بسم
الله الرحمن الرحيم
Belajar Mudah Ilmu Tauhid (14)
(Pembahasan Tentang Bersumpah Dengan Nama Selain Allah,
Menyertakan nama selain Allah di samping nama-Nya dengan menggunakan kata “Dan”,
Pembahasan Kata “Seandainya,” dan Tentang Mencaci-Maki Masa)
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut ini pembahasan tentang bersumpah dengan nama selain Allah, menyertakan nama selain Allah
di samping nama-Nya dengan menggunakan kata “Dan”, pembahasan kata
“Seandainya,” dan tentang mencaci-maki masa, yang kami terjemahkan dari kitab At
Tauhid Al Muyassar karya Syaikh Abdullah Al Huwail, semoga Allah menjadikan
penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin,
PEMBAHASAN TENTANG BERSUMPAH DENGAN
NAMA SELAIN ALLAH
Definisi sumpah
Sumpah secara bahasa artinya tetap
berada di atasnya. Sedangkan secara istilah, sumpah artinya menguatkan hukum
dengan menyebutkan sesuatu yang dimuliakan menggunakan salah satu huruf (kata)
sumpah. Huruf yang dipakai bersumpah ada tiga, yaitu: wau, ba’,
dan ta’ (semuanya memiliki arti “Demi”).
Istilah sumpah lainnya
Sumpah disebut juga yamin dan
qasam.
Sumpah yang masyru’ (disyariatkan)
Yaitu sumpah yang menggunakan nama
Allah, misalnya wallahi, billahi, dan tallahi (artinya: demi
Allah), atau menggunakan salah satu nama-Nya, misalnya ‘Demi Ar Rahman, demi
Al Azhiiim, dan demi As Sami’. Termasuk pula sumpah yang menggunakan
salah satu sifat-Nya, misalnya, ‘Bi’izzatillah’ (artinya: demi
keperkasaan Allah), ‘wa rahmatillah’ (artinya: demi kasih sayang Allah),
dan ‘wa ilmillah’ (artinya: demi pengetahuan Allah).
Hukum bersumpah dengan nama selain
Allah
Hukum bersumpah atas nama selain Allah
terbagi dua:
1. Jika ia
mengagungkan sesuatu yang dipakai bersumpah sampai kepada tingkatan menyembah,
misalnya mengagungkannya seperti mengagungkan Alllah atau lebih dari itu, maka
ini adalah syirk akbar.
2. Jika ia
mengagungkannya namun tidak sampai tingkatan seperti mengagungkan Allah, maka
ini adalah syirk kecil.
Dalil tentang hukum bersumpah dengan
nama selain Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ
اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barang siapa yang bersumpah dengan nama
selain Allah, maka sungguh ia telah berbuat kufur atau syirk.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan Tirmidzi)
Contoh-contoh bersumpah dengan nama
selain Allah
1. Bersumpah
dengan nama wali.
2. Bersumpah
dengan jah (kedudukan) nabi atau jah wali.
3. Bersumpah
dengan kehidupan seseorang.
4. Bersumpah
dengan amanah atau kemuliaan.
Catatan Penting Tentang Hukum Sumpah
1. Haram hukumnya
bersumpah dengan nama selain Allah, dan bahwa hal itu termasuk syirk.
2. Haram hukumnya
bersumpah dengan nama Allah namun isinya dusta. Ini disebut juga sumpah ghamus.
3. Haram hukumnya
banyak bersumpah meskipun isinya benar jika tidak diperlukan. Karena hal itu
terdapat bentuk meremehkan nama Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
4. Boleh hukumnya
bersumpah dengan nama Allah yang isinya benar, dan ketika diperlukan.
Kaffarat (penebus dosa) bersumpah
dengan nama selain Allah
Yaitu dengan mengucapkan “Laailaahaillallah”
(artinya: tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali
Allah).
Dalilnya adalah sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِي
حَلِفِهِ: وَاللَّاتِ وَالعُزَّى، فَلْيَقُلْ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّه
“Barang siapa yang bersumpah dengan
mengatakan, “Demi Laata dan Uzza,” maka hendaknya ia mengucapkan Laailaahaillallah.“
(Muttafaq ‘alaih)
MENYERTAKAN NAMA SELAIN ALLAH DI SAMPING NAMA-NYA DENGAN
MENGGUNAKAN KATA “DAN”
Maksud pembahasan ini adalah
menambahkan kata “dan” antara Allah dengan salah satu makhluk-Nya dalam masalah
apa pun yang menunjukkan bahwa makhluk ikut campur di dalamnya. Contoh: “Maasyaa
Allah wa syi’ta” (artinya: atas kehendak Allah dan atas kehendakmu), “saya
berharap kepada Allah dan kepada dirimu,” “saya memohon pertolongan kepada
Allah dan kepada kamu,” “tidak ada bagiku selain Allah dan kamu,” dsb.
Hukumnya
Hukumnya terbagi dua:
1. Jika ia meyakini
adanya kesamaan. Maka hal ini merupakan syirk akbar, meskipun ia menggunakan
kata “tsumma” (kemudian).
2. Jika ia tidak
meyakini kesamaan. Maka hal ini hukumnya syirk asghar.
Kata-kata yang benar terhadap lafaz
ini
Hal ini ada dua tingkatan, yaitu:
1. Menggunakan
kata “tsumma” tanpa meyakini kesamaan. Misalnya mengucapkan “Maa syaa
Allah tsumma syi’ta” (artinya: atas kehendak Allah kemudian kamu), atau “ista’antu
billah tsumma bika” (artinya: aku memohon pertolongan kepada Allah kemudian
kamu).
2. Menyandarkan semua
urusan kepada Allah. Misalnya “Maa syaa Allah wahdah” (artinya: atas kehendak
Allah saja), dan ista’antu billah wahdah (artinya: aku memohon kepada
Allah saja), maka hal ini lebih baik dan lebih utama.
Perbedaan antara “wa” (dan) dengan
“tsumma” (kemudian) dalam lafaz
Kata “wa” (dan) menunjukkan
keikutsertaan dan keasamaan. Sedangkan, kata “tsumma” (kemudian) menunjukkan
mengikuti.
PEMBAHASAN KATA “SEANDAINYA”
Penggunaan kata “seandainya” ada
tiga keadaan:
1. Boleh, yaitu ketika menggunakan kata
“seandainya” sekedar informasi. Misalnya, “Kalau seandainya engkau
menghadiri ta’lim, tentu engkau akan mendapatkan faedah.”
Dalilnya
adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kalau aku sudah
mendatangi suatu urusan, maka aku tidak akan mundur ke belakang. Aku tidak
membawa hadyu, dan aku akan bertahallul bersama kalian.” (Muttafaq ‘alaih).
2. Dianjurkan, yaitu menggunakan kata “seandainya”
ketika berkeinginan untuk melakukan kebaikan. Misalnya seseorang mengatakan, “Kalau
seandainya aku mempunyai harta, tentu aku akan bersedekah.”
Dalilnya
adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kisah empat
orang, dimana salah satunya mengatakan, “Kalau seandainya aku mempunyai
harta, tentu aku akan melakukan seperti yang fulan lakukan,” berupa amal
kebaikan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang
itu karena niatnya, maka pahalanya sama.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
3. Terlarang, yaitu ketika seseorang menggunakan
kata “seandainya” dalam tiga keadaan,
a.
Protes terhadap syariat
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala
(tentang orang-orang munafik), "Sekiranya mereka mengikuti kita,
tentulah mereka tidak akan terbunuh.” (Terj. QS. Ali Imran: 168)
b.
Protes terhadap takdir.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Kalau
mereka tetap bersama-sama kita, tentulah mereka tidak mati dan tidak
dibunuh." (Terj. QS. Ali Imran: 156)
c.
Ketika berkeinginan melakukan
keburukan.
Dalilnya adalah hadits tentang empat
orang, dimana salah seorang di antara mereka berkata, “Kalau seandainya aku
memiliki harta, tentu aku akan melakukan seperti yang dilakukan si fulan,”
yakni melakukan perbuatan buruk yang sama. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda, “Orang ini karena niatnya, maka dosanya sama.”
MENCACI-MAKI MASA
Maksudnya adalah mencela dan menjelek-jelekkan
masa, zaman, atau waktu.
Hukum mencaci-maki masa
Hal ini terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Jika maksudnya
sekedar informasi saja tanpa mencela. Maka hal ini hukumnya boleh. Misalnya
mengatakan, “Kita kelelahan karena panasnya cuaca pada hari ini.”
Demikian pula seperti ucapan Nabi Luth ‘alaihissalam, “Ini adalah hari yang
sangat sulit,” (lihat QS. Huud: 77-pent).
2. Mencaci-maki
masa dengan meyakini bahwa dialah yang melakukan semua yang terjadi. Misalnya
seseorang berkeyakinan, bahwa masa itulah yang merubah segala urusan; dari yang
baik ke yang buruk. Hal ini adalah syirk akbar.
3. Mencaci-maki
masa karena ia menjadi tempat terjadinya
hal yang tidak disukainya itu, namun ia meyakini bahwa yang melakukan adalah
Allah. Hal ini hukumnya haram dan termasuk dosa-dosa besar.
Mencaci-maki masa sama saja
menyakiti Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
«يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ،
أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ»
“Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia
mencaci-maki masa, padahal Akulah masa. Aku yang membolak-balikkan malam dan
siang.” (Muttafaq ‘alaih).
Maksud “Akulah masa” yakni yang
mengatur masa dan mengurusnya.
Catatan:
Ad Dahr (masa) bukanlah salah satu Asma’ul Husna.
DUA KAEDAH BERMANFAAT TENTANG
MASALAH LAFAZ
1. Wajibnya
menjaga lisan dari ucapan yang haram.
Ucapan yang haram itu misalnya
ghibah (menggunjing orang lain), mengadu domba, dan berdusta. Demikian pula
ucapan syirk, misalnya bersumpah dengan nama selain Allah Ta’ala.
Hal itu, karena manusia akan dihisab
terhadap apa yang diucapkan oleh mulutnya.
مَا
يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada suatu ucapan pun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 18)
Bahkan seseorang bisa saja keluar
dari Islam hanya karena satu kalimat yang diucapkannya. Oleh karena itu, perlu
diseleksi lafaz maupun kalimat.
2. Tentang
lafaz dan kalimat yang mengandung kemungkinan syirk.
Lafaz dan kalimat yang mengandung kemungkinan
syirk tidak boleh digunakan, karena jika menggunakannya dikhawatirkan jatuh ke
dalam kemusyrikan, atau menjadi pintu ke arah syirk.
Bersambung...
Wallahu
a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa
sallam.
Diterjemahkan dari
kitab At Tauhid Al Muyassar oleh Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar