بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Darah Wanita (5)
(DARAH NIFAS)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan pembahasan fiqih darah kebiasaan wanita yang kami ringkas dari Risalah
fid dima’ ath thabi’iyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah,
semoga Allah menjadikan rngkasan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
DARAH
NIFAS
Makna Nifas
Nifas adalah darah yang
keluar dari rahim disebabkan melahirkan, baik bersamaan dengan kelahiran itu,
sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.
Para ulama berbeda
pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya.
Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang istilah-istilah yang
dijadikan kaitan hukum oleh syari'at, halaman 37, "Nifas tidak ada batas
minimal maupun maksimalnya. Jika ada seorang wanita mendapatkan darah lebih dari
40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut
terus maka itu darah kotor, dan jika demikian yang terjadi maka batasnya 40
hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak
hadits."
Atas dasar ini, jika darah
nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah
masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si
wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40
hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan
dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika
berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan
sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.
Namun jika darahnya terus
menerus keluar berarti ia istihadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali
kepada hukum-hukum wanita mustahadhah (terkena darah istihadhah) yang telah
dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan
berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari.
Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya.
Kecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari, maka hal itu tidak
dihukumi suci. Demikianlah yang disebutkan dalam kitab Al Mughni.
Nifas tidak dapat
ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk
manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk
manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi
sebagai darah penyakit. Oleh karena itu yang berlaku baginya adalah hukum
wanita mustahadhah (terkena darah istihadhah).
Minimal masa kehamilan
sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan
pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam
kitab Syarhul Iqna', "Apabila seorang wanita mendapati darah yang
disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap
(sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa.
Kemudian, apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan maka
ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak ternyata demikian,
tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan
kewajiban."
Hukum-Hukum Nifas
Hukum-hukum nifas pada
prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut
ini:
a. Iddah.
Dihitung dengan terjadinya
talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan,
iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak
jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah
dijelaskan.
b. Masa ila'.
Masa haid termasuk
hitungan masa ila', sedangkan masa nifas tidak. Ila' yaitu jika
seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama-lamanya, atau
selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si istri
menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari waktu
bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan menggauli
isterinya, atau menceraikan atas permintaan istri. Dalam masa ila' selama empat
bulan, jika si wanita mengalami nifas, maka tidak dihitung terhadap sang suami,
dan ditambahkan di atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya
dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
c. Baligh.
Masa baligh terjadi dengan
haid, bukan dengan nifas. Hal itu, karena seorang wanita tidak mungkin bisa
hamil sebelum haid, maka masa baligh seorang wanita terjadi dengan datangnya
haid yang mendahului kehamilan.
d. Darah haid.
Jika berhenti lalu kembali
keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid.
Misalnya, seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat
hari, haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh
dan kedelapan; maka tidak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu
adalah darah haid.
Adapun darah nifas, jika
berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh,
maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa
fardhu yang sudah ditentukan waktunya pada waktunya dan dilarang baginya apa
yang dilarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci,
ia harus mengqadha' apa yang diperbuatnya selama keluar darah yang diragukan,
yaitu yang wajib diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut
para fuqaha' dari Madzhab Hanbali.
Namun yang benar, jika darah
itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka
termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar
terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang
disebutkan dalam kitab AI Mughni' bahwa Imam Malik berkata, "Apabila
seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak
berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti darah haid."
Pendapat ini sesuai dengan
yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala
tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali
jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat ditutupi kecuali
dengan mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai
dengan kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana
firman Allah
{لاَ
يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
"Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupan. " (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa
kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam
nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh
menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali. Namun yang benar, menurut
pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab
tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat
yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa istrinya datang
kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata, "Jangan kamu
dekati aku!"
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami dilarang menggauli istrinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yakni hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a 'lam.
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami dilarang menggauli istrinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yakni hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a 'lam.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa
sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan
bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar