بسم
الله الرحمن الرحيم
Sebab-Sebab Keselamatan Pada Hari Kiamat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
pembahasan tentang sebab-sebab keselamatan pada hari Kiamat yang kami simpulkan
dari ceramah Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr
dengan judul Asbabun Najah Yaumal Qiyamah, semoga Allah menjadikan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Pengantar
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Umar
pernah lewat di hadapanku dan mengucapkan salam, namun aku tidak mendengarnya,”
maka Umar pergi menemui Abu Bakar di masa pemerintahannya dan berkata, “Tahukah
engkau apa yang dilakukan Utsman? Aku mengucapkan salam kepadanya, namun ia
tidak menjawabnya.” Maka Abu Bakar dan Umar pun pergi menemui Utsman. Ketika
sampai, Abu Bakar berkata kepada Utsman, “Sesungguhnya saudaramu Umar telah
memberikan salamnya kepadamu, tetapi engkau tidak menjawab salamnya, apa
sebabnya?” Utsman menjawab, “Aku tidak mendengarnya.” Maka Abu Bakar berkata,
“Utsman benar.” Selanjutnya Abu Bakar berkata kepada Utsman, “Sepertinya engkau
disibukkan oleh masalah yang besar.” Utsman menjawab, “Ya. Sesungguhnya aku
sedang memikirkan bagaimana cara memperoleh keselamatan di hari itu (hari
Kiamat). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, namun aku belum sempat
menanyakan bagaimana cara memperoleh keselamatan pada hari itu?” Abu Bakar berkata,
“Aku telah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal
itu.” Utsman menjawab, “Biarlah ayah dan ibuku menjadi penebus dirimu,
sesungguhnya engkau adalah orang yang paling berhak menanyakan hal itu, lalu
apa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadamu?” Abu Bakar menjawab,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَبِلَ مِنِّي
الْكَلِمَةَ الَّتِي عَرَضْتُ عَلَى عَمِّي، فَرَدَّهَا عَلَيَّ، فَهِيَ لَهُ
نَجَاةٌ
“Barang
siapa yang menerima kalimat (tauhid) yang pernah aku tawarkan kepada pamanku
yang menolak kalimat itu, maka ia akan memperoleh keselamatan (pada hari
Kiamat).” (Hadits ini marfu’nya dinyatakan shahih karena syahawidnya oleh
pentahqiq Musnad Ahmad 1/201 cet. Ar Risalah)
Hadits
di atas menunjukkan perhatian besar para sahabat terhadap keselamatan diri
mereka pada hari Kiamat. Apalagi para pelaku kisah pada hadits di atas adalah
tiga orang sahabat terbaik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah
dijamin masuk surga oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun begitu,
mereka memiliki rasa kekhawatiran yang tinggi terhadap keselamatan diri mereka
pada hari Kiamat, sehingga Utsman radhiyallahu ‘anhu sampai tidak mendengar
ucapan salam yang disampaikan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. Adapun kita,
terkadang disibukkan oleh suatu masalah sehingga tidak sempat memperhatikan
sapaan orang lain, tetapi masalah yang kita pikirkan hanya masalah dunia.
Sebab-Sebab
Keselamatan Pada Hari Kiamat
1.
Mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya.
Dalil
terhadap sebab ini telah disebutkan dalam kisah di atas, yaitu pada sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang menerima
kalimat (tauhid) yang pernah aku tawarkan kepada pamanku yang menolak kalimat
itu, maka ia akan memperoleh keselamatan (pada hari Kiamat).”
Kalimat
tauhid di sini adalah Laailaahaillallah, dimana seseorang tidak akan
selamat pada hari Kiamat kecuali dengan kalimat itu. Akan tetapi, kalimat ini
tidak sekedar diucapkan tanpa dipahami maknanya dan tanpa diamalkan
konsekwensinya. Karena Laailaahaillallah akan bermanfaat bagi orang yang
mengucapkannya ketika ia mengucapkannya dalam keadaan mengetahui maknanya,
mengamalkan konsekwensinya, dan jujur dalam mengucapkannya dari hatinya. Karena
dengan mengetahui maknanya, maka dia terlepas dari jalannya orang-orang
Nasrani, dan dengan mengamalkan konsekwensinya dia terlepas dari jalannya
orang-orang Yahudi, dan dengan jujur dalam mengucapkannya dia terlepas dari jalannya
orang-orang munafik.
Nash-nash
Al Qur’an dan As Sunnah menunjukkan, bahwa Laailaahaillallah akan
bermanfaat bagi seseorang ketika terpenuhi syarat-syaratnya. Syarat-syaratnya
adalah:
a. Ilmu
(mengetahui makna Laailaahaillah)
Makna
Laailaahaillallah adalah tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.
b. Yaqin
(yakin; tidak ragu-ragu)
c. Shidq
(jujur; tidak berdusta)
d. Mahabbah
(cinta; tidak membenci)
e. Inqiyad
(tunduk mengamalkan konsekwensinya)
Konsekwensinya
adalah meniadakan sesembahan selain Allah dan menetapkan bahwa ibadah hanya
untuk Allah saja.
f. Qabul
(menerima; tidak menolaknya)
g. Ikhlas
(karena Allah; bukan karena riya)
2. Beribadah
sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Imam
Malik bin Anas rahimahullah berkata, “As Sunnah itu seperti perahu Nabi Nuh.
Barang siapa yang menaikinya, maka akan selamat dan barang siapa yang
meninggalkannya, maka akan tenggelam.”
Perbuatan
bid’ah (tidak dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bukanlah
termasuk sebab keselamatan meskipun banyak dilakukan. Karena Allah Azza wa
Jalla hanya menerima amalan atau ibadah apabila sesuai dengan petunjuk Rasul-NYa
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang
siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan
itu tertolak.” (HR. Muslim)
Oleh
karenanya, pada hari Kiamat ada sebagian manusia yang diusir dari telaga Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka berbuat bid’ah dalam agamanya
(sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim).
Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sederhana di atas Sunnah lebih baik
daripada banyak namun di atas bid’ah.”
3. Taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, Takut kepada-Nya, dan bertakwa kepada-Nya.
Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Dan
barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah dan
bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapatkan
kemenangan.” (QS. An Nuur: 52)
Yang
dimaksud dengan takut kepada Allah adalah takut kepada Allah baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dimana jika rasa takut ini ada dalam
diri seorang hamba, maka amalnya akan menjadi baik dan dirinya akan jauh dari
maksiat. Adapun yang dimaksud dengan takwa adalah menaati Allah di atas ilmu
dari-Nya karena mengharap pahala-Nya dan meninggalkan larangan Allah di atas
ilmu dari-Nya kaena takut terhadap siksa-Nya.
3. Mengerjakan
kewajiban-kewajiban dalam Islam dan menjauhi yang haram
Dari
Jabir bin Abdullah Al Anshary radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Seseorang
pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Bagaimana
pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang wajib, berpuasa Ramadhan,
menghalalkan yang halal dan mengharamkan
yang haram dan saya tidak menambah lagi, apakah saya akan masuk
surga?". Beliau menjawab, "Ya." (HR. Muslim)
4. Selalu
mengingat bahwa kita akan berhadapan dengan Allah Azza wa Jalla pada hari
Kiamat, kita akan dihisab-Nya dan akan diberikan balasan terhadap amal
perbuatan kita, dan bahwa Dia akan bertanya kepada kita tentang hidup kita
semuanya.
Mengingat
hal ini akan membantu kita memperbaiki amalan, dan jika amal kita sudah baik,
maka kita akan memperoleh keselamatan pada hari Kiamat. Oleh karenanya, Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman menerangkan keadaan orang yang berbahagia pada
hari Kiamat; yang mengambil catatan amalnya dengan tangan kanannya, bahwa ia
dahulu selalu merasakan akan berhadapan dengan Allah Azza wa Jalla untuk dihisab-Nya,
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ
كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ (19) إِنِّي
ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ (20) فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ (21)
“Adapun
orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia
berkata, "Ambillah, bacalah kitabku (ini).--Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya
aku akan menemui hisab terhadap diriku.”--Maka orang itu berada dalam kehidupan
yang diridhai. (QS. Al Haaqqah: 19-21)
5. Berhati-hati
agar tidak ujub terhadap amal yang dikerjakan meskipun banyak, dan senantiasa bersungguh-sungguh
dalam beramal disertai rasa harap dan cemas.
Allah
Azza wa Jalla berfirman menyebutkan sifat hamba-hamba-Nya yang saleh,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا
آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60)
“Dan
orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang
takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan
mereka.” (QS. Al Mu’minun: 60)
Imam
Hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya, bahwa Abdullah bin Rawahah
radhiyallahu ‘anhu ketika berada di rumahnya dalam kondisi sakit ditemani
istrinya, maka ia pun menangis, lalu istrinya ikut menangis, maka Abdullah bin
Rawahah bertanya kepada istrinya tentang sebab dirinya menangis, istrinya
menjawab, “Aku melihat engkau menangis, maka aku pun ikut menangis,” lalu
istrinya balik bertanya kepada suaminya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis?”
Abdullah bin Rawahah menjawab, “Aku ingat firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا
وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا (71) ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ
اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا (72)
“Dan
tidak ada seorang pun darimu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi
Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.-72. Kemudian Kami akan
menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim
di dalam neraka dalam keadaan berlutut. (QS. Maryam: 71)
Abdullah
bin Rawahah melanjutkan kata-katanya, “Aku tidak tahu, apakah aku termasuk
mereka yang bertakwa atau bukan?”
6. Menjaga
lisan, diam di rumah (tidak mendatangi tempat-tempat fitnah), dan menangisi
dosa-dosa terutama pada saat fitnah datang yang membuat banyak manusia menyimpang
dari jalan yang lurus
‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu 'anhu pernah
bertanya, “Wahai Rasulullah, di manakah letak keselamatan?” Beliau menjawab,
أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ
بَيْتُكَ، وَابْكِ عَلىَ خَطِيْئَتِكَ
“Jagalah lisanmu, sempatkanlah berada di
rumahmu, dan tangisilah dosa-dosamu.” (HR. Tirmidzi, Shahihul Jami’ no.
1388)
7. Berdoa
dan meminta kepada Allah keselamatan pada hari Kiamat.
Yang
demikian adalah karena semua urusan di Tangan Allah, maka hendaknya kita
meminta kepada-Nya keselamatan. Dan ketahuilah, bahwa Dia tidak akan
mengecewakan orang yang meminta kepada-Nya.
8. Banyak
beristighfar (meminta ampun) kepada Allah Azza wa Jalla
Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ
مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Allah
tidak akan mengazab mereka ketika mereka memohon ampunan kepada-Nya.” (QS.
Al Anfaal: 33)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي
صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
“Sungguh
beruntung orang yang menemukan banyak istighfar dalam catatan amalnya.” (HR.
Ibnu Majah dari Abdullah bin Busr, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dari
Aisyah, dan Ahmad dalam Az Zuhd dari Abu Darda secara mauquf, dishahihkan
oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3930).
Ali bin
Abi Thalib berkata, “Aku heran kepada orang yang akan binasa padahal
keselamatan ada di dekatnya.” Lalu ia ditanya, “Di mana keselamatannya itu?” Ia
menjawab, “Yaitu dengan beristigfar.”
9. Perhatian
terhadap ilmu syar’i (ilmu agama)
Yang
demikian adalah karena ilmu syar’i adalah cahaya di tengah kegelapan. Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا
الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ
عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah
Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu
tidak mengetahui apa Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apa iman
itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya
siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu
(Muhammad) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS.
Asy Syura: 52)
Dengan
ilmu syar’i seseorang dapat mengetahui kewajiban-kewajiban agama dan
larangan-larangannya; mengetahui mana yang halal dan mana yang haram sehingga
ia bisa bertakwa. Bagaimana seseorang bisa menjauhi larangan sedangkan ia tidak
mengetahui mana perkara yang dilarang?
10. Memilih
teman-teman yang saleh.
Yang
demikian adalah karena teman itu biasanya dapat menarik seseorang kepada kebaikan
atau keburukan. Siapa saja yang berteman dengan orang-orang saleh, maka
teman-temannya akan menariknya kepada kebaikan, sebaliknya siapa saja yang
berteman dengan orang-orang yang buruk, maka teman-temannya akan menariknya
kepada keburukan dan kebinasaan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam
Al Qur’an penyesalan orang-orang zalim karena mengambil orang-orang buruk sebagai
temannya,
وَيَوْمَ يَعَضُّ
الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ
سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28)
لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ
لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا (29)
“Dan
(ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya
berkata, "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul."--Kecelakaan
besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman
akrab(ku).--Sesungguhnya dia telah menyesatkanku dari Al Quran ketika Al Quran
itu telah datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong manusia.” (QS. Al
Furqaan: 27-29)
Di
zaman kita ada teman-teman baru yang belum pernah ada di zaman sebelumnya,
yaitu berteman dengan saluran-saluran televisi dan internet, baik melalui Hp
maupun layar langsung, dimana sebagian orang ada yang berteman dengan
barang-barang tersebut sampai menghabiskan sebagian besar waktunya, padahal di
dalamnya terdapat berbagai fitnah; baik fitnah syubhat yang merusak pemikiran
maupun fitnah syahwat yang merusak amal dan keinginan. Maka bagi yang menginginkan
keselamatan bagi dirinya, hendaknya ia berhati-hati terhadap sumber-sumber
fitnah, dan taufiq hanya di Tangan Allah saja.
11. Berhati-hati
terhadap musuh yang tersembunyi, yaitu setan.
Setan
melihat kita, sedangkan kita tidak melihatnya, dia berusaha mengajak kita ke
jurang kebinasaan dengan berbagai cara dan tipu dayanya, maka hendaknya kita
waspada terhadapnya, semoga Allah melindungi kita dan keturunan kita dari
godaan setan yang terkutuk.
Hendaknya
kita ketahui, bahwa setan duduk di setiap jalan yang ditempuh anak Adam, baik jalan
yang baik maupun jalan yang buruk. Jika jalan yang ditempuhnya baik, maka
setan berusaha menghalanginya dari jalan
itu dan melemahkannya, tetapi jika jalan itu buruk, maka setan terus
mendorongnya untuk melakukannya.
Tidak
ada yang diperoleh bagi mereka yang mengikuti setan selain penyesalan.
Disebutkan dalam Al Qur’an khutbah setan (Iblis) di hadapan para pengikutnya
pada hari Kiamat,
وَقَالَ الشَّيْطَانُ
لَمَّا قُضِيَ الْأَمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ
فَأَخْلَفْتُكُمْ وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلَّا أَنْ
دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي فَلَا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ مَا
أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا
أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan
setan berkata ketika perkara (hisab) telah diselesaikan, "Sesungguhnya
Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan
kepadamu tetapi aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku
terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku,
oleh sebab itu janganlah kamu mencelaku, akan tetapi celalah dirimu sendiri.
Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat
menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku
(dengan Allah) sejak dahulu." Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
mendapat siksaan yang pedih.” (QS. Ibrahim: 22)
Setan
memiliki cara yang banyak dalam menyesatkan anak cucu Adam. Cara-cara tersebut
telah disebutkan sebagiannya oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul
Lahfan min Mashaidisy Syaithan. Dan setan memiliki pengamalan yang banyak
dalam menyesatkan anak cucu Adam, bahkan tidak ada pengamalan yang lebih lama
dibanding setan. Ia sudah mulai menyesatkan manusia sejak zaman Nabi Adam
sampai sekarang. Oleh karena itu, seorang harus menjadikan setan sebagai
musuhnya dan hendaknya ia selalu meminta perlindungan kepada Allah dari godaan
setan. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ
مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan
jika kamu ditimpa sesuatu godaan dari setan, maka berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.
Al A’raaf: 200)
Khatimah
Sebagai
penutup, ada sebuah doa yang dianjurkan bagi seorang muslim untuk berdoa
dengannya di siang dan malam agar seseorang dapat terhindar dari sumber-sumber
keburukan dan akibatnya, yaitu doa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad, dan
Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Abu Bakar pernah berkata,
“Wahai Rasulullah, perintahkanlah kepadaku mengucapkan sesuatu yang aku ucapkan
ketika aku berada di pagi hari dan di sore hari.” Beliau menjawab, “Ucapkanlah,
اللَّهُمَّ فَاطِرَ
السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا
أَنْتَ رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيكَهُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِي، وَمِنْ
شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِي سُوءًا أَوْ
أَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ
“Ya
Allah Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui yang gaib dan yang tampak,
tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau; Pemilik segala seuatu dan
Rajanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku
berlindung kepada-Mu dari keburukan diriku, keburukan
setan serta seruannya kepada syirk, dan melakukan suatu keburukan terhadap
diriku atau menyeret seorang muslim kepadanya.”
Beliau juga bersabda, “Ucapkanlah kalimat itu ketika engkau berada
di pagi hari, di sore hari, dan ketika engkau mendatangi tempat tidurmu.” (Dishahihkan
oleh Al Albani)
Selesai ditulis materi ini dan disimpulkan oleh Marwan bin Musa
dari ceramah Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr hafizhahullah.
Wa shallallau ‘alaa
Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi
Rabbil ‘alamin.
0 komentar:
Posting Komentar