بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Azan
dan Iqamat (3)
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan
pembahasan tentang Azan dan iqamat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tatacara
Iqamat
1.
Menyebutkan
empat kali takbir pertama, sedangkan kalimat setelahnya dua kali-dua kali
selain yang terakhir (semuanya berjumlah 17 kalimat).
Hal
ini berdasarkan hadits Abu Mahdzurah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan iqamat kepadanya 17 kalimat, yaitu:
Allahu
akbar 4X
Asyhadu
allaailaahaillallah 2X
Asyhadu
anna muhammadar rasuulullah 2X
Hayya
‘alash shalaah 2X
Hayya
‘alal falaah 2X
Qadqaamatish
shalaah 2X (artinya: Sungguh shalat sudah
tegak)
Allahu
akbar 2X
Laailaahaillallah 1X.” (HR. Lima Imam Ahli Hadits, dan dishahihkan oleh
Tirmidzi).
2.
Menyebutkan
dua kali takbir yang pertama dan yang terakhir serta kalimat qadqaamatish
shalaah, sedangkan kalimat yang lain 1X-1X (sehingga jumlahnya 11 kalimat),
yaitu:
Allahu
akbar 2X
Asyhadu
allaailaahaillallah 1X
Asyhadu
anna muhammadar rasuulullah 1X
Hayya
‘alash shalaah 1X
Hayya
‘alal falaah 1X
Qadqaamatish
shalaah 2X
Allahu
akbar 2X
Laailaahaillallah 1X
Hal
ini berdasarkan hadits Abu Mahdzurah yang telah disebutkan. Juga berdasarkan
hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bilal diperintahkan
menggenapkan azan dan mengganjilkan iqamat selain lafaz iqamah (qad qaamatish
shalah).”
Oleh
karena itu, kalimat azan dua kali-dua kali, sedangkan iqamat satu kali-satu
kali selain kalimat “Qad Qaamatish shalah” maka dua kali berdasarkan
hadits di atas.
3.
Cara
ketiga ini sama seperti sebelumnya, hanyasaja untuk kalimat Qadqaamatish
shalaah tidak diulang dua kali, bahkan hanya diucapkan sekali sehingga
jumlahnya 10 kalimat. Cara ini dipegang oleh Imam Malik karena ia merupakan
amal penduduk Madinah, akan tetapi Ibnul Qayyim mengomentarinya, “Tidak sah
sama sekali dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan Qadqaamatish
shalaah hanya sekali.” Ibnu Abdil Bar berkata, “Ia tetap dua kali dalam
keadaan bagaimana pun.”
Ucapan
yang diucapkan oleh orang yang mendengar azan dan doa setelahnya
Dianjurkan bagi
orang yang mendengar azan mengucapkan seperti yang diucapkan muazin. Hal ini
berdasarkan hadits Abu Sa’id, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ
المُؤَذِّنُ
“Apabila kamu
mendengar azan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muazin.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Kecuali pada
kalimat hai’alah (hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah),
maka disyariatkan bagi yang mendengarnya mengucapkan Laa haula walaa quwwata
illaa billah (artinya: tidak ada daya dan upaya melainkan dengan
pertolongan Allah) setelah muazin mengucapkan Hayya ‘alash shalah dan hayya
‘alal falah. Hal ini berdasarkan hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu berikut, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ
أَكْبَرُ فَقَالَ أَحَدُكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ
قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ
إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ
إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Apabila
muazin mengucapkan Allahu akbar- Allahu akbar, lalu salah seorang di
antara kamu mengucapkan, “Allahu akbar- Allahu akbar.” Lalu ketika ia
mengucapkan Asyhadu allaa ilaaha illallah, ia mengucapkan, “Asyhadu
allaa ilaaha illallah,” Kemudian ketika ia mengucapkan Asyhadu anna
muhammadar rasuulullah, lalu ia mengucapkan, “Asyhadu anna muhammadar
rasuulullah.” Lalu ketika ia mengucapkan Hayya ‘alash shalaah, ia
mengucapkan, “Laa haula walaa quwwata illaa billah,” Kemudian ketika ia
mengucapkan Hayya ‘alal falaah, lalu ia mengucapkan, “Laa haula walaa
quwwata illaa billah.” Lalu apabila ia mengucapkan Allahu akbar- Allahu
akbar, kemudian salah seorang di antara kamu mengucapkan, “Allahu akbar-
Allahu akbar.” Kemudian ketika ia mengucapkan, “Laailaahaillallah,”
ia mengucapkan, “Laailaahaillallah,” (dengan ikhlas) dari hatinya, maka
ia akan masuk surga.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Ketika muazin
dalam azan Subuh mengucapkan, “Ash Shalatu khairum minan naum,” maka
yang mendengarnya mengucapkan seperti itu.
Imam Nawawi
berkata, “Kawan-kawan kami (yang semadzhab) berkata, “Sesungguhnya dianjurkan
bagi penyimak azan untuk mengikuti ucapan muazin selain pada kata hai’alah (ucapan
hayya ‘ala...) adalah karena hal itu menunjukkan ridhanya dan sepakatnya
terhadap pernyataan itu. Adapun karena hai’alah adalah ajakan untuk
shalat, dan ucapan ini tidak cocok diucapkan selain muazin, maka bagi
penyimaknya dianjurkan mengucapkan dzikr selain itu, yaitu Laa haula wa laa
quwwata illaa billah, karena hal itu terdapat bentuk penyerahan kepada
Allah Ta’ala semata. Telah shahih dalam Shahihain dari Abu Musa Al
Asy’ariy, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Laa
haula wa laa quwwata illaa billah adalah salah satu perbendaharaan surga.”
Kawan-kawan kami juga berkata, “Dan dianjurkan mengikuti ucapan muazin bagi
setiap yang mendengarnya, baik ia dalam keadaan suci, berhadats, junub maupun
haidh, orang dewasa maupun anak-anak, karena itu adalah dzikr, dan mereka yang
disebutkan berhak berdzikr. Namun dikecualikan daripadanya orang yang sedang
shalat, sedang berada di wc, dan sedang berjima’. Jika ia telah keluar dari wc,
maka ia ikuti ucapan muazin itu. Jika yang mendengarnya dalam keadaan membaca
Al Qur’an, berdzikr, mengajar, atau lainnya, hendaknya ia putuskan dulu dan
mengukuti ucapan muazin, lalu kembali seperti biasa jika ia mau. Jika seseorang
sedang berada dalam shalat fardhu atau sunah, maka menurut Imam Syafi’i dan
kawan-kawannya (yang semadzhab), ia tidak perlu mengikuti ucapan muazin. Tetapi
jika sudah selesai, maka ia ikuti. Dalam Al Mughni disebutkan, “Jika
seorang masuk masjid, lalu mendengar azan muazin, maka dianjurkan menunda
shalatnya dulu sampai muazin selesai dan ia mengikuti ucapan muazin agar dapat
menghimpun dua keutamaan. Tetapi jika ia tidak mengikuti ucapan muazin dan
langsung shalat, maka tidak mengapa sebagaimana yang dinyatakan Imam Ahmad.”
Setelah selesai
mendengar azan, maka ia bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan shalawat yang diajarkan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
berdoa,
اللَّهُمَّ
رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّداً
الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَاماً مَحْمُوداً الَّذِى وَعَدْتَهُ
Artinya: “Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang
sempurna ini, pemilik shalat yang akan ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad
wasiilah (derajat tinggi) dan keutamaan, bangkitkanlah ia ke tempat yang
terpuji (maqam mahmud) yang telah Engkau janjikan.” (HR. Bukhari 614, dan di sana
disebutkan, bahwa orang yang mengucapkan demikian berhak memperoleh syafaat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Kiamat).
Imam
Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Amr, bahwa ia mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا
سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ،
فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ
سَلُوا اللهَ لِيَ الْوَسِيلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ، لَا
تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا
هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ»
“Jika
kamu mendengar muazin, maka ucapkanlah seperti yang diucapkannya, kemudian
bershalawatlah kepadaku, karena barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali
saja, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintalah
kepada Allah Al Wasilah untukku, karena ia adalah sebuah kedudukan di surga
yang tidak pantas diperoleh kecuali untuk salah seorang hamba Allah, dan aku berharap
bahwa akulah yang memperolehnya. Barang siapa yang memintakan Al Wasilah
untukku, maka ia berhak memperoleh syafaatku.”
Menurut
penyusun Fiqhussunnah, bahwa dianjurkan bagi orang yang mendengar iqamat
mengucapkan seperti yang diucapkan orang yang iqamat. Hanya saja pada kalimat Qad
qamatish shalat, maka dianjurkan mengucapkan “Aqaamahallahu wa adaamaha.”
Menurut
penulis, bahwa hadits yang dipakai hujjah oleh penyusun Fiqhussunnah
adalah dha’if sehingga tidak bisa diamalkan. Oleh karena itu, kita tetap
mengucapkan Qad qamatish shalah tidak menggantinya dengan Aqaamahallah
wa adaamaha, kecuali pada kalimat
hai’alah, maka ucapannya laa haula wa laa quwwata illaa billah, wallahu
a’lam.
Kapan
azan dikumandangkan?
Azan
dikumandangkan di awal waktu, tidak sebelum tiba waktunya atau menundanya,
kecuali pada azan Subuh, maka disyariatkan pula dikumandangkan sebelum tiba
waktunya jika dapat dibedakan antara azan pertama (sebelum tiba waktu Subuh)
dengan azan kedua agar tidak menimbulkan kerancuan.
Dari
Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ بِلاَلًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يُؤَذِّنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sesungguhnya
Bilal mengumandangkan azan di malam hari (sebelum Subuh), maka makan dan
minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hikmah
bolehnya azan Subuh dikumandangkan sebelum tiba waktunya diterangkan dalam
hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan lainnya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ سَحُورِهِ،
فَإِنَّهُ إِنَّمَا يُنَادِي - أَوْ قَالَ: يُؤَذِّنُ - لِيَرْجِعَ قَائِمُكُمْ،
وَيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ
“Janganlah
azan yang dikumandangkan Bilal mencegahmu dari melanjutkan makan sahurmu,
karena ia hanyalah mengumandangkan –atau bersabda, “melakukan azan,”- untuk
mengembalikan orang yang sedang qiyamullail (melanjutkan qiyamullail) dan
membangunkan orang yang tidur di antara kamu.” (Hadits ini dinyatakan isnadnya
shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet.
Ar Risalah).
Dan
Bilal tidaklah menyeru dengan lafaz selain lafaz azan.
Imam
Thahawi dan Nasa’i meriwayatkan, bahwa antara azan Bilal dengan azan Ibnu Ummi
Maktum hanyalah seukuran seseorang naik tangga ke atas, lalu turun.
Bersambung...
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S.
Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), dll.
0 komentar:
Posting Komentar