بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Shalat Sunah Dhuha
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan shalat
sunah Dhuha, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) Dhuha
Dhuha menurut fuqaha (Ahli Fiqh) adalah
waktu antara naiknya matahari hingga tergelincir (Hasyiyah Ibnu Abidin 2/23).
Keutamaan shalat Dhuha
1. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu
ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ
تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ
صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ،
وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ
يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى»
“Pada pagi harinya setiap persendian
salah seorang di antara kamu perlu bersedekah. Setiap tasbih (ucapan
Subhaanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan Alhamdulillah) adalah
sedekah, setiap tahlil (ucapan Laailaahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir
(ucapan Allahu akbar) adalah sedekah, amar ma’ruf adalah sedekah, dan nahi
munkar juga sedekah, namun hal itu dicukupkan oleh dua rakaat yang ia lakukan
pada waktu Dhuha.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad)
2. Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«فِي الْإِنْسَانِ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ، مَفْصِلًا
فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ»
“Pada diri manusia ada 360
persendian yang masing-masingnya perlu bersedekah satu sedekah.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Nabi
Allah, siapakah yang mampu melakukan hal itu?”
Beliau bersabda,
«النُّخَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا، وَالشَّيْءُ
تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُكَ»
“Yaitu dengan cara memendam dahak
yang ada di masjid dan menyingkirkan sesuatu (yang membahayakan) dari jalan.
Jika engkau tidak sanggup, maka shalat dua rakaat Dhuha dapat mencukupinya.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Imam Syaukani berkata, “Kedua hadits
di atas menunjukkan keutamaan shalat Dhuha, tingginya kedudukannya, sangat
disyariatkan, dan bahwa dua rakaat shalat Dhuha dapat mencukupinya dari 360
sedekah. Jika demikian keadaannya, maka patut sekali dirutinkan. Demikian pula
menunjukkan disyariatkannya memperbanyak tasbih, tahmid, tahlil, amar ma’ruf,
nahi munkar, membenamkan dahak, menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari
jalan, serta melakukan ketaatan lainnya agar sedekah yang seharusnya
dikeluarkan manusia setiap harinya menjadi gugur.”
3. Dari Zaid bin Arqam ia berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui penduduk Quba, ketika
itu mereka sedang shalat Dhuha, maka Beliau bersabda,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ
حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalat orang-orang yang banyak
kembali kepada Allah adalah ketika anak-anak unta mulai kepanasan.” (HR. Muslim
dan Ahmad)
4. Dari Jubair bin Nufair, dari Abu
Darda dan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman,
«ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ
النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ»
“Wahai anak Adam! Lakukanlah shalat
untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya akan Aku cukupkan kamu di
akhirnya.” (HR. Tirmidzi, dan ada syahid dalam riwayat Abu Dawud dari hadits
Nu’aim bin Hammar, dishahihkan oleh Al Albani).
5. Dari Abdullah bin Amr
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengirimkan sariyyah (pasukan kecil), lalu mereka memperoleh ghanimah (harta
rampasan) dan segera kembali, kemudian orang-orang membicarakan tentang
sebentarnya peperangan mereka, banyaknya ghanimah yang mereka peroleh, dan
cepatnya mereka kembali, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى
أَقْرَبَ مِنْهُ مَغْزًى، وَأَكْثَرَ غَنِيمَةً، وَأَوْشَكَ رَجْعَةً؟ مَنْ
تَوَضَّأَ، ثُمَّ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لِسُبْحَةِ الضُّحَى، فَهُوَ أَقْرَبُ
مَغْزًى، وَأَكْثَرُ غَنِيمَةً، وَأَوْشَكُ رَجْعَةً
“Maukah kalian aku tunjukkan
peperangan yang lebih cepat selesainya, ghanimahnya lebih banyak, dan lebih
cepat kembali? Barang siapa yang berwudhu, kemudian pergi ke masjid untuk
shalat Dhuha, maka itu adalah peperangan yang lebih cepat, lebih banyak
ghanimahnya, dan lebih cepat kembalinya.” (HR. Ahmad, dan dinyatakan hasan
shahih oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 668).
6. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu ia berkata,
أَوْصَانِي خَلِيلِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاَثٍ: «صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ
كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيِ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ»
“Kekasihku (Rasulullah) shallallahu
‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku untuk melakukan tiga hal, yaitu: berpuasa
tiga hari dalam setiap bulan, melakukan shalat dua rakaat Dhuha, dan melakukan
shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
7. Dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
safar melakukan shalat sunah Dhuha delapan rakaat. Ketika selesai, Beliau
bersabda,
إِنِّي صَلَّيْتُ
صَلَاةَ رَغْبَةٍ وَرَهْبَةٍ، سَأَلْتُ رَبِّي ثَلَاثًا، فَأَعْطَانِي ثِنْتَيْنِ،
وَمَنَعَنِي وَاحِدَةً: سَأَلْتُه أَنْ لَا يَبْتَلِيَ أُمَّتِي بِالسِّنِينَ،
فَفَعَلَ. وَسَأَلْتُهُ أَنْ لَا يُظْهِرَ عَلَيْهِمْ عَدُوَّهُمْ، فَفَعَلَ،
وَسَأَلْتُهُ أَنْ لَا يَلْبِسَهُمْ شِيَعًا، فَأَبَى عَلَيَّ
“Sesungguhnya aku melakukan shalat
dengan rasa harap dan cemas, aku meminta kepada Rabbku tiga permintaan, namun
Dia mengabulkanku dua saja, dan tidak mengabulkan yang satunya lagi. Aku
meminta kepada-Nya agar Dia tidak memberikan cobaan kepada umatku dengan
kemarau panjang, lalu Dia mengabulkannya. Aku juga meminta kepada-Nya agar
musuh tidak mengungguli mereka, lalu Dia mengabulkan, dan aku meminta
kepada-Nya agar Dia tidak mencampur-baurkan mereka dalam golongan-golongan yang
saling bertengkar, namun Dia tidak mengabulkannya.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Hakim,
dan Ibnu Khuzaimah. Keduanya (Hakim dan Ibnu Khuzaimah) menshahihkan dan dinyatakan shahih lighairih oleh
pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
Hukum Shalat Dhuha
Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum shalat Dhuha hingga muncul enam pendapat. Di antara pendapat-pendapat
tersebut, yang paling mendekati kebenaran ada tiga pendapat, yaitu:
Pertama, dianjurkan secara mutlak, dan
dianjurkan pula merutinkannya. Ini adalah madzhab jumhur (mayoritas) ulama.
Dalilnya adalah hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Demikian pula
berdasarkan hadits Ma’adzah Al ‘Adawiyah, ia berkata, “Aku bertanya kepada
Aisyah, “Apakah Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat
Dhuha?” Ia menjawab, “Ya, empat rakaat, dan Beliau menambahkan sekehendaknya.”
(HR. Muslim dan Ibnu Majah).
Kedua, dianjurkan melakukannya, namun
tidak merutinkannya. Ini adalah madzhab ulama Hanbali. Di antara dalilnya adalah hadits Anas tentang kisah shalat
Dhuha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah Itban bin Malik, lalu fulan
bin Al Jarud berkata kepada Anas, “Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan shalat Dhuha?” Anas menjawab, “Aku tidak pernah melihat Beliau
melakukannya kecuali hari itu saja.” (HR. Bukhari). Demikian pula berdasarkan hadits
Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku tidak melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sunah Dhuha, namun aku melakukannya. Dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan amalan yang Beliau sukai
karena khawatir dilakukan manusia, lalu hal itu diwajibkan atas mereka.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Ketiga, tidak disyariatkan kecuali karena
ada sebab, seperti karena tidak melakukan shalat malam, dsb.
Dalilnya adalah hadits Ummu Hani
yang menyebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahnya
pada saat Fathu Makkah, lalu mandi dan shalat delapan rakaat (shalat sunah
Dhuha), ketika itu Beliau melakukan shalat yang ringan, namun tetap
menyempurnakan ruku dan sujud (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud). Hal ini
dilakukan disebabkan Fathu Makkah. Thabari juga menukilkan praktek Khalid bin
Walid yang sama seperti itu saat menaklukkan kota Hirah.
Demikian pula berdasarkan hadits
Itban bin Malik yang disebutkan sebelumnya, dan berdasarkan hadits Abdullah bin
Syaqiq saat ia bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apakah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha?” Aisyah menjawab,
"Tidak, kecuali jika Beliau pulang dari safarnya.” (HR. Muslim).
Menurut Syaikh Abu Malik Kamal dalam
Shahih Fiqhis Sunnah, bahwa pendapat pertama lebih sahih berdasarkan
keumuman anjuran melakukan shalat Dhuha, dan karena keadaannya menyamai 360
sedekah. Adapun riwayat dari sebagian sahabat yang mengingkarinya seperti Ibnu
Mas’ud, Ibnu Umar, dan lainnya, maka tidak menjadikan hal itu tidak
disyariatkan, karena selain mereka dari kalangan sahabat menetapkannya, dan
masing-masing meriwayatkan sesuai yang ia lihat (Lihat Shahih Fiqhis Sunnah
hal. 424).
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah
berkata, “Shalat Dhuha adalah ibadah yang dianjurkan. Barang siapa yang
menginginkan pahalanya, maka hendaknya ia lakukan. Jika tidak, maka tidak ada
celaan baginya ketika meninggalkannya.”
Waktu shalat Dhuha
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
menerangkan waktu shalat Dhuha, yaitu seperempat jam (15 menit) setelah terbit
matahari hingga menjelang waktu Zhuhur; sepuluh menit sebelumnya (Asy
Syarhul Mumti’ 4/122).
Syaikh Abu Malik berkata, “Waktunya
menurut jumhur ulama adalah dimulai setelah naik matahari dan habisnya waktu
terlarang sampai menjelang tergelincir matahari selama belum masuk waktu
terlarang (ketika matahari di tengah langit).” Ia juga berkata, “Oleh karena
itu, waktunya dimulai seperempat jam (15 menit) setelah terbit matahari.”
Waktu yang paling utama melakukan
shalat Dhuha
Dianjurkan pelaksanaannya ditunda
sampai suasana semakin panas. Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Arqam
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ
حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalat orang-orang yang banyak
kembali kepada Allah adalah ketika anak-anak unta mulai kepanasan.” (HR. Muslim
dan Ahmad)
Jumlah rakaat shalat Dhuha
Jumlah paling sedikit adalah dua
rakaat sebagaimana telah disebutkan dalilnya, yang paling banyaknya berdasarkan
praktek Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah delapan rakaat, dan
berdasarkan sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dua belas rakaat.
Dalil pelaksanaan dua rakaat, empat
rakaat, dan delapan rakaat sudah disebutkan. Adapun dalil pelaksanaan enam
rakaat adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha enam rakaat. (HR. Tirmidzi dalam Asy
Syamail, dan dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Mukhtashar
Asy Syamail no. 245).
Sedangkan dalil pelaksanaan shalat
Dhuha dua belas rakaat adalah hadits Abu Darda, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى الضُّحَى
رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِينَ، وَمَنْ صَلَّى أَرْبَعًا كُتِبَ
مِنَ الْعَابِدِينَ، وَمَنْ صَلَّى سِتًّا كُفِيَ ذَلِكَ الْيَوْمَ، وَمَنْ صَلَّى
ثَمَانِيًا كَتَبَهُ اللَّهُ مِنَ الْقَانِتِينَ، وَمَنْ صَلَّى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ
بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ، وَمَا مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا
لِلَّهِ مَنٌّ يَمُنُّ بِهِ عَلَى عِبَادِهِ وَصَدَقَةٌ، وَمَا مَنَّ اللَّهُ
عَلَى أَحَدٍ مِنْ عِبَادِهِ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ يُلْهِمَهُ ذِكْرَهُ
“Barang siapa yang melakukan shalat
Dhuha dua rakaat, maka tidak akan dicatat temasuk orang-orang yang lalai.
Barang siapa yang melakukan shalat empat rakaat, maka akan dicatat termasuk
Ahli Ibadah. Barang siapa yang shalat enam rakaat, maka akan dicukupi pada hari
itu. Barang siapa yang shalat delapan rakaat, maka akan dicatat Allah termasuk
orang-orang yang taat. Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat, maka
Allah akan bangunkan rumah untuknya di surga. Tidak ada siang atau malam hari
melainkan Allah memberikan nikmat dan sedekah kepada hamba-hamba-Nya. Dan tidak
ada nikmat yang Allah berikan salah seorang hamba-Nya yang lebih utama daripada
diilhami-Nya untuk berdzikir kepada-Nya.” (Al Haitsami dalam Majmauz Zawaid
(2/237) berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Kabir. Dalam sanadnya
terdapat Musa bin Ya’qub Az Za’iy yang ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu
Hibban, namun didhaifkan oleh Ibnul Madini dan lainnya, sedangkan para perawi
lainnya adalah tsiqah.” Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul berkata, “Musa bin
Ya’qub adalah seorang yang sangat jujur namun buruk hapalannya sebagaimana
dalam At Taqrib hal. 554, namun Al Bazzar menyebutkan dalam Kasyful Astar (2/334)
riwayat yang menjadi syahidnya dari Abu Dzar. Al Mundziri menyebutkannya dalam
At Targhib, dan Al Albani menghasankan hadits Abu Darda dan Abu Dzar dalam Shahih
At Targhib (1/279)).
Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul
berpendapat, bahwa hadits di atas membatasi kemutlakan yang disebutkan dalam
hadits Aisyah saat ia ditanya, “Apakah Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan shalat Dhuha?” Ia menjawab, “Ya, empat rakaat, dan Beliau
menambahkan sekehendaknya,” sehingga maksimalnya 12 rakaat.
Namun sebagian ulama seperti Abu
Ja’far Ath Thabari, dikuatkan oleh Al Mulaimiy dan Ar Ruyani dari kalangan
ulama madzhab Syafi’i, bahwa untuk jumlah banyaknya tidak dibatasi. Di antara
dalilnya adalah hadits Ma’adzah Al ‘Adawiyah, ia berkata, “Aku bertanya kepada
Aisyah, “Apakah Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat
Dhuha?” Ia menjawab, “Ya, empat rakaat, dan Beliau menambahkan sekehendaknya.”
(HR. Muslim dan Ibnu Majah).
Al Iraqi dalam Syarah At Tirmidzi
berkata, “Aku tidak pernah melihat salah seorang sahabat maupun tabi’in
membatasinya sampai dua belas rakaat.” Hal yang sama juga dinyatakan oleh Imam
As Suyuthi.
Sa’id bin Manshur menyebutkan dari
Al Hasan, bahwa ia pernah ditanya, “Apakah para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukannya?” Ia menjawab, “Ya. Di antara mereka ada yang
melakukan shalat Dhuha dua rakaat, ada pula yang empat rakaat, dan ada pula
yang melakukannya hingga pertengahan siang hari.”
Dari Ibrahim An Nakha’i, bahwa ada
seorang yang bertanya kepada Al Aswad bin Yazid, “Berapa saya perlu melakukan
shalat Dhuha?” Ia menjawab, “Sekehendakmu.”
Pelaksanaan shalat Dhuha
Adapun pelaksanaannya, maka menurut
Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul adalah dua rakaat-dua rakaat berdasarkan
keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Shalatul laili wan nahari
matsna-matsna” (artinya: shalat di malam dan siang hari adalah dua
rakaat-dua rakaat) (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al
Albani). Ia juga menjelaskan, namun seorang muslim juga boleh melaksanakannya
empat rakaat sekaligus seperti shalat yang berjumlah empat rakaat (boleh
dengan tasyahhud awwal di rakaat kedua, boleh juga tanpa tasyahhud awwal dan
salam di rakaat keempat)
sebagaimana yang ditunjukkan oleh kemutlakan lafaz hadits yang menyebutkan
empat rakaat, wallahu a’lam.
Doa Setelah Shalat Dhuha
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الضُحى ثُم قَال: (اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِي وتُب عَلي إنَّك أَنت التَّوابُ الرَّحيم) حَتَّى قَالها مَائة مَرة.
Dari Aisyah radhiyallahu anha ia
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha, setelah
itu berdoa,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَتُبْ عَلَيَّ إنَِّكَ
أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Ya Allah, ampunilah aku dan
terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.”
Beliau mengucapkannya hingga seratus
kali.
(Hr. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad,
dan dishahihkan oleh Al Albani)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdu lillahi Rabbil
‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’:
Shahih Fiqhus Sunnah (Abu Malik Kamal As Sayyid Salim), Fiqhus
Sunnah (Sayyid Sabiq), Bughyatul Mutathawwi’ (M. Bin Umar
Bazmul), Ahkam Qiyamil Lail (Sulaiman Al Ulwan), Al Fiqhul
Muyassar fii Dhau’il Kitab wa Sunnah (Tim Ahli Fiqh, KSA), Maktabah
Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz
Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), Al Adabul Mufrad (Imam Bukhari), dll.
0 komentar:
Posting Komentar