بسم الله الرحمن الرحيم
Sunah-Sunah Shalat
(1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan tentang sunah-sunah
shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Sunah-Sunah Shalat
Shalat memiliki sunah-sunah
yang dianjurkan bagi orang yang shalat menjaganya agar memperoleh pahala secara
lebih sempurna. Berikut sunah-sunah shalat:
1.
Mengangkat kedua tangan
Dianjurkan mengangkat kedua
tangan dalam empat keadaan, yaitu:
(a)
ketika takbiratul ihram
Ibnul Mundzir berkata, “Ahli
Ilmu tidak beselisih, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat
kedua tangan ketika memulai shalat.”
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,
“Mengangkat kedua tangan di awal shalat telah diriwayatkan oleh lima puluh
orang shahabat, di antara mereka sepuluh orang yang dijamin masuk surga.”
Baihaqi meriwayatkan dari
Hakim, ia berkata, “Kami tidak mengetahui sebuah Sunnah yang telah disepakati
diriwayatkan oleh para khalifah yang empat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dan diriwayatkan pula oleh sepuluh orang yang dijamin masuk surga
serta para sahabat setelah mereka padahal mereka berada di tempat yang jauh
daripada Sunnah ini (mengangkat tangan di awal shalat).”
Baihaqi berkata, “Sesuai
sekali yang dikatakan guru kami Abu Abdillah.”
Cara mengangkat kedua tangan
Ada beberapa riwayat tetang
cara mengangkat tangan.
Menurut jumhur (mayoritas ulama),
hendaknya seseorang mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya,
yakni ujung-ujung jarinya sejajar dengan bagian atas telinganya, kedua ibu
jarinya sejajar dengan bagian bawah telinganya, sedangkan kedua telapak
tangannya sejajar dengan kedua bahunya. Imam Nawawi berkata, “Dengan cara
seperti ini Imam Syafi’i menggabung antara beberapa riwayat hadits, lalu
manusia menganggap hal tersebut baik dari beliau.”
Sebagian ulama ada yang menjama' (menggabung) antara hadits yang
menjelaskan mengangkat tangan sejajar dengan bahu dan yang menjelaskan sejajar
dengan telinga, menurut mereka, "Punggung telapak tangan sejajar dua bahu,
sedangkan ujung-ujung jarinya sejajar dengan kedua telinga." Hal ini
diperkuat dengan riwayat Abu Dawud dari Waa'il, yang artinya: “Sehingga
tangannya sejajar kedua bahu, dan kedua ibu jarinya sejajar kedua telinganya.” Ash Shan'aaniy dalam Subulus Salaam
mengatakan, "Ini adalah jama' yang bagus."
Dan dianjurkan ketika
mengangkat tangan, ia panjangkan (luruskan) jari-jarinya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قاَلَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ رَفَعَ يَدَيْهِ مَدًّا»
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri
shalat mengangkat kedua tangannya dengan meluruskannya.” (HR. Lima Imam Ahli
Hadits selain Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Adapun waktu mengangkat
tangannya, maka ia bisa mengangkat tangannya sambil bertakbir atau mengangkat
tangan lebih dulu lalu bertakbir.
Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma ketika masuk ke dalam shalat bertakbir dan mengangkat
kedua tangannya. Ia (Ibnu Umar) menghubungkannya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. (HR. Buhari, Nasa’i, dan Abu Dawud)
Dari Ibnu Umar pula, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir
sehingga sejajar dengan kedua bahunya atau mendekatinya. (HR. Ahmad dan
lain-lain)
Adapun dalil bolehnya
mendahulukan mengangkat tangan sebelum bertakbir adalah berdasarkan hadits Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika berdiri shalat mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar dengan kedua
bahunya, kemudian Beliau bertakbir.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan ada pula riwayat yang
menyebutkan bertakbir dahulu lalu mengangkat kedua tangan, yaitu hadits Malik
bin Huwairits dengan lafaz, “Kabbara tsumma rafa’a yadaih” (artinya:
Beliau bertakbir kemudian mengangkat kedua tangannya). Akan tetapi Al Hafizh
berkata, “Aku tidak berpendapat mendahulukan takbir sebelum mengangkat kedua
tangan.”
(b)
Ketika ruku
(c)
Ketika bangun dari ruku
Ada riwayat dari 22 orang
sahabat yang menyebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan demikian.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu
anhuma ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri untuk
shalat mengangkat kedua tangannya sejajar kedua bahunya, lalu bertakbir. Saat
Beliau hendak ruku, Beliau juga melakukan hal itu, demikian pula ketika Beliau
mengangkat kepalanya setelah ruku, ketika itu Beliau mengucapkan, “Sami’allahu
liman hamidah. Rabbanaa walakal hamd.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Baihaqi.
Dalam riwayat Bukhari ada tambahan, “Beliau tidak melakukannya saat sujud dan
ketika mengangkat kepalanya dari sujud.” Dalam riwayat Muslim tambahannya
adalah, “Beliau tidak melakukannya saat mengangkat kepala dari sujud. Demikian
pula Beliau tidak melakukannya saat duduk antara dua sujud. Baihaqi
menambahkan, “Itulah shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga
Beliau menghadap Allah Ta’ala.”)
Ibnul Madiniy berkata, “Hadits
ini menurutku adalah hujjah bagi manusia. Semua orang yang telah mendengarnya
hendaknya mengamalkannya karena dalam isnadnya tidak ada masalah.”
Bahkan Imam Bukhari telah
menyusun juz tersendiri tentang hal ini. Ia menceritakan dari Al Hasan dan
Humaid bin Hilal, bahwa para sahabat melakukan hal tersebut, yakni mengangkat
kedua tangan pada tiga keadaan itu. Dan Al Hasan tidak mengecualikan seorang
dari para sahabat.
Adapun pendapat Abu Hanifah,
bahwa mengangkat tangan tidak disyariatkan kecuali pada saat takbiratul ihram
saja berdalih dengan hadits Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Aku akan tunjukkan shalat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian,” lalu ia shalat dan
tidak mengangkat tangan kecuali sekali saja. Pendapat ini tidak kuat, karena
hadits tersebut dianggap cacat oleh banyak Imam Ahli Hadits meskipun Ibnu
Hibban menyebutkan sebagai khabar (hadits) yang paling baik. Bahkan penduduk
Kufah meriwayatkan tentang peniadaan mengangkat tangan dalam shalat ketika ruku
dan bangun daripadanya, namun pada hakikatnya hal ini sangat lemah sekali jika
dijadikan pegangan, karena riwayat tersebut memiliki banyak illat (cacat) yang
membatalkannya. Kalau pun kita nyatakan sahih sebagaimana yang ditegaskan
Tirmidzi, namun tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih yang
telah mencapai derajat masyhur. Dan penyusun kitab At Tanqih menganggap
bahwa Ibnu Mas’ud mungkin lupa mengangkat sebagaimana yang lain.
Az Zaila’i dalam Nashbur
Raayah –menukil dari penyusun kitab At Tanqih- berkata, “Lupanya
Ibnu Mas’ud bukanlah sesuatu yang aneh, bahkan Ibnu Mas’ud juga lupa terhadap
beberapa ayat Al Qur’an yang kaum muslimin tidak berselisih tentang
keberadaannya, yaitu surat mu’awwidzatain. Ia juga lupa terhadap masalah
yang telah disepakati ulama bahwa hal tersebut telah mansukh seperti masalah
praktek tathbiq (menempelkan kedua telapak tangan di antara kedua paha ketika
ruku). Ia juga lupa tentang masalah bagaimana berdirinya dua orang di belakang
imam, dan lupa terhadap masalah yang para ulama tidak berselisih padanya, yaitu
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Subuh pada waktunya
di hari Nahar. Ia juga lupa terhadap masalah jama yang dilakukan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berada di Arafah. Ia juga lupa dalam masalah
yang para ulama tidak berselisih padanya, yaitu tentang meletakkan sikut dan
lengan ke tanah dalam sujud. Ia juga lupa tentang bagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membaca ayat “Wa maa khalaqadz dzakara wal untsa.”
Jika Ibnu Mas’ud saja bisa lupa dalam hal ini ketika shalat, maka bagaimana
mustahil bagi Beliau lupa mengangkat tangan?”
(d)
Ketika bangun ke rakaat
ketiga.
Dari Nafi’, dari Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ia (Ibnu Umar) ketika bangun dari dua rakaat
mengangkat kedua tangannya, dan ia menghubungkannya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu
tentang sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau ketika
bangun dari dua rakaat mengangkat tangannya sejajar kedua bahunya dan bertabir.
(HR. Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan ia menshahihkannya)
Samanya praktek wanita dengan
laki-laki dalam Sunnah di atas
Imam Syaukani berkata,
“Ketahuilah! Bahwa Sunnah ini berlaku baik bagi laki-laki maupun wanita. Tidak
ada dalil yang membedakan antara keduanya dalam hal ini. Demikian pula tidak
ada dalil yang membedakan antara laki-laki dan wanita dalam hal ukuran (tinggI)
mengangkat tangan.”
2.
Meletakkan tangan kanan di
atas tangan kiri
Dianjurkan meletakkan tangan
kanan di atas tangan kiri ketika shalat. Dalam hal ini ada dua puluh hadits;
delapan belas hadits dari sahabat, dan dua hadits dari tabiin dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sahl bin Sa’ad berkata,
“Manusia diperintahkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya dalam
shalat.” Abu Hazim berkata, “Aku tidak tahu kecuali ia menyandarkannya kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Malik dalam Al
Muwaththa’)
Al Hafizh berkata, “Hal ini
hukumnya marfu’, karena mengandung penjelasan bahwa yang memerintahkan mereka
melakukan hal itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda,
إِنَّا مَعْشَرُ الْأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا أَنْ نُعَجِّلَ إِفْطَارَنَا
وَنُؤَخِّرَ سَحُوْرَنَا وَنَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِي الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya
kami para nabi diperintahkan menyegerakan berbuka, menunda makan sahur, dan
meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Thayalisi dan
Thabrani dalam Al Kabir dari Ibnu Abbas, Ibnu Hibban, Daruquthni, dan
Thabrani dalam Ash Shaghir dari Ibnu Umar, dishahihkan oleh Al Albani
dalam Shahihul Jami’ no. 2286).
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu
ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati orang
yang sedang shalat dalam keadaan meletakkan tangan kiri di atas tangan
kanannya, maka Beliau segera melepasnya dan meletakkan tangan kanan di atas
tangan kirinya.” (HR. Ahmad dan lainnya, Imam Nawawi berkata, “Isnadnya
shahih.”)
Ibnu Abdil Bar berkata, “Tidak
ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi hal
tersebut. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) para sahabat dan tabi’in. Dan
Malik menyebutkannya dalam Al Muwaththa.” Ia (Ibnu Abdil Bar) juga
berkata, “Malik senantiasa menggenggam (tangan kiri dengan tangan kanannya)
sampai ia menghadap Allah Azza wa Jalla.”
Tempat meletakkan kedua tangan
Menurut Al Kamal bin Hammam,
bahwa tidak ada hadits shahih yang mewajibkan meletakkan tangan di bawah dada
atau di bawah pusar. Yang dikenal di kalangan ulama madzhab Hanafi adalah
meletakkan di bawah pusar. Sedangkan di kalangan madzhab Syafi’i meletakkan di
bawah dada.
Sedangkan Imam Ahmad memiliki
dua pendapat seperti dua madzhab sebelumnya. Yang benar insya Allah adalah di
antara keduanya (pusar dan dada).
Tirmidzi berkata, “Ahli Ilmu
dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in,
dan generasi setelah mereka berpendapat agar seseorang meletakkan tangan kanan
di atas tangan kiri dalam shalatnya. Sebagian mereka berpendapat meletakkannya
di atas pusar, dan sebagian lagi berpendapat meletakkannya di bawah pusar.
Semua itu terjadi di antara mereka.”
Menurut Syaikh S. Sabiq rahimahullah,
“Akan tetapi ada riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangannya di dadanya. “
Ia pun menyebutkan
dalil-dalilnya sebagai berikut:
Dari Halb At Tha’iy ia
berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakan tangan kanan
di atas tangan kiri di dadanya, yakni di atas persendian (tangannya).” (HR.
Ahmad, dan dihasankan oleh Tirmidzi)
Dari Wa’il bin Hujr ia
berkata, “Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau
meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dadanya.” (HR. Ibnu
Khuzaimah dan ia menshahihkannya. Abu Dawud dan Nasa’i juga meriwayatkan dengan
lafaz, “Lalu Beliau meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak
tangannya yang kiri, juga di atas pergelangan dan lengannya (yang kiri).”
Maksudnya Beiau meletakkan tangan kanannya di atas punggung tangan kirinya,
pergelangan, dan lengannya.”
Bersambung...
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S.
Sabiq), Makbatah Syamilah versi 345, dll.
0 komentar:
Posting Komentar