بسم
الله الرحمن الرحيم
Mengapa Kita Harus Menuntut Ilmu Agama? (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan penjelasan tentang urgensi (pentingnya) menuntut ilmu agama, semoga
Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Mengapa
kita harus mempelajari ilmu agama?
9. Ilmu
tidak sulit untuk dijaga; berbeda dengan harta.
Terhadap
harta, uang misalnya, engkau harus menjaganya di tempat yang aman agar tidak
hilang, di samping dirimu harus terus waspada terhadapnya. Adapun ilmu agama,
dialah yang menjagamu agar tidak salah langkah, dan dengan memilikinya dirimu
merasa tenang.
10. Allah
menjadikan Ahli Ilmu sebagai saksi atas keesaan-Nya
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah
menyatakan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian). Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Cukuplah
kebanggaan bagimu wahai penuntut ilmu, bahwa dirimu termasuk orang-orang yang
dijadikan saksi oleh Allah atas keesaan-Nya.
11. Ahli
Ilmu termasuk ulil amri (pemegang urusan atau kuasa).
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil
amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)
Para
ulama menafsirkan ulil amri di sini dengan umara (pemerintah) dan ulama.
Hal itu, karena wilayah ulama adalah menerangkan syariat Allah dan mengajak
manusia kepadanya, sedangkan wilayah umara adalah memberlakukan syariat Allah
dan menekan manusia untuk mengikutinya.
12.
Memahami agama merupakan tanda, bahwa Allah menginginkan kebaikan kepada
dirinya, dan bahwa merekalah al firqah an najiyah (golongan yang selamat)
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ
خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي،
وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ، لاَ يَضُرُّهُمْ
مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ
“Barang siapa
yang diinginkan Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan pahamkan terhadap
agama. Saya hanyalah menyampaikan ilmu, namun Allah yang memberinya. Akan
senantiasa ada di umat ini orang-orang yang menjaga perintah Allah, tidak
meresahkan mereka orang-orang yang menyelisihinya sampai datang janji Allah
(hari Kiamat).” (HR. Bukhari)
Paham
terhadap agama di sini mencakup paham tehadap akidah yang benar dan
syariat-syariat dalam agama ini.
Imam
Ahmad berkata tentang orang-orang yang menjaga perintah Allah dalam hadits di atas,
“Jika mereka bukan Ahli Hadits, maka aku tidak mengetahui siapa mereka.”
Al Qadhiy
Iyadh berkata, “Maksud Imam Ahmad adalah Ahlussunnah dan orang yang berakidah
seperti akidah Ahli Hadits.”
13. Orang
yang memiliki ilmu agama tidak mengapa dighibthahi (diiirikan)
Iri yang
tidak tercela adalah ghibthah, yakni seseorang berkeinginan memiliki apa yang
ada pada orang lain tanpa ada keinginan agar apa yang ada pada orang lain
hilang daripadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan iri
kepada Ahli Ilmu yang mengamalkannya, dan kepada orang kaya yang menggunakan
hartanya di jalan Allah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي
اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا، فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي
الحَقِّ، وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً، فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh
iri kecuali kepada dua orang; seorang yang Allah berikan harta, lalu ia
keluarkan untuk kebenaran, dan seorang yang Allah berikan hikmah (ilmu), lalu
ia memutuskan dengannya dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
14. Orang
yang berilmu dan mengamalkannya seperti permukaan tanah yang baik yang dapat
menyerap air dan menumbuhkan tanaman
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ،
كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ،
قَبِلَتِ المَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَ وَالعُشْبَ الكَثِيرَ، وَكَانَتْ مِنْهَا
أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ المَاءَ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوا
وَسَقَوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ
قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلَأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ
فِي دِينِ اللَّهِ، وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ،
وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ
الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ»
“Perumpamaan
petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengan membawanya adalah seperti hujan
yang lebat yang turun mengenai tanah. Di antara jenis tanah itu, ada tanah yang
baik yang dapat menyerap air dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan
yang banyak. Ada pula tanah yang keras, yang menahan air (tergenang), sehingga
Allah memberikan manfaat kepada manusia dengannya, mereka dapat meminumnya,
memberi minum hewan ternaknya, dan menyiram tanaman. Ada pula permukaan tanah
yang datar dan licin yang tidak dapat menampung air dan tidak dapat menumbuhkan
tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang paham terhadap agama Allah dan
dapat memanfaatkan apa yang aku diutus dengannya, dia pun mempelajarinya dan
mengajarkannya dengan orang yang tidak peduli terhadapnya serta
tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
15. Orang
yang berilmu merupakan cahaya bagi manusia yang menunjuki mereka dalam urusan
agama dan dunia
Sudah
kita ketahui bersama, kisah seorang dari kalangan Bani Israil yang telah
membunuh 99 orang, lalu ia ingin bertaubat, kemudian ia bertanya kepada Ahli
Ibadah, namun bukan Ahli Ilmu tentang taubatnya, yakni masih bisa diterimakah
taubatnya. Kemudian Ahli Ibadah itu menyatakan tidak diterima, hingga Ahli
Ibadah ini pun dibunuh, sehingga yang ia bunuh menjadi 100 orang. Orang itu pun
tidak berputus asa dan akhirnya bertemu dengan Ahli Ilmu, lalu ia bertanya
tentang taubatnya, yakni apakah masih diterima taubatnya, lalu Ahli Ilmu
menyatakan masih bisa diterima taubatnya, dan menyuruhnya pergi mendatangi
kampung orang-orang saleh agar tidak kembali melakukan maksiat itu, namun di
tengah perjalanan ke sana, maut tiba, dan Allah menerima taubatnya. Perhatikanlah
bagaimana perbedaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.
16. Allah
Azza wa Jalla menyuruh Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
meminta kepada-Nya tambahan ilmu; bukan harta.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي
عِلْمًا
Dan
katakanlah, “Ya Rabbi, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS.
Thaha: 114)
Kalau
sekiranya harta lebih utama daripada ilmu, tentu Allah menyuruh Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan harta; bukan ilmu.
Hukum
menuntut ilmu agama
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR.
Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Syaikh
Ibnu Utsaimin berkata, “Menuntut ilmu syar’i hukumnya fardhu kifayah, dimana
jika sudah dilakukan oleh sebagian orang, maka bagi yang lain hukumnya sunah.
Tetapi menuntut ilmu bisa menjadi wajib atau fardhu ‘ain (wajib bagi setiap
muslim), batasannya adalah mengetahui ibadah yang hendak dilakukannya atau
mu’amalah yang hendak dijalankannya, maka dalam kondisi ini ia wajib mengetahui
bagaimana ia beribadah kepada Allah dan bagaimana seharusnya ia menjalankan
muamalah itu. Selain itu adalah fardhu kifayah. Dan bagi penuntut ilmu
seharusnya merasakan bahwa dirinya sedang melakukan perbuatan fardhu kifayah
agar ia memperoleh pahala orang yang mengerjakan amalan fardhu (kifayah) di
samping memperoleh ilmu. Dan tidak diragukan lagi, bahwa menuntut ilmu termasuk
amalan yang utama, bahkan termasuk jihad fi sabillah.” (kitabul Ilmi,
pasal ke-3, hukmu thalibil ilmi).
Ilmu yang
fardhu ‘ain juga bisa didefinisikan dengan ilmu yang seorang muslim harus
mengetahuinya, seperti ilmu akidah, ilmu tentang ibadah yang hendak ia lakukan,
dan muamalah yang hendak ia jalankan agar ibadah dan muamalahnya benar.
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa
sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Kitabul Ilmi (Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar