بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (15)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah
(penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullah, yang kami rujuk kepada kitab Al
Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan
hafizhahullah dan lainnya, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
BAB : BERNADZAR UNTUK SELAIN ALLAH
ADALAH SYIRIK
Firman Allah Ta’ala,
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ
وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
“Mereka menunaikan nazar dan takut
terhadap suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 7)
وَمَا أَنفَقْتُم مِّن
نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ اللهَ يَعْلَمُهُ
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau
apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 270)
**********
Penjelasan:
Pada bab ini, penyusun hendak
menerangkan salah satu macam syirik yang dapat menafikan Tauhid, yaitu bernadzar
untuk selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar kita berhati-hati terhadapnya dan
menjauhinya.
Nadzar artinya mewajibkan kepada
dirinya perkara yang secara syara’ tidak wajib sebagai bentuk ta’zhim
(pengagungan) kepada sesuatu yang membuatnya bernadzar. Nadzar termasuk ibadah.
Oleh karena itu, mengarahkannya kepada selain Allah adalah perbuatan syirik.
Dalam kedua ayat di atas, Allah
Subhanahu wa Ta’ala memuji mereka yang beribadah kepada-Nya dalam bentuk
nadzar, dimana mereka mewajibkan diri mereka mengerjakan ketaatan yang hukumnya
sunah. Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga
memberitahukan, bahwa Dia mengetahui sedekah yang mereka keluarkan dan ibadah
yang mereka lazimi dalam bentuk nadzar, dan bahwa Dia akan memberikan balasan
terhadapnya sesuai niat yang ada di hatinya.
Kesimpulan:
1. Nadzar adalah
ibadah, maka mengarahkannya kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
syirik.
2. Menetapkan Ilmu
Allah yang meliputi segala sesuatu.
3. Menetapkan
adanya pembalasan terhadap amal.
4. Dorongan untuk
menunaikan nadzar.
**********
Dalam kitab Shahih, dari
Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
«مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ
فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ»
“Barang siapa yang bernadzar untuk
menaati Allah, maka taatilah. Dan barang siapa yang bernadzar untuk bermaksiat
kepada-Nya, maka jangan lakukan.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Bukhari no. 6696, Abu Dawud no. 3289, Tirmidzi no. 1526, Ibnu Majah no. 2126,
dan Ahmad 6/36, 41.
Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, puteri Abu Bakar Ash Shiddiq
radhiyallahu ‘anhu. Ia adalah wanita yang paling pandai dalam bidang fiqh dan
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling utama setelah Khadijah
radhiyallahu ‘anha. Ia wafat pada tahun 57 H.
Hadits di atas menerangkan, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang bernadzar melakukan
ketaatan agar memenuhinya, seperti bernadzar untuk melakukan shalat sunah atau
sedekah sunah, dsb. Dan Beliau melarang orang yang bernadzar untuk melakukan
kemaksiatan agar tidak memenuhinya, seperti nadzar untuk menyembelih kepada
selain Allah, shalat di dekat kuburan, atau mengadakan safar ke makam tertentu,
dan kemaksiatan lainnya.
Hadits di atas juga menjelaskan,
bahwa nadzar bisa berupa ketaatan dan bisa berupa kemaksiatan, dan bahwa nadzar
itu ibadah. Oleh karena itu, mengarahkannya kepada selain Allah adalah syirik.
Kesimpulan:
1. Nadzar adalah
ibadah, maka mengarahkannya kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
syirik.
2. Wajibnya
memenuhi nadzar.
3. Larangan
memenuhi nadzar yang mengandung maksiat.
**********
BAB : MEMINTA PERLINDUNGAN KEPADA
SELAIN ALLAH ADALAH SYIRIK
Firman Allah Ta’ala,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ
مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwa ada beberapa orang
laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di
antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6)
**********
Penjelasan:
Pada bab ini pula, penyusun hendak
menerangkan salah satu macam syirik yang dapat menafikan Tauhid, yaitu meminta
perlindungan kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Dalam ayat di atas, Allah Subhaanahu
wa Ta’ala menerangkan, bahwa ada sebagian manusia yang berlindung kepada jin,
misalnya ketika mereka melintasi tempat yang sunyi, maka mereka minta
perlindungan kepada jin yang mereka anggap berkuasa di tempat itu, maka jin-jin
itu hanya menambah mereka ketakutan dan menambah dosa mereka.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “Ayat tersebut menunjukkan, bahwa meminta perlindungan kepada jin
adalah haram, karena mereka menginginkan keamanan darinya, namun ternyata
jin-jin itu hanya menambah rasa takut dalam diri mereka, sehingga mereka
dihukum dengan balasan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Ada pula yang
berpendapat, bahwa maksud ayat itu adalah kebalikannya, yakni manusia (yang
meminta perlindungan kepada jin), maka mereka hanya menambahkan kepada jin
sikap sombong dan melampaui batas. Akan tetapi pendapat yang benar, bahwa pelaku
(yang menambah dosa) adalah jin sebagaimana diterangkan sebelumnya.” (Al
Qaulul Mufid hal. 252)
Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata, “Dahulu jin-jin takut kepada
manusia sebagaimana manusia takut kepada mereka atau lebih dari itu; ketika ada
orang yang singgah di sebuah lembah, maka jin akan segera pergi. Tetapi ketika
ada pemimpin sebuah kaum (dari kalangan manusia) berkata, “Kami berlindung
kepada penghuni lembah ini,” maka jin berkata, “Kita melihat ternyata mereka
takut kepada kita sebagaimana kita takut kepada mereka,” maka mereka pun
mendekati manusia dan menimpakan kegilaan dan kesurupan kepada mereka. Itulah
maksud firman Allah Ta’ala, “Dan
sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan
mereka (manusia) bertambah sesat,” yakni bertambah dosanya.
Dalam ayat di atas (lihat surat Al
Jin secara keseluruhan), Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyebutkan kisah jin-jin
yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam, yang selanjutnya mereka menyampaikan perbuatan syirik yang terjadi di
kalangan manusia, di antaranya adalah meminta perlindungan kepada jin.
Kesimpulan:
1. Meminta
perlindungan kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala termasuk perbuatan
syirik.
2. Risalah Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tertuju kepada jin dan manusia.
3. Jin ada yang
laki-laki dan ada yang wanita. Ada yang saleh dan ada pula yang fasik. Ada yang
beriman dan ada pula yang kafir.
4. Meminta
perlindungan kepada selain Allah membuat pelakunya bertambah takut, lemah, dan
berdosa.
5. Meminta perlindungan
kepada Allah membuat pelakunya mendapatkan keamanan, kekuatan, dan bertambah
keimanannya.
**********
Dari Khaulah binti Hakim ia berkata,
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa
yang singgah di sebuah tempat, lalu berdoa,
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ
اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalimat Allah (Al Qur’an) Yang
Sempurna dari keburukan makhluk-Nya,”
maka tidak ada sesuatu pun yang
dapat membahayakannya sampai ia beranjak dari tempat itu.” (HR. Muslim)
**********
Penjelasan:
Hadits
di atas diriwayatkan oleh Muslim no. 2708, Tirmidzi no. 3433, Ibnu Majah no.
3547, dan Ahmad 6/377, 409.
Khaulah
binti Hakim bin Umayyah As Sulamiyyah adalah seorang sahabiyah, istri
Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu. Panggilannya Ummu Syuraik.
Sabda
Beliau ‘Barang siapa
yang singgah di sebuah tempat’
yakni baik untuk menetap maupun hanya sementara.
Tentang ‘kalimat Allah’ menurut
Syaikh Ibnu Utsaimin berupa kalimat kauniyyah (firman Allah di alam semesta)
dan kalimat syar’iyyah (firman Allah dalam syariat-Nya). Adapun maksud ‘yang
sempurna’ maka karena dua hal, yaitu: benar pada beritanya dan adil dalam
hukumnya.
Sabda Beliau, ‘dari keburukan
makhluk-Nya,’ yakni dari keburukan ciptaan-Nya. Yang demikian adalah karena
Allah yang menciptakan kebaikan dan keburukan, namun keburukan tidak dapat
disandarkan kepada-Nya. Hal itu, karena Dia yang menciptakan keburukan itu disebabkan
suatu hikmah, dan karena hikmah itu maka menjadi hal yang baik. Oleh karenanya,
kita katakan, bahwa keburukan itu bukan pada perbuatan Allah, tetapi pada makhluk ciptaan-Nya.
Dengan demikian, makhluk ciptaan
Allah Azza wa Jalla ada tiga keadaan:
Pertama, yang murni buruk, seperti api dan
Iblis, dengan melihat dzat (diri) keduanya. Adapun jika melihat kepada hikmah
yang karenanya Allah ciptakan mereka, maka itu adalah kebaikan.
Kedua, yang murni baik, seperti surga dan
para rasul.
Ketiga, yang di dalamnya terdapat kebaikan
dan keburukan, seperti yang ada pada diri manusia pada umumnya.
Nah, yang kita memohon perlindungan
kepada Allah Azza wa Jalla darinya adalah keburukan yang ada di dalamnya.
Sabda Beliau, ‘Maka tidak ada
sesuatu pun yang dapat membahayakannya sampai ia beranjak dari tempat itu’
menunjukkan umum karena bentuk katanya nakirah (umum), sehingga dia tidak dapat
ditimpakan bahaya baik oleh setan dari kalangan jin maupun manusia, bahkan
selain keduanya seperti hewan.
Apa yang Beliau sabdakan di atas
adalah benar. Jika ternyata hasilnya
tidak sesuai dengan yang Beliau sabdakan, maka karena adanya penghalang yang
menghalanginya memperoleh keutamaan itu. Sama dalam hal ini semua sebab syar’i yang
engkau lakukan, namun hasilnya tidak diperoleh, maka hal ini bukan karena ada
cacat pada sebab itu, tetapi karena adanya penghalang. Misalnya membacakan
surat Al Fatihah kepada orang yang sakit merupakan obat penawar, lalu ada
sebagian manusia yang membacanya, tetapi tidak juga sembuh, maka bukan karena
sebabnya, tetapi karena adanya penghalang. Maka hendaknya kita periksa apa
penghalangnya?
Imam Al Qurthubi rahimahullah
berkata, “Aku pun melakukan hal itu (membaca doa di atas), hingga tiba suatu
hari aku lupa membacanya, lalu aku masuk ke rumah, tiba-tiba aku disengat
kalajengking.”
Dalam hadits di atas, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umatnya agar meminta perlindungan
kepada Allah Azza wa Jalla agar terhindar dari marabahaya ketika singgah di
sebuah tempat. Doa yang Beliau ajarkan di atas juga sebagai ganti permohonan
perlindungan kepada selain Allah yang dilakukan kaum musyrik.
Catatan:
1. Jika seorang berkata, “Kenapa
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membuat bab bahwa meminta perlindungan kepada
selain Allah adalah syirik, namun di sini disebutkan permintaan perlindungan
kepada kalimat Allah; bukan kepada Allah?”
Jawab, “ Kalimat Allah termasuk
sifat-sifat-Nya. Oleh karena itu, para ulama berdalih dengan hadits di atas,
bahwa firman Allah termasuk sifat-Nya, dan bukan makhluk, karena meminta
perlindungan kepada makhluk tidak boleh. Kalau sekiranya kalimat Allah itu
makhluk, tentu Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyuruh untuk meminta
perlindungan kepadanya. (LIhat Al Qaulul Mufid hal. 255)
Oleh karenanya, dalam bersumpah,
kita boleh menggunakan nama-nama Allah maupun sifat-Nya. Tetapi ketika bersumpah
dengan ayat, jika maksudnya ayat syar’iyyah (Al Qur’an), maka boleh, tetapi
jika maksudnya ayat kauniyyah (alam semesta), maka tidak boleh.
2. Bolehkah meminta perlindungan
kepada makhluk?
Jawab: Dalam hal ini perlu
perincian. Jika dalam hal yang makhluk mampu memenuhinya, maka boleh namun dengan
syarat hatinya tidak boleh bergantung kepada makhluk dimana ia menaruh rasa
harapannya kepada makhluk serta menjadikannya sebagai tempat perlindungannya. Tetapi
jika meminta perlindungan dalam hal yang tidak disanggupi mereka, maka tidak
boleh, bahkan termasuk syirik.
Kesimpulan:
1. Memohon
perlindungan termasuk ibadah. Oleh karena itu, tidak boleh mengarahkannya
kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
2. Permohonan
perlindungan yang syar’i bisa dengan nama Allah atau nama-nama-Nya yang lain, atau
dengan sifat-sifat-Nya.
3. Firman Allah
bukanlah makhluk, karena Allah mensyariatkan meminta perlindungan dengannya.
4. Keutamaan doa
di atas.
5. Semua makhluk
di bawah kekuasaan Allah Azza wa Jalla.
Bersambung...
Marwan bin Musa
Maraji’:
Al
Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan
Al Fauzan), Al Ishabah fi Tamyizis Shahabah (Al Hafizh Ibnu Hajar Al
‘Asqalani), Al Qaulul Mufid (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Maktabah
Syamilah versi 3.45, Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Penulis),
dll.
0 komentar:
Posting Komentar