بسم الله الرحمن الرحيم
Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah (4)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Berikut ini
lanjutan risalah Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma Amin.
Tentang Kufur
Menurut Ahlus Sunnah lafaz kufur dalam lafaz syara’
terbagi dua: Kufur Akbar, yaitu kufur yang mengeluarkan dari Islam, dan Kufur
Ashghar (kecil), yaitu kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam. Kufur
Ashghar disebut juga kufur ‘amali.
Kufur
Akbar (besar), yaitu kufur yang mengeluarkan dari Islam karena pelakunya
menolak Islam, bentuk penolakannya bisa berupa:
a.
Takdzib (mendustakan) lihat dalilnya di
QS. Al ‘Ankabut: 68,
b.
Istikbar (sombong) lihat dalilnya di
QS. Al Baqarah: 34,
c.
Syak (ragu-ragu) lihat dalilnya di
QS. Al Kahfi: 35-38,
d.
I’radh (berpaling) lihat
dalilnya di QS. Al Ahqaaf: 3
e.
Nifaq (munafik) lihat
dalilnya di QS. Al Munaafiqin: 3.
f.
Bisa juga berupa Istihlaal
(menganggap halal sesuatu yang jelas-jelas haram).
Sedangkan
Kufur Ashghar (kecil) yakni kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam, ialah
perbuatan-perbuatan yang syara’ menamainya kufur. misalnya kufur terhadap
nikmat Allah, memerangi seorang muslim, dsb.
Tentang
Takfir
Menurut
Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah takfir (pengkafiran seseorang) termasuk hukum syar’i
yang kembalinya kepada Al Qur’an dan As Sunnah, tidak boleh mengkafirkan
seorang muslim karena ucapan atau perbuatan yang dilakukannya selama dalil
syar’i tidak menunjukkan demikian, dan tidak boleh mengatakan seseorang kafir
kecuali jika sudah terpenuhi syarat-syaratnya yaitu jika ia lakukan dengan kerelaan/merasa
tentram hati dengannya (yakni tidak dipaksa, lihat
dalilnya di QS. An Nahl : 106), sadar, baligh, berakal dan bukan karena
syubhat (salah ta’wil). Dan takfir adalah masalah yang butuh kehati-hatian.
Singkatnya,
takfir secara mu’ayyan (seseorang) harus adanya iqamatul hujjah (tegak
hujjah) dan izalatul mawani’ (hilangnya penghalang).
Tentang
Al Qur’an
Ahlus
Sunnah wal Jama'aah mengimani bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah (firman
Allah) baik huruf maupun maknanya, diturunkan bukan makhluk, dari Allah-lah
mulainya dan kepada-Nya-lah kembali. Turun dari Allah sebagai mu’jizat yang
menunjukkan benarnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Al Qur’an
tetap terus terjaga hingga hari kiamat.
Ahlus
Sunnah wal Jama'aah mengimani bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala berbicara
sesuai kehendak-Nya, kapan saja dikehendaki-Nya, dan bagaimanapun caranya
sesuai kehendak-Nya. Firman-Nya adalah hakikat dengan huruf dan suara, namun
kaifiyatnya tidak kita ketahui dan kita tidak mempermasalahkannya.
Menurut
Ahlus Sunnah wal Jama'aah siapa saja yang mengingkari satu saja ayat Al Qur’an,
mengatakan ada yang kurang, atau ada yang ditambahkan, atau terjadi
penyelewengan di dalamnya, maka orang itu kafir.
Al
Qur’an,
menurut Ahlus Sunnah harus ditafsirkan dengan tafsir yang sejalan dengan manhaj
salaf, tidak boleh menafsirkan dengan pendapat semata, karena hal ini bisa
masuk ke dalam berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu. Dan menafsirkan Al Qur’an
dengan tafsir kaum Bathiniyyah adalah sebuah kekufuran.
Tentang
masalah qadar
Termasuk
rukun iman adalah beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Termasuk
beriman kepada qadar adalah:
a. Beriman bahwa Allah mengetahui (‘ilm) segala sesuatu, yang telah terjadi
maupun yang akan terjadi, baik yang besar maupun yang kecil (lihat dalilnya di QS. Al Hajj : 70).
b. Dia mencatat (kitabah) taqdir semua makhluk dalam Al
Lauhul Mahfuzh (lihat
dalilnya di QS. Al Hadid : 22), Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam juga bersabda,
كَتَبَ
اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ
بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah mencatat taqdir semua
makhluk lima puluh tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim)
c. Semua yang terjadi di alam semesta adalah dengan iradah dan kehendak Allah
antara rahmat (kasih-sayang-Nya) dan hikmah-Nya, Dia menunjuki siapa saja yang
dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa saja yang
dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya, Dia tidak dimintai pertanggung jawaban terhadap
perbuatan-Nya karena sempurna hikmah dan kekuasaan-Nya, manusia-lah yang
dimintai pertanggung jawaban dan bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi,
sebaliknya apa saja yang tidak dikehendaki-Nya, pasti tidak akan terjadi.
d. Mengimani bahwa semua yang ada di langit dan di bumi
adalah makhluk (ciptaan) Allah Subhaanahu wa Ta'aala (lihat dalilnya di QS. Al
Furqan : 2 dan Ash Shaffaat : 96)
Iraadah (kehendak) Allah terbagi dua;
Kauniyyah dan Syar’iyyah.
ü Iraadah Kauniyyah, yaitu iraadah yang bermakna masyi’ah
(kehendak), seperti dalam ayat berikut,
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ
يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ
ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
“Barang siapa
yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan
dadanya untuk Islam. Dan barang siapa
yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak
lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.” (QS. Al An’aam : 125)
ü
Iraadah Syar’iyyah, yaitu iradah yang mengandung
makna mahabbah (cinta), seperti dalam ayat berikut,
وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ
عَلَيْكُمْ
“Dan Allah hendak menerima taubatmu.”
(QS. An Nisaa’ “ 27)
Perbedaan
antara Iraadah Kauniyyah dengan Syar’iyyah adalah, bahwa iradah kauniyyah itu
belum tentu dicintai Allah Ta’ala meskipun terwujud. Sedangkan iradah syar’iyyah
itu sudah tentu dicintai Allah Ta’ala meskipun belum/tidak terwujud.
Lebih
jelasnya tentang iradah kauniyyah adalah seperti pada ayat berikut,
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ
الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا
وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ
اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
"Dan kalau Allah menghendaki,
niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang
setelah rasul-rasul itu; setelah datang kepada mereka beberapa macam
keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang
beriman dan ada di antara mereka ada yang kafir. Seandainya Allah menghendaki,
tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang
dikehendaki-Nya.” (QS. Al Baqarah : 254)
Terjadinya
bunuh-bunuhan pada ayat tersebut adalah dengan kehendak Allah Ta’ala, karena
setiap yang terjadi di alam semesta ini adalah terjadi dengan kehendak
Allah sebagaimana telah dijelaskan, akan
tetapi kehendak Allah tersebut, bukanlah berarti bahwa Allah senang/cinta
dengan perbuatan tersebut meskipun terwujud.
Dalam beriman kepada qadar ada dua golongan yang menyimpang
dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah:
Golongan pertama yang menyimpang adalah Jabriyyah, mereka mengatakan
bahwa “Manusia dipaksa dalam perbuatannya dan tidak memiliki pilihan”.
Kita bantah
mereka dengan beberapa alas an berikut:
a.
Bukankah Allah Ta’ala menisbatkan amalan
manusia kepadanya dan menjadikannya sebagai usahanya, dimana dari sanalah ia
diberi pahala dan diberi siksa, kalau seandainya manusia dipaksa tentulah tidak
dinisbatkan amalannya kepadanya dan sudah barang tentu siksaan yang ditimpakan
kepadanya adalah sebuah kezaliman (penganiayaan).
b.
Bukankah kita merasakan antara perbuatan yang
dipaksakan dengan yang tidak dipaksakan? Dan bukankah kita tidak menerima kalau
ada yang menyakiti kita lalu ia beralasan bahwa ia menyakiti kita karena
dipaksa oleh qadar Allah? Apakah ia mengetahui sebelum menyakiti kita, bahwa
qadar Allah memutuskan untuk menyakiti kita, padahal qadar Allah itu tersembunyi?
Golongan
yang kedua adalah Qadariyyah, mereka mengatakan bahwa “Manusia bebas
terhadap sikapnya, Allah sama sekali tidak berkuasa terhadapnya.”
Kita bantah
mereka dengan mengatakan:
a. Sesungguhnya
perkataan mereka itu menyalahi Al Qur’an, As Sunnah, dan kenyataan.
b. Bukankah Allah Subhaanahu wa Ta’ala Penguasa/Raja alam semesta termasuk
manusia, lalu bagaimana kehendak-Nya dan kekuasaan-Nya sama sekali tidak ada
dalam kerajaan-Nya ?
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, bahwa seorang hamba
mendapatkan petunjuk atau menjadi sesat itu di Tangan Allah, siapa saja di
antara mereka yang diberi petunjuk oleh Allah maka itu karena karunia-Nya. Dan
di antara mereka ada orang yang memang sudah pantas tersesat, maka orang itu
tersesat karena keadilan-Nya.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, hamba dan amal yang dilakukannya termasuk makhluk ciptaan Allah yang
tidak ada Pencipta selain Dia (lihat dalilnya di QS. Ash Shaffaat : 96).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan hikmah (kebijaksanaan) pada setiap perbuatan Allah Ta’ala, dan
menetapkan bahwa sebab dapat berpengaruh dengan kehendak Allah.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah,
bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan sudah dicatat sebelum
manusia diciptakan.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, seseorang tidak boleh beralasan dengan qadar Allah ketika melakukan maksiat,
karena beberapa alasan berikut:
ü Allah Ta’ala menisbatkan amalan manusia itu kepada manusia dan menjadikan
amalan itu sebagai usahanya, Allah ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ
“Pada
hari ini, masing-masing jiwa akan dibalas dengan apa yang diusahakannya.” (Terj.
QS. Ghaafir : 17)
kalau
seandainya manusia tidak memiliki pilihan dan kemampuan tentu tidak dinisbatkan
amalan itu kepadanya.
ü Allah Ta’ala telah memerintah dan melarang manusia, serta tidak
membebaninya kecuali sesuai kesanggupannya, kalau seandainya manusia dipaksa
dalam mengerjakan sesuatu, tentu ia tidak bisa berbuat apa-apa atau tidak bisa
menolaknya, karena orang yang dipaksa tidak mampu melepaskan diri darinya dan
ini jelas batil. Oleh karena itu dalam Islam apabila terjadi maksiat karena
ketidaktahuan, lupa, atau dipaksa maka ia tidak berdosa.
ü Semua manusia dapat merasakan adanya perbedaan antara perbuatan yang ia
dapat memilihnya, dengan yang dipaksakan.
ü Orang yang melakukan maksiat sebelum mengerjakannya tidak tahu apa yang
ditaqdirkan untuknya, dia dengan kemampuannya bisa memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan, lalu mengapa ia malah memilih jalan yang salah dan beralasan
dengan qadar yang tidak diketahuinya? Bukankah sepantasnya ia menempuh jalan
yang baik lalu berkata “Inilah yang ditaqdirkan kepadaku. »
ü Bagaimana menurut anda, jika ada seseorang yang mengambil harta anda atau
mengganggu kehormatan anda lalu ia berkata kepada anda, “Saya lakukan ini
karena qadar Allah, maka jangan hukum saya.” Apakah anda akan menerima
alasannya? Tentu anda tidak akan menerima alasannya.
Bersambung…
Marwan bin
Musa
Maraaji’: Mujmal ushul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (Dr. Nashir Al ‘Aql), Mukhtashar
‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah
(M. Ibrahim Al Hamd), Al ‘Aqiidah Ash Shahiihah (Syaikh Ibnu
Baz), Bekal Menuju Akhirat (penyusun), Syarh Tsalaatsatil Ushuul
(Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Kitab At Tauhid (DR. Shaalih Al Fauzaan), Minhajul
Muslim (Syaikh Abu Bakr Al Jazaa’iriy), Syarh Lum’atil I’tiqad
(Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), dll.
0 komentar:
Posting Komentar