka berusaha mengikat diri mereka
dengan Islam dan Sunnah. Dan Islam adalah Sunnah, Sunnah juga adalah Islam.
9. Ahlus Sunnah wal Jama’ah berdakwah; mengajak manusia
kepada Allah, beramr ma’ruf dan bernahy mungkar, berjihad, menghidupkan Sunnah
dan berusaha memperbaiki ummat serta berusaha menegakkan syari’at Allah baik
dalam perkara kecil maupun besar.
10.Dalam beribadah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menggabung antara
rasa takut kepada neraka, rasa berharap akan surga Allah, dan rasa cinta kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
11.Ahlus Sunnah wal Jama’ah berusaha menegakkan syari’at
Islam di negara yang tidak menggunakannya, juga berusaha membentuk kehidupan
yang Islami dengan cara yang benar, cara yang dapat menghimpun kaum muslimin dan
menyatukan mereka yang sejalan dengan minhaj taghyir rabbaniy (merubah secara
Islami) yaitu:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu
kaum sehingga mereka merubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d: 11).
Tanpa
membentuk golongan-golongan dan mengadakan fanatisme, dengan berpegang teguh
kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salaful Ummah (generasi pertama
Islam), serta tolong-monolong dalam kebaikan dan taqwa, juga tawaashau bil haq wa
tawaashau bish shabr, membersihkan segala yang bukan dari Islam (tashfiyah) dan
membina kaum muslimin dengan tarbiyah yang benar sesuai Al Qur’an dan As
Sunnah.
12.Mereka memiliki rasa inshaf (sadar) dan adil, mereka
mengedepankan Islam, bukan mengedepankan diri maupun golongan. Oleh karena itu, mereka tidak berlebihan dalam hal walaa’ (cinta dan setia) dan tidak
bersikap zhalim terhadap orang yang mereka baraa’ (jauhi) serta tidak
mengingkari kelebihan orang yang memang memilikinya.
13.Ahlus Sunnah wal Jama’ah berusaha menyatukan pemahaman
dan sikap betapa pun antara sesama mereka
berjauhan tempat dan zaman, ini semua merupakan buah dari kesamaan sumber dan rujukan.
14.Mereka memiliki sifat ihsan dan sayang, serta akhlak yang baik kepada manusia semuanya.
15.Ahlus Sunnah wal Jama’ah menggabung antara sikap lembut
dan tegas, berbeda dengan golongan yang lain, di mana mereka hanya mengambil
sikap lembut saja dalam semua keadaan atau sikap tegas saja dalam semua
keadaan. Tetapi Ahlus Sunnah wal Jama’ah menggabung kedua-duanya, dan
menempatkan masing-masing pada posisinya sesuai maslahat dan kondisi.
16.Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki amanah ilmiyah, misalnya:
Mereka tidak menyampaikan
perkataan setengah-setengah karena hendak mendukung pendapatnya, bahkan
mereka menyampaikan terus-terang apa adanya. Jika benar, mereka mengakuinya dan jika salah maka mereka bantah, semuanya mereka dasari dengan
dalil. Mereka merujuk kepada yang hak jika memang ternyata demikian, dan mereka tidak berfatwa dan
memutuskan sesuatu tanpa ilmu. Mereka juga adalah orang yang paling sering
menisbatkan suatu perkataan kepada orang yang mengatakannya dan paling jauh
menisbatkan perkataan kepada orang yang tidak mengatakannya.
17.Mereka bersikap tulus kepada Allah, kitab-kitab-Nya,
Rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin semuanya.
Sikap tulus mereka kepada
Allah di antaranya adalah dengan beriman kepada-Nya, hanya beribadah
kepada-Nya dan
tidak berbuat syirk, mengerjakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, cinta karena-Nya dan bencipun karena-Nya, mencintai orang-orang yang mencintai-Nya dan membenci orang-orang yang memusuhi-Nya (seperti orang-orang
kafir), berjihad terhadap orang-orang yang kafir kepada-Nya, mengakui
nikmat-Nya dan
bersyukur kepada-Nya.
Sikap tulus mereka kepada kitab Allah di
antaranya adalah dengan mengimaninya bahwa ia adalah firman Allah bukan
makhluk, karena firman termasuk sifat-Nya dan sifat-Nya bukan makhluk,
diturunkan dari Allah dan tidak sama dengan perkataan manusia, juga
memuliakannya, membaca dengan sebenar-benarnya disamping memperbagus suara
ketika membacanya, khusyu’ ketika membacanya, membenarkan isinya, mengambil
pelajaran darinya, merenungi isinya, mengamalkan ayat-ayat yang muhkam
(Jelasnya), dan
mengimani yang mutasyabihatnya.
Sikap tulus mereka kepada rasul-Nya di
antaranya adalah mengimani bahwa ia adalah hamba Allah dan utusanNya, serta
mengamalkan konsekwensi dari iman kepadanya dengan mengerjakan perintahnya,
menjauhi larangannya, membenarkan sabdanya dan beribadah kepada Allah sesuai
contohnya.
Sikap tulus mereka kepada pemerintah Islam,
meskipun ia zhalim –selama tidak melakukan kekufuran[i] seperti
meninggalkan shalat - di antaranya adalah menaati mereka selama
perintahnya bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak memberontak
terhadap mereka, menasihati mereka dengan halus (seperti secara rahasia), mendoakan
kebaikan untuk mereka agar dijaga Allah
dari ketergelinciran, diperbaiki keadaannya, dsb. Demikian juga berjihad di
belakang mereka serta shalat Jum’at, ‘Ied, dan shalat Jama’ah bersama mereka. Termasuk
sikap yang tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim adalah menjelek-jelekkan
mereka dan menghina mereka.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Mereka
(pemerintah) memimpin lima urusan kita; Shalat Jum’at, shalat Jama’ah, shalat
hari raya, tsughuur (jihad), dan peneggakkan hudud (hukuman khusus bagi pelaku
pidana). Demi Allah, agama ini tidak mungkin berdiri tegak tanpa mereka,
meskipun mereka zalim dan aniaya. Demi Allah, Allah memperbaiki keadaan lewat
mereka (masih) lebih banyak daripada kerusakan yang mereka buat...”
Sedangkan sikap tulus mereka (Ahlus Sunnah
wal Jama’ah) kepada seluruh kaum muslimin di antaranya adalah membimbing mereka
ke arah kebaikan dunia dan akhirat yakni dengan menyuruh mereka melaksanakan
perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya.
18.Ahlus Sunnah wal Jama’ah menggandengkan antara memiliki
harta yang banyak dengan sikap zuhud.
Mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
tidak mengingkari orang yang memiliki harta banyak dan bekerja keras mencari rezeki, bahkan memang seharusnya seseorang berusaha mencukupkan
dirinya dan orang yang ditanggungnya serta berusaha agar jangan sampai
meminta-minta kepada orang lain, namun tidak sampai dunia menjadi harapan besarnya, dan tidak sampai mencari rezeki dengan jalan yang tidak halal.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga
tidak mencela orang yang berusaha mencukupkan diri sekedarnya dan hanya puas
dengan harta yang sedikit, karena mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) memandang, bahwa zuhud adalah zuhud hati, yaitu seseorang meninggalkan hal yang
tidak bermanfaat untuk mengejar akhiratnya.
Jika seseorang memiliki harta yang banyak dan harta itu tidak menguasai
hatinya, namun hanya di tangannya saja, ia pun gunakan harta itu untuk membantu
saudara-saudaranya kaum muslimin, bersedekah kepada kaum fakir dan miskin, serta membantu dakwah Islam, maka itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Contoh dalam hal ini adalah Abu Bakr Ash Shiddiq, Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman
bin ‘Auf dan sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
lain, mereka adalah orang-orang yang zuhud dengan harta yang mereka miliki.
Bahkan Ibnul Mubarak adalah orang yang sangat kaya di zamannya namun pada saat
itu juga ia adalah orang paling zuhud.
19.Mereka memperhatikan masalah kaum muslimin dan menolong
mereka, serta menunaikan hak mereka,
juga berusaha menghindarkan hal yang mengganggu mereka.
Inilah di antara ciri-ciri Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang
membedakan dengan yang lain, tetapi hal itu bukanlah berarti bahwa mereka
adalah ma’shum (terjaga dari kesalahan)? Tidak, bahkan yang ma’shum adalah manhaj dan kumpulannya, adapun
secara perorangan, maka bisa saja mereka terjatuh ke dalam kezaliman.
Khatimah
Kaum salaf dahulu pernah
mengatakan,
أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ إِنْ
قَعَدَتْ بِهِمْ أَعْمَالُهُمْ ـ قَامَتْ بِهِمْ عَقَائِدُهُمْ ، وَأَهْلُ اْلبِدَعِ
إِنْ كَثُرَتْ أَعْمَالُهُمْ قَعَدَتْ بِهِمْ عَقَائِدُهُمْ
“Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu
meskipun amal mereka kurang, namun dibantu oleh ‘Aqidahnya. Namun Ahlul bid’ah,
meskipun amal mereka banyak, namun dikurangi oleh ‘Aqidahnya.”
Kita
berdoa kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala agar Dia menghidupkan
kita di atas Sunnah dan mematikan kita di atas Sunnah.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabatnya,
dan orang-orang yang mengikuti petunjuknya.
Marwan bin
Musa
Maraaji’: Mujmal ushul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (Dr. Nashir Al ‘Aql), Mukhtashar
‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah
(M. Ibrahim Al Hamd), Al ‘Aqiidah Ash Shahiihah (Syaikh Ibnu
Baz), Bekal Menuju Akhirat (penyusun), Syarh Tsalaatsatil Ushuul
(Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Kitab At Tauhid (DR. Shaalih Al Fauzaan), Minhajul
Muslim (Syaikh Abu Bakr Al Jazaa’iriy), Syarh Lum’atil I’tiqad
(Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), dll.
[i] Kita tidak boleh mengkafirkan
pemerintah kecuali jika telah terpenuhi tiga syarat:
Pertama, pemerintah telah melakukan
kekafiran yang jelas.
Kedua, ada dalil tentang kafirnya
perbuatan itu
Kedua syarat ini berdasarkan hadits berikut,
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ
دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا
أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا
وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ
الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ « إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ
اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ » .
Dari 'Ubadah bin Ash Shaamit ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah memanggil kami, lalu kami membai'at Beliau, dan di antara isi
bait'atnya kepada kami adalah kami harus mendengar dan taat (kepada pemerintah)
baik dalam hal yang kami senangi maupun yang kami tidak sukai, baik dalam hal
yang sulit bagi kami maupun yang mudah, serta mendahulukan hal itu di atas hak kami, juga kami
dilarang merebut kekuasaan dari seseorang, Beliau bersabda, "Kecuali
jika kamu melihat kekufuran yang nyata dan kamu memiliki dalil/alasan dari sisi
Allah tentang hal itu." (HR. Muslim)
Ketiga, yang mengkafirkan adalah ulama
berdasarkan QS. An Nisaa':
83, kata-kata "Ulil amri" di ayat tersebut adalah ulama.
Kami mendapatkan keterangan ini dari ceramah yang disampaikan oleh
Syaikh DR. Sulaiman bin Salimullah Ar Ruhailiy di Masjid Istiqlal.
0 komentar:
Posting Komentar