بسم الله الرحمن الرحيم
Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Berikut
ini lanjutan risalah Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
Amin.
Dalam masalah Tauhid
I’tiqadiy (keyakinan)
Dalam beriman kepada nama-nama Allah dan
sifat-Nya, Ahlus Sunah wal Jama’ah menetapkan nama atau sifat bagi Allah
sebagaimana yang ditetapkan Allah dalam Al Qur’an atau ditetapkan oleh
Rasul-Nya dalam As Sunnah, tanpa mentamtsil (menyamakan nama atau sifat
Allah dengan makhluk-Nya), juga tanpa tahrif (menta’wilnya atau mengartikan
lain, misalnya menta’wil “Tangan Allah” dengan “Kekuasaan”), tanpa
ta’thil (meniadakan/menolaknya) dan tanpa takyif (menanyakan bagaimana
hakikatnya).
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah keyakinan
wahdatul wujud dan hulul (menyatunya Tuhan dengan makhluk) adalah sebuah
kekufuran yang mengeluarkan dari Islam.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani rukun iman
yang enam (beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Nabi dan
Rasul-Nya, hari Akhir, dan beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk) dan
mengimani segala penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah yang berbicara tentang
rukun iman tersebut.
Tentang beriman kepada
Allah, maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengimani
wujud Allah, Rububiyyah-Nya (Hanya Dia yang menciptakan, memberi rezeki, dan
menguasai alam semesta), uluhiyyah-Nya (keberhakan-Nya untuk diibadati/disembah)
dan nama-nama Allah beserta sifat-Nya tanpa tamtsil, ta’thil, takyif, dan
tahrif.
Tentang beriman kepada
malaikat, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimaninya
baik secara ijmal (garis besar) maupun tafshil (rinci).
Secara ijmal maksudnya mengimani bahwa Allah
memiliki para malaikat yang diciptakan untuk selalu menaati-Nya dan tidak
pernah durhaka terhadap perintah-Nya, mereka adalah hamba-hamba Allah yang
dimuliakan, jumlahnya banyak, dsb. Sedangkan secara tafshil misalnya mengimani
nama-nama dan tugas mereka yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Tentang beriman kepada
kitab-kitab Allah, maka Ahlus Sunnah
wal Jama’ah mengimaninya baik secara ijmal maupun tafshil. Secara ijmal maksudnya kita mengimani bahwa Allah telah menurunkan kitab kepada
rasul-rasul-Nya meskipun tidak disebutkan nama kitab tersebut dalam Al Qur’an
dan As Sunnah (lihat QS. Al Baqarah: 136). Sedangkan
secara tafshil maksudnya kita mengimani penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah yang
menyebutkan tentang kitab-kitab Allah tersebut secara rinci seperti namanya
adalah kitab ini dan diberikan kepada nabi yang bernama ini, dsb.
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling
utama adalah Al Qur’an. Dan setelah diturunkan Al
Qur’an maka kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Qur’an sudah mansukh
(dihapus) tidak bisa diamalkan lagi, yang diamalkan hanya Al Qur’an saja atau
hukum yang dibenarkan oleh Al Qur’an saja.
Sulaiman bin Habib pernah berkata, “Kita hanya diperintah
beriman kepada Taurat dan Injil dan tidak diperintahkan mengamalkan hukum yang
ada pada keduanya.”
Di samping itu, kitab-kitab selain Al Qur’an seperti Taurat dan Injil sudah dicampuri oleh
tangan-tangan manusia dengan diberikan tambahan, dirubah, dikurangi, ataupun
dihilangkan hingga tidak murni lagi seperti keadaan ketika diturunkan (lihat QS.
An Nisaa’ ayat 46).
Tentang beriman kepada
rasul-rasul Allah, Ahlus Sunnah wal
Jama'ah mengimaninya baik secara ijmal maupun tafshil. Secara ijmal, mereka
beriman bahwa Allah telah mengutus kepada manusia rasul-rasul sebagai pemberi
kabar gembira dan pemberi peringatan, mengajak manusia menyembah hanya kepada
Allah dan menjauhi thagut (sesembahan selain Allah), siapa saja memenuhi seruan
mereka akan beruntung, sebaliknya siapa saja yang menolaknya, maka ia akan rugi
dan celaka. Sedangkan secara tafshil misalnya beriman kepada rasul-rasul yang
telah disebutkan namanya seperti Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim dan lainnya,
sedangkan yang tidak disebutkan namanya maka kita mengimaninya secara ijmal.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan rasul, tidak ada
lagi nabi setelahnya, siapa saja yang meyakini bahwa ada lagi nabi setelah
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, maka orang itu kafir.
Tentang beriman kepada
hari akhir, Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani
berita-berita dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menjelaskan tentang hari akhir;
kejadian yang terjadi di hari itu, demikian juga mereka mengimani
tanda-tandanya.
Termasuk beriman kepada hari akhir adalah beriman
kepada keadaan setelah mati, seperti: fitnah kubur, azab kubur,
dan nikmat kubur.
Ahlus Sunnah wal
Jama’ah beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk, mereka mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu
dan mengetahui hal yang akan terjadi sebelum terwujudnya, Dia mencatat semua
itu dalam Al Lauhul Mahfuzh. Demikian juga mereka mengimani bahwa apa
yang Allah kehendaki pasti terjadi, sebaliknya apa saja yang tidak
dikehendaki-Nya maka tidak akan terjadi. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu,
menciptakan segalanya, dan berbuat sesuai kehendak-Nya.
Allah Ta’ala berbuat adil (tidak berbuat zalim) dalam
qadha’ dan qadar-Nya. Semua yang ditaqdirkan-Nya adalah sesuai hikmah sempurna
yang diketahui-Nya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani berita
ghaib yang disebutkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih seperti ‘Arsy
(singgasana Allah), Kursiy, surga, neraka, nikmat kubur dan azabnya, Shirath
(jembatan) dan Mizan (timbangan), tanpa menta’wilnya.
Mereka juga mengimani adanya syafa’at Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, syafa’at para nabi, syafa’at para
malaikat, dan orang-orang saleh pada hari kiamat sebagaimana disebutkan dalam
As Sunnah yang shahih.
Berikut ini macam-macam syafa’at:
1.
Syafa’at ‘Uzhma,
yaitu syafa’at ketika di mauqif (padang mahsyar) pada hari kiamat, ketika Allah
datang untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di antara hamba-hamba-Nya.
Syafa’at ini hanya khusus untuk Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam, inilah Al Maqamul Mahmud (kedudukan terpuji) yang dijanjikan
Allah Ta’ala (lihat QS. Al Israa’: 79). Saat itu manusia merasakan penderitaan,
kesukaran, serta kegelisahan, dan mereka dibanjiri keringat karena
didekatkannya matahari sejarak satu mil. Manusia ketika itu mencari syafa’at.
Mereka mendatangi Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa, namun mereka semua
tidak berhak memberikan syafa’at, hingga akhirnya mereka mendatangi Nabi kita
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan Beliaulah yang diberi hak memberikan
syafa’at.
2.
Syafa’at agar dibukakan pintu surga. Orang yang pertama membuka pintu surga adalah Nabi kita
Muhamad shallallahu 'alaihi wa sallam, dan umat yang pertama kali
memasukinya adalah ummat Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
3.
Syafa’at untuk orang-orang yang seharusnya masuk neraka
agar dikeluarkan.
4.
Syafa’at untuk Ahli Tauhid yang masuk neraka agar mereka
dikeluarkan darinya.
Mereka dikeluarkan
dalam keadaan seperti arang setelah dibakar di neraka, lalu diceburkan ke
sungai surga kemudian tumbuh seperti tumbuhnya biji di aliran air.
5.
Syafa’at untuk sebagian penghuni surga agar diangkat
derajatnya.
Untuk tiga syafa’at
ini (no. 3, 4 dan 5) tidak khusus untuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam saja, akan tetapi Beliaulah yang pertama melakukannya, lalu para nabi,
malaikat, para wali dan afraath (anak-anak kecil yang meninggal lebih dulu)
mereka pun memberikan syafa’at. Kemudian Allah Ta’ala mengeluarkan dengan
rahmat-Nya orang-orang yang banyak jumlahnya dari neraka tanpa syafa’at, lalu
mereka dimasukkan ke surga.
6.
Syafa’at untuk meringankan azab kepada Abu Thalib paman
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syafa’at ini hanya khusus untuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
saja.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga mengimani bahwa
kaum mukminin akan melihat Allah ketika di surga dan ketika di mahsyar, dan hal
itu (melihat Allah) tidak bisa terjadi di dunia.
Tentang karamah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani adanya
karamah (keistimewaan) bagi wali-wali Allah, namun tidak setiap hal yang luar
biasa dikatakan karamah, bisa saja sebagai istidraj (sebagai penangguhan azab buatnya).
Cara membedakan antara karamah dengan istidraj adalah dengan melihat keadaan orang
tersebut apakah di atas Akidah yang benar, di atas Al Qur’an dan As Sunnah,
atau tidak?
Perlu diketahui bahwa tidak diberikan-Nya karamah kepada
seorang hamba bukanlah berarti kurang imannya, karena Karamah yang Allah Ta’ala
berikan kepada hamba-Nya karena beberapa sebab: 1) Bisa jadi untuk menguatkan
dan mengokohkan imannya, 2) Bisa juga untuk menegakkan hujjah terhadap
musuhnya. Dan karaamah itu terjadi tidak sesuai keinginan seseorang tetapi
terjadi apabila dikehendaki Allah Ta’ala.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa kaum
mukmin itu adalah wali Allah, tingkat kewaliannya tergantung tingkat
keimanannya.
Dalam masalah iman
Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah berpendapat, bahwa
iman itu ucapan dan amalan, bisa bertambah dan berkurang. Maksud ucapan di sini
adalah ucapan hati dan lisan, sedangkan maksud amal di sini adalah amalan hati,
lisan dan anggota badan.
Ucapan hati maksudnya meyakini dan
membenarkan. Ucapan lisan maksudnya mengiqrarkan Laailaahaillallah.
Amalan hati maksudnya menyerahkan diri dengan
rela, ikhlas, tunduk, cinta dan adanya keinginan untuk mengerjakan amal saleh.
Amalan anggota badan maksudnya mengerjakan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah siapa saja
yang tidak memasukkan amalan ke dalam iman, maka dia Murji’ah, dan siapa saja
yang memasukkan ke dalam iman hal yang tidak termasuk ke dalamnya maka dia
mubtadi’ (pelaku bid’ah).
Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah siapa saja
yang tidak mengiqrarkan Laailaahaillallah, maka sebutan iman belum ada pada
dirinya, juga tidak dihukumi sebagai orang yang beriman baik di dunia maupun di
akhirat.
Pelaku dosa besar
Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah juga berpendapat
bahwa pelaku dosa besar tidak keluar dari iman (Islam), dia di dunia sebagai
orang mukmin yang imannya kurang, dan di akhirat berada di bawah kehendak Allah;
jika Allah menghendaki akan diampuni, dan jika Dia menghendaki akan diazab.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, orang-orang
yang bertauhid tempat kembalinya adalah surga, meskipun sebelumnya ada yang
diazab terlebih dahulu, tetapi mereka tidak kekal.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga tidak
memastikan seseorang masuk surga atau neraka, kecuali jika ada nash (dalil)
yang menyatakan si fulan masuk surga atau masuk neraka, misalnya dalil Abu
Lahab masuk neraka.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraaji’: Mujmal ushul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (Dr. Nashir Al ‘Aql), Mukhtashar ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (M. Ibrahim Al Hamd), Al ‘Aqiidah Ash
Shahiihah (Syaikh Ibnu Baz), Bekal Menuju Akhirat (penyusun), Syarh
Tsalaatsatil Ushuul (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Kitab At Tauhid (DR.
Shaalih Al Fauzaan), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakr Al Jazaa’iriy), Syarh
Lum’atil I’tiqad (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), dll.
0 komentar:
Posting Komentar