بسم
الله الرحمن الرحيم
Fawaid Riyadhush Shalihin (12)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut Fawaid (Kandungan Hadits)
Riyadhush Shalihin yang banyak kami rujuk dari kitab Syarh
Riyadhush Shalihin karya Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy, kitab
Bahjatun Nazhirin karya Syaikh Salim bin Ied Al Hilaliy, dan lainnya. Hadits-hadits di dalamnya banyak merujuk kepada kitab Riyadhush
Shalihin, akan tetapi kami mengambil matannya dari kitab-kitab
hadits induk. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ،
إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ»
(45) Dari Abu
Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Orang yang kuat bukanlah orang yang selalu menang bergulat, tetapi
orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Islam merubah
pandangan Jahiliyyah kepada pandangan yang mulia lagi Islami yang mewujudkan
pribadi muslim yang mulia dan tangguh, bahwa pada hakikatnya orang yang kuat
adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.
2. Perintah mengendalikan
diri ketika marah dan tidak melampiaskannya.
3. Di antara
adab yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang marah
adalah beristi’adzah (mengucapkan a’udzu billahi minasy syaithanir rajim), diam,
berpindah posisi dari berdiri ke duduk, dan dari duduk ke berbaring.
4. Pujian bagi
orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجُلاَنِ يَسْتَبَّانِ،
فَأَحَدُهُمَا احْمَرَّ وَجْهُهُ، وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ
قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ، ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ " فَقَالُوا لَهُ: إِنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ،
(46) Dari
Sulaiman bin Shurad ia berkata, “Aku pernah duduk bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada dua orang yang saling mencaci-maki, yang satu
mukanya merah dan urat lehernya membengkak, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui sebuah kalimat yang jika
diucapkannya, tentu akan hilang marahnya. Kalau ia mengucapkan A’udzu
billahi minasy syaithanirrajim (artinya: aku berlindung kepada Allah dari
godaan setan yang terkutuk), tentu akan hilang marahnya.” Maka orang-orang
berkata kepadanya, “Berlindunglah kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Setan yang
mendorong manusia melampiaskan kemarahannya, dan bahwa untuk mengatasinya
adalah dengan berta’awwudz (lihat pula QS. Al A’raaf: 200).
2. Kebijaksanaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah dan mengingatkan
manusia kepada Allah, yaitu Beliau tidak mengarahkan nasihat langsung kepada
orang yang kemungkinan menolak nasihat karena keadaan kondisinya.
3. Anjuran menyampaikan
nasihat kepada orang lain meskipun orang lain tidak memintanya.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ
يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ»
(47) Dari Mu’adz
bin Anas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang
siapa yang menahan marahnya, padahal ia sanggup melampiaskannya, maka Allah
akan memanggilnya di hadapan manusia pada hari Kiamat dan memberikan kesempatan
kepadanya memilih bidadari bermata jeli yang ia suka.” (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan.”)
Fawaid:
1. Dorongan
untuk menahan marah.
2. Keutamaan
menahan marah ketika seseorang mampu melampiaskannya.
3. Nilai
memaafkan semakin tinggi ketika mampu membalas.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي، قَالَ: «لاَ تَغْضَبْ»
فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: «لاَ تَغْضَبْ»
(48) Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang yang berkata kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku wasiat,” maka Beliau bersabda,
“Jangan engkau marah.” Beliau mengulangi kata-kata, “Jangan engkau marah.” (HR.
Bukhari)
Fawaid:
1. Wasiat
“Jangan engkau marah” merupakan wasiat yang menghimpun kebaikan di dunia dan
akhirat.
2. Perintah
memberikan nasihat kepada orang yang memintanya.
3. Besarnya
mafsadat yang ditmbulkan dari marah, dan bahwa marah itu tidak mendatangkan
selain kebaikan, kecuali jika dilakukan karena Allah.
4. Perintah
menahan marah dan tidak melampiaskannya, karena seseorang ketika marah membuat
sikapnya tidak terkendali.
5. Marah yang
tercela adalah terkait urusan duniawi, sedangkan marah yang terpuji adalah
marah karena Allah dan untuk membela agamanya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidaklah marah kecuali ketika larangan Allah Azza wa Jalla dilanggar.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا يَزَالُ البَلَاءُ بِالمُؤْمِنِ وَالمُؤْمِنَةِ فِي
نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ»
(49) Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Cobaan senantiasa menimpa seorang mukmin dan mukminah baik
pada dirinya, anaknya, maupun hartanya sehingga ia menghadap Allah tanpa
membawa dosa.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”)
Fawaid:
1. Musibah dan
cobaan yang menimpa seorang mukmin baik berupa penyakit, kefakiran, kematian
sang kekasih, habisnya harta atau berkurangnya, semua itu menghapuskan
dosa-dosanya sehingga ia berjalan di atas bumi tanpa dosa.
2. Orang mukmin
merupakan objek ujian dan cobaan.
3. Rahmat Allah
kepada hamba-Nya yang mukmin, bahwa musibah yang menimpa mereka meskipun kecil
dapat menghapuskan dosa-dosanya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «قَدِمَ
عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنِ بْنِ حُذَيْفَةَ فَنَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيهِ الحُرِّ
بْنِ قَيْسٍ، وَكَانَ مِنَ النَّفَرِ الَّذِينَ يُدْنِيهِمْ عُمَرُ، وَكَانَ
القُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجَالِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ، كُهُولًا كَانُوا أَوْ
شُبَّانًا» ، فَقَالَ عُيَيْنَةُ لِابْنِ أَخِيهِ: يَا ابْنَ أَخِي، هَلْ لَكَ
وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الأَمِيرِ، فَاسْتَأْذِنْ لِي عَلَيْهِ، قَالَ:
سَأَسْتَأْذِنُ لَكَ عَلَيْهِ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «فَاسْتَأْذَنَ الحُرُّ
لِعُيَيْنَةَ فَأَذِنَ لَهُ عُمَرُ» ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ قَالَ: هِيْ يَا
ابْنَ الخَطَّابِ، فَوَاللَّهِ مَا تُعْطِينَا الجَزْلَ وَلاَ تَحْكُمُ بَيْنَنَا
بِالعَدْلِ، فَغَضِبَ عُمَرُ حَتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهِ، فَقَالَ لَهُ
الحُرُّ: يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ
عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ
مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ
اللَّهِ»
(50) Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Uyaynah bin Hishn bin Hudzaifah pernah
datang (ke Madinah) dan menemui keponakannya, yaitu Al Hurr bin Qais. Al Hurr
adalah salah seorang di antara sekian orang yang dekat dengan Umar. Ketika itu
para penghapal Al Qur’an adalah orang-orang yang duduk di majlis Umar dan
sebagai orang-orang yang diajak musyawarah olehnya, baik mereka orang tua
maupun masih muda. Uyaynah berkata kepada keponakannya, “Wahai keponakanku,
bukankah engkau memiliki kedudukan di hadapan sang pemimpin ini (Umar)? Maka
mintalah izin untuk saya agar saya dapat menemuinya.” Al Hurr berkata, “Saya
akan mintakan izin untukmu.” Ibnu Abbas berkata, “Maka Al Hurr meminta izin
untuk Uyaynah, lalu Umar mengizinkannya.” Saat Uyaynah masuk menemui Umar, ia
berkata, “Wahai Ibnul Khaththab! Demi Allah, engkau tidak memberikan pemberian
yang banyak dan tidak memerintah secara adil.” Maka Umar pun marah sampai
bermaksud menghukumnya, lalu Al Hurr berkata, “Wahai Amirul Mukminin!
Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raaf: 199)
Dan orang ini
termasuk orang-orang yang bodoh.” Demi Allah, Umar sama sekali tidak melampaui
ayat itu (melanggarnya) saat dibacakan kepadanya, dan Beliau adalah seorang
yang berhenti di hadapan Kitabullah.” (HR. Bukhari)
Fawaid:
1. Keutamaan
para penghapal Al Qur’an dan para pemikulnya, yaitu para ulama yang
mengamalkannya.
2. Hendaknya
seorang pemimpin mengangkat Ahli Ilmu sebagai penasihatnya dan bermusyawarah
dengan mereka.
3. Keutamaan
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
4. Hendaknya
seorang pemimpin bersabar terhadap sikap rakyatnya dan berusaha membimbingnya.
5. Bersikap
santun terhadap orang jahil dan bersabar terhadap gangguannya.
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ: «سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا» قَالُوا: يَا
رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: «تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي
عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ»
(51) Dari Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau
bersabda, “Akan ada setelahku sikap mementingkan diri sendiri dan beberapa
perkara yang kalian ingkari.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang
engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Kalian tunaikan kewajiban
kalian dan kalian meminta kepada Allah hak kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Dorogan agar
tetap mendengar dan taat dalam perintah yang bukan maksiat meskipun pemerintah
seorang yang zalim.
2. Bersabar
terhadap kezaliman pemerintah meskipun mereka lebih mengutamakan diri mereka
sendiri, karena Allah akan meminta pertanggung jawaban dari mereka.
3. Dalam hadits
ini terdapat bukti kenabian dan kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
4. Dorongan
untuk bersatu dan tidak berpecah belah.
5. Menolak
mafsadat (kerusakan dan bahaya) lebih didahulukan daripada menarik manfaat.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy),
Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin Shalih Al Utsaimin), Bahjatun Nazhirin (Salim bin ’Ied Al
Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar