بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (4)
(Keutamaan Tauhid)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut
ini lanjutan syarah ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang
kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr.
Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Itban
disebutkan,
فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ
حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، يَبْتَغِي
بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan
neraka bagi orang yang mengucapkan Laailaahaillallah dengan mengharap wajah
Allah.”
**********
Penjelasan:
Itban bin Malik bin ‘Amr bin ‘Ijlan Al Anshariy dari Bani
Salim bin Auf. Ia adalah seorang sahabat masyhur yang wafat pada masa
pemerintahan Mu’awiyah. Menurut jumhur, ia termasuk sahabat yang hadir dalam
perang Badar. Ibnu Sa’ad menyebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mempersaudarakan antara Itban dengan Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Maksud, “Allah mengharamkan neraka” adalah mencegah neraka dari membakar dirinya.
Maksud, “mengharap wajah Allah,” adalah ikhlas dari hatinya
dan wafat di atas itu. Ia tidak mengucapkannya karena nifak.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan, bahwa barang siapa yang mengucapkan Laailaahaillallah; mengakui
dan menerima kandungannya dengan ikhlas baik secara lahir maupun batin, dan ia
wafat di atasnya, maka pada hari Kiamat dirinya tidak disentuh api neraka.
Kesimpulan:
1. Keutamaan tauhid, bahwa ia
dapat menyelamatkan diri dari neraka dan dapat menghapuskan dosa-dosa.
2. Tidak cukup dalam beriman
hanya mengucapkan di lisan tanpa ada keyakinan di hati, seperti halnya kaum
munafik.
3. Tidak cukup dalam beriman
hanya meyakini di hati tanpa diucapkan di lisan, seperti halnya kaum yang
ingkar.
4. Diharamkan bagi neraka
menyentuh orang yang tauhidnya sempurna.
5. Amal tidaklah bermanfaat
sampai dilakukan ikhlas karena Allah dan mengikuti Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
6. Orang yang mengucapkan Laailaahaillallah
namun ia masih berdoa kepada selain Allah, maka ucapannya itu tidak
bermanfaat baginya sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Quburiyyun yang
mengucapkan Laailaahaillallah, namun masih berdoa kepada orang-orang
mati dan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada mereka.
7. Menetapkan wajah bagi Allah
Azza wa Jalla sesuai yang layak dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
**********
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «قَالَ
مُوسَى: يَا رَبِّ عَلِّمْنِي شَيْئًا أَذْكُرُكَ بِهِ، وَأَدْعُوكَ بِهِ، قَالَ:
قُلْ يَا مُوسَى: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: يَا رَبِّ كُلُّ عِبَادِكَ
يَقُولُ هَذَا، قَالَ: قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: إِنَّمَا أُرِيدُ
شَيْئًا تَخُصُّنِي بِهِ، قَالَ: يَا مُوسَى لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاوَاتِ
السَّبْعِ وَالْأَرَضِينَ السَّبْعِ فِي كِفَّةٍ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فِي
كِفَّةٍ، مَالَتْ بِهِنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ»
Dari Abu Sa’id Al Khudriy, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Nabi Musa ‘alaihis salam pernah berkata, “Ya Rabbi,
ajarkanlah aku kalimat yang kugunakan untuk memuji-Mu dan berdoa kepada-Mu,”
Allah berfirman, “Ucapkanlah Laailaahaillallah wahai Musa!” Musa
berkata, “Yaa Rabbi, semua hamba-Mu mengucapkannya.” Allah berfirman,
““Ucapkanlah Laailaahaillallah!” Musa berkata, “Yang aku inginkan adalah
kalimat khusus yang Engkau ajarkan kepadaku.” Allah berfirman, “Wahai Musa!
Kalau sekiranya penghuni langit yang tujuh dan bumi yang tujuh berada di satu
daun timbangan, dan ucapan Laailaahaillallah di daun timbangan yang
lain, maka Laailaahaillallah lebih berat dari semua itu.” (HR. Ibnu
Hibban dan Hakim, ia menshahihkannya).
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan oleh Ibnu Hibban no. 2324,
Hakim dalam Al Mustadrak (1/528), Nasa’i dalam Amalul Yaumi wal
Lailah no. 834 dan 1141, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim, serta
disepakati oleh Adz Dzahabiy. Haitsamiy dalam Majma’uz Zawaid (10/82)
berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, para perawinya ditsiqahkan, namun pada
mereka ada kelemahan.” Syaikh Syu’ib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Shahih
Ibnu Hibban (14/102) menyatakan bahwa isnad hadits tersebut dha’if, kaena
Darraj Abus Samh dalam riwayatnya dari Abul Haitsam ada kelemahan. Syaikh Al
Albani juga menyatakan bahwa hadits tersebut dhaif dalam At Ta’liqur Raghib
(2/238-239).
**********
Dalam riwayat Tirmidzi, dan ia menghasankannya, dari Anas
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : يَا
ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ
لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Sesungguhnya
jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau datang kepada-Ku dalam keadaan tidak
menyekutukan-Ku dengan sesuatu, maka Aku akan datang kepadamu dengan ampunan
sepenuh itu pula.”
**********
Penjelasan:
Anas bin Malik bin Nadhr Al Anshariy Al Khazrajiy adalah
pelayan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Ia melayani Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam selama sepuluh tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mendoakannya, “Ya Allah, perbanyaklah hartanya, anaknya, dan berkahilah
pemberian-Mu kepadanya.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani). Ia
wafat pada tahun 92 atau 93 H, dan usianya lebih dari 100 tahun.
Maksud kalimat, “Kemudian engkau datang kepada-Ku dalam keadaan tidak
menyekutukan-Ku dengan sesuatu,”
adalah meninggal dunia dalam keadaan tidak berbuat syirk.
Maksud kata, “ampunan” adalah dimaafkan dosa-dosa
dan kesalahannya.
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan firman Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, dimana Dia menerangkan
kepada mereka luasnya karunia dan rahmat-Nya, dan bahwa Dia mengampuni semua
dosa betapa pun banyak dosa itu selama bukan syirk. Hadits ini sama seperti
firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48)
Kesimpulan:
1. Keutamaan Tauhid dan banyaknya
pahala yang dihasilkan darinya.
2. Luasnya karunia Allah,
kemurahan-Nya, rahmat-Nya, dan ampunan-Nya.
3. Bantahan terhadap kaum
Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar yang bukan syirk.
4. Menetapkan sifat “kalam”
(berbicara) bagi Allah Azza wa Jalla yang sesuai dengan keagungan-Nya.
5. Penjelasan terhadap makna Laailaahaillallah,
dan bahwa kandungannya menghendaki untuk meninggalkan syirk baik yang kecil
maupun yang besar, dan bahwa kalimat itu tidak cukup diucapkan di lisan, tetapi
wajib diamalkan kandungannya.
6. Menetapkan adanya kebangkitan,
hisab, dan pembalasan.
**********
BAB BARANG SIAPA YANG MEMURNIKAN TAUHID DENGAN
SEMURNI-MURNINYA, MAKA DIA AKAN MASUK KE DALAM SURGA TANPA HISAB
Firman Allah Ta’ala,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ
أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang
imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif.
Sekali-kali dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. An Nahl: 120)
وَالَّذِينَ هُمْ
بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ
“Dan orang-orang yang tidak
mempersekutukan Tuhan mereka (dengan sesuatu apa pun),” (QS. Al Mu’minun: 59)
**********
Maksud kata “hanif” adalah menghadap hanya kepada
Allah dan berpaling dari selain-Nya.
Maksud “Dia (Ibrahim) bukanlah termasuk orang-orang
yang mempersekutukan (Tuhan),” yakni ia telah berpisah dengan orang-orang
musyrik baik dengan hati, lisan, maupun badan, serta mengingkari kemusyrikan
mereka.
Pada ayat yang pertama, Allah Subhaanahu wa Ta’ala
menyifati kekasih-Nya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan empat sifat, yaitu: (a)
teladan dalam kebaikan, karena sempurnanya kesabaran dan keyakinannya sehingga
ia menjadi imam dalam agama, (b) khusyu, taat, tunduk, dan senantiasa beribadah
kepada Allah Azza wa Jalla, (c) berpaling dari syirk dan menghadap Allah Azza
wa Jalla dengan bertauhid, (d) jauh dari syirk dan para pelakunya.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah contoh orang yang
memurnikan tauhid dengan semurni-murninya.
Pada ayat yang kedua, Allah Subhaanahu wa Ta’ala
menyifati kaum mukmin yang segera masuk surga, yaitu bahwa mereka tidak
menyekutukan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan sesuatu apa pun juga. Orang yang
demikian, berarti telah memurnikan tauhid dengan semurni-murninya.
Kesimpulan:
1. Keutamaan orang tua kita,
yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
2. Perintah menjadikannya teladan
karena sifat-sifatnya yang mulia.
3. Penjelasan tentang memurnikan
tauhid dengan semurni-murninya.
4. Wajibnya menjauhi syirk dan
para pelakunya.
5. Sifat orang-orang mukmin,
bahwa mereka memurnikan tauhid dengan semurni-murninya.
Bersambung...
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Al
Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan
Al fauzan), Al Ishabah fii Tamyizish Shahabah (Al Hafizh Ibnu Hajar Al
‘Asqaani), Shahih Ibnu Hibban (tahqiq Syu’aib Al Arnauth), Al
Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar