بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Azan
dan Iqamat (4)
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan
pembahasan tentang Azan dan iqamat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Jarak
antara azan dan iqamat
Hendaknya
ada jarak antara azan dan iqamat seukuran waktu yang cukup bagi orang lain
bersiap-siap shalat dan menghadirinya, karena azan disyariatkan untuk itu.
Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang jarak antara azan dan iqamat,
maka semuanya dhaif. Imam Bukhari membuat bab dalam Shahihnya, “Bab
berapa lama jarak antara azan dan iqamat,” namun beliau tidak menyebutkan
berapa lamanya.
Ibnu
Baththal berkata, “Tidak ada batasannya selain memungkinkan masuknya waktu dan
berkumpulnya para jamaah shalat.”
Dari
Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Muazin Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan azan, lalu diam sejenak tidak melanjutkan dengan
iqamat, sampai ia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (dari
rumahnya). Ia (muazin) akan mengumandangkan iqamat saat melihat Beliau.” (HR.
Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Berdoa
antara azan dan iqamat
Antara
azan dan iqamat adalah waktu yang sangat diharapkan terkabulnya, maka
dianjurkan memperbanyak doa di waktu itu.
Dari
Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَ الْإِقَامَةِ
“Berdoa
antara azan dan iqamat tidak ditolak.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i,
dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no.
3408)
Tirmidzi
menambahkan, “Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang perlu kami minta wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab,
«سَلُوا
اللَّهَ العَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ»
“Mintalah
afiyat di dunia dan akhirat.” (Tambahan riwayat ini dianggap munkar oleh
Syaikh Al Albani, wallahu a’lam).
Dari
Abdullah bin Amr, bahwa ada seorang yang berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya para muazin mendahului kami (dalam hal pahala dan keutamaan).”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«قُلْ
كَمَا يَقُولُونَ فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ»
“Ucapkanlah
seperti yang diucapkannya. Jika ia telah selesai (mengumandangkan azan), maka
berdoalah, niscaya doamu akan dikabulkan.” (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan
shahih oleh Al Albani).
Dari
Sahl bin Sa’d ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«ثِنْتَانِ
لَا تُرَدَّانِ، أَوْ قَلَّمَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ، وَعِنْدَ
الْبَأْسِ حِينَ يُلْحِمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا»
“Dua
doa yang tidak ditolak, atau jarang sekali ditolak, yaitu ketika azan, dan
ketika perang, yakni ketika pasukan sudah berkecamuk.” (HR. Abu Dawud dan
dishahihkan oleh Al Albani)
Orang
yang mengumandangkan azan, maka dia yang mengumandangkan iqamat
Boleh
bagi muazin dan lainnya melakukan iqamat berdasarkan kesepakatan ulama, akan
tetapi yang lebih utama, bahwa yang mengumandangkan iqamat adalah orang yang
mengumandangkan azan.
Imam
Syafi’i berkata, “Jika seorang mengumandangkan azan, maka aku suka jia ia pula
yang mengumandangkan iqamat.”
Tirmidzi
berkata, “Inilah yang diamalkan di kalangan mayoritas Ahli Ilmu, yaitu bahwa yang
mengumandangkan azan, maka dia yang mengumandangkan iqamat.”
Catatan:
Jika
ada muazin rawatib, maka seseorang tidak boleh mengumandangkan azan kecuali
setelah diizinkannya atau ia datang terlambat sehingga yang lain
mengumandangkan azan karena khawatir lewat waktu mengumandangkan azan.
Kapankah
bangun untuk shalat berjamaah?
Imam
Malik dalam Al Muwaththa berkata, “Aku tidak mendengar batasan waktu
bangunnya seseorang untuk shalat. Menurutku, hal tersebut disesuaikan
kesanggupan manusia, karena di antara mereka ada yang berat dan ada yang
ringan.”
Ibnul
Mundzir meriwayatkan dari Anas, bahwa ia bangun untuk shalat ketika muazin
(sedang iqamat) mengucapkan “Qad
qaamatish shalah.”
Keluar
dari masjid setelah azan
Telah
ada riwayat yang melarang meninggalkan menjawab muazin dan keluar dari masjid
setelah azan kecuali ada udzur atau berniat untuk kembali.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
إِذَا كُنْتُمْ فِي الْمَسْجِدِ فَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ، فَلَا
يَخْرُجْ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُصَلِّيَ
“Jika
kalian berada di masjid, lalu azan dikumandangkan, maka janganlah salah seorang
di antara kamu keluar sampai shalat dilakukan.” (HR. Ahmad, dan dinyatakan
isnadnya shahih dari jalan Al Mas’udi oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar
Risalah).
Dari
Abus Sya’tsa, ia berkata, “Kami pernah duduk-duduk di masjid bersama Abu
Hurairah, lalu muazin mengumandangkan azan, kemudian ada seorang laki-laki yang
bangun dan berjalan, lalu Abu Hurairah memperhatikan orang itu hingga orang itu
keluar dari masjid, maka Abu Hurairah berkata, “Orang ini, telah bermaksiat
kepada Abul Qasim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (HR. Muslim
dan para pemilik kitab Sunan).
Tirmidzi
berkata, “Telah diriwayatkan dari lebih dari seorang sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwa mereka berkata, “Barang siapa yang mendengar azan,
namun tidak menyambutnya, maka tidak ada shalat baginya.”
Sebagian
Ahli Ilmu berpendapat, bahwa pernyataan ini adalah untuk penegasan, dan bahwa
tidak ada rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat berjamaah kecuali ada
udzur.
Azan
dan Iqamat bagi orang yang tertinggal melaksanakan shalat
Barang
siapa yang ketiduran atau lupa melaksanakan shalat, maka disyariatkan baginya
mengumandangkan azan dan mengumandangkan iqamat ketika ia hendak shalat.
Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud kisah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya safar dan tertidur, dimana mereka tidak bangun kecuali
setelah matahari terbit, maka Beliau memeritahkan Bilal untuk mengumandangkan
azan dan iqamat, lalu mereka shalat.
Jika
jumlah shalat yang tertinggal lebih dari satu shalat, maka dianjurkan azan dan
iqamat untuk shalat yang pertama, sedangkan untuk shalat setelahnya cukup
iqamat saja. Tentunya azan yang dikumandangkan
tidak membuat bingung manusia. Al Atsram berkata, “Aku mendengar Abu
Abdillah bertanya tentang mengqadha shalat yang dilakukan seseorang; bagaimana
azan yang perlu dilakukannya? Lalu ia menyebutkan hadits Hasyim dari Abu Zubair
dari Nafi’ bin Jubair dari Abu Ubaidah bin Abdullah dari ayahnya, bahwa kaum
musyrikin membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempat melakukan
empat shalat lima waktu pada perang Khandaq sehingga lewat sebagian malam
sebagaimana yang dikehendaki Allah, lalu Beliau memerintahkan Bilal untuk azan
dan iqamat, kemudian Beliau shalat Zhuhur, lalu Beliau memerintahkan Bilal
iqamat, kemudian Beliau shalat Ashar, lalu Beliau memerintahkan Bilal iqamat, maka
Beliau shalat Maghrib, kemudian Beliau memerintahkan Bilal iqamat lagi, lalu
Beliau shalat Isya.
Azan
dan Iqamat bagi kaum wanita
Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Kaum wanita tidak disyariatkan azan dan
iqamat.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih. Dan pendapat
inilah yang dipegang oleh Anas, Al Hasan, Ibnu Sirin, An Nakha’i, Ats Tsauri,
Malik, Abu Tsaur, dan para pemegang ra’yu).
Menurut
Syafi’i dan Ishaq, jika kaum wanita mengumandangkan azan dan iqamat, maka tidak
mengapa.
Telah
diriwayatkan dari Ahmad, bahwa jika kaum wanita melakukan hal itu (azan dan
iqamat), maka tidak mengapa. Jika tidak dilakukan, juga boleh.
Baihaqi
meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia melakukan azan dan
iqamat, serta mengimami kaum wanita, dan berdiri di bagian tengah mereka.
Tentunya,
azan yang dilakukan kaum wanita tidak di menara atau menggunakan pengeras
suara, karena suara mereka fitnah, wallahu a’lam.
Masuk
masjid setelah shalat selesai dilaksanakan
Penyusun
Al Mughni berkata, “Barang siapa yang masuk masjid, namun shalat ternyata telah
selesai, maka ia boleh melakukan azan dan iqamat, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Ahmad. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al Atsram dan Sa’id bin
Manshur dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia pernah masuk masjid, namun
ternyata orang-orang telah selesai shalat, maka ia memerintahkan seseorang
untuk azan dan iqamat, lalu ia shalat berjamaah dengan mereka.
Tetapi
jika ia mau, ia boleh shalat dengan tanpa azan dan iqamat, karena Urwah
berkata, “Jika engkau sampai di masjid yang orang-orang telah melakukan shalat,
dimana sebelumnya mereka telah mengumandangkan azan dan iqamat, maka azan dan
iqamat mereka sudah cukup untuk orang-orang yang datang setelah mereka.” Hal
ini merupakan pendapat Al Hasan, Asy Sya’bi, dan An Nakha’i, hanyasaja Al Hasan
berkata, “Yang paling disukai adalah melakukan iqamat (saja). Jika azan
dilakukan, maka dianjurkan dipelankan dan tidak dikeraskan agar tidak membuat
bingung manusia karena mengumandangkan azan bukan pada waktunya.”
Sebagian
ulama berpendapat, bahwa jika suatu masjid memiliki imam ratib, maka hendaknya
kita tidak membuat jamaah yang kedua.
Bersambung...
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S.
Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), dll.
0 komentar:
Posting Komentar