بسم
الله الرحمن الرحيم
Akhlak Itsar
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang Itsar. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tamhid (pengantar) dan Ta’rif (definisi) Itsar
Di antara akhlak seorang muslim yang diambil
dari ajaran agamanya adalah Itsar; yaitu sikap mengutamakan
orang lain dibanding dirinya sendiri dan menginginkan kebaikan didapatkan
saudaranya atau mengutamakan kebutuhan orang
lain daripada kebutuhan dirinya meskipun ia sendiri butuh terhadap apa yang ia
berikan.
Seorang muslim, saat melihat ada ruang untuk
bersikap itsar, maka dia melakukannya. Terkadang
ia rela lapar agar yang lain kenyang, atau rela kehausan agar yang lain tidak,
bahkan terkadang ia rela mengorbankan dirinya agar orang lain selamat. Hal ini
tidaklah aneh bagi seorang muslim yang telah mendapatkan shibghah (warna dan
celupan) dari Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada
Allah?
Sikap
itsar yang dimiliki seorang muslim dilakukan karena dorongan dari Allah Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya. Allah
Azza wa Jalla berfirman,
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى
أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ
فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan mereka mengutamakan
(orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan. Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang orang yang beruntung.” (Terj. QS. Al Hasyr: 9)
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ
مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kamu
sampai ia mencintai kebaikan diperoleh saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan
diperoleh dirinya.” (Muttafaq ‘alaih)
Kebalikan dari sikap itsar adalah atsarah
(egois) yang artinya
mencintai dirinya dan mengutamakannya di atas orang lain. Ia merupakan sifat
tercela yang dilarang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَة وَأُمُور تُنْكِرُونَهَا
، قَالُوا : يَا رَسُول اللَّه كَيْف تَأْمُر مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ ؟ قَالَ
: تُؤَدُّونَ الْحَقّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّه الَّذِي لَكُمْ
“Akan ada
setelahku sikap mengutamakan diri sendiri dan perkara-perkara yang kalian ingkari.”
Maka Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa perintahmu kepada orang yang
menemuinya di antara kami?” Beliau bersabda, “Kamu penuhi kewajiban yang
dibebankan kepadamu dan kamu minta kepada Allah hak kamu.” (HR. Muslim)
Oleh karenanya,
sungguh buruk orang yang menyifati dirinya dengan egois dan lebih mendahulukan
dirinya sendiri, dan sungguh indah orang yang menyifati dirinya dengan itsar
dan mencintai kebaikan diperoleh orang lain.
Keutamaan Itsar
Allah memuji orang-orang yang melakukan itsar dan
menjadikan mereka sebagai orang-orang yang beruntung sebagaimana firman-Nya,
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ
خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesusahan. Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Terj. QS. Al Hasyr: 9)
Imam Nawawi berkata, “Para
ulama sepakat tentang keutamaan itsar dalam makanan dan lainnya dari perkara
dunia serta pada kepentingan pribadi. Adapun ibadah, maka yang lebih utama
adalah tidak mengutamakan orang lain daripadanya, karena hak di sana untuk Allah
Subhaanahu wa Ta'aala, wallahu a’lam.”
Kisah Itsar kaum salaf
Di Darun Nadwah, para tokoh kaum Quraisy
berkumpul dan menyetujui usulan Abu Marrah la’natullah ‘alaih yang
mengusulkan untuk segera membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
diam-diam di rumahnya. Berita ini pun sampai ke telinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, ketika itu Beliau juga sudah mendapatkan izin untulk berhijrah, lalu
Beliau bersiap-siap hijrah dan mencari orang yang siap menggantikan dirinya di
tempat tidurnya untuk mengelabui orang-orang yang hendak membunuh Beliau. Maka
Beliau pun pergi dari rumahnya, sedangkan mereka masih saja menunggu Beliau
bangun dari tidurnya. Beliau kemudian mendapatkan putera pamannya yaitu Ali bin
Abi Thalib yang ternyata siap menggantikan Beliau di tempat tidurnya. Lalu Ali
dengan usianya yang masih beliau rela menggantikan Beliau di tempat tidurnya
yang siap diserang oleh musuh-musuh Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah
hendaknya seorang muslim, ia dahulukan orang lain daripada dirinya.
Dari Sahl radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Ada seorang wanita yang
datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa burdah yang bagian
pinggirnya ditenun, -Sahl berkata, “Tahukah kalian burdah itu?” Orang-orang
berkata, “Jubah,” Sahl berkata, “Ya, wanita itu berkata, “Aku tenun burdah itu
dengan tanganku sendiri agar aku dapat memakaikan burdah itu kepadamu,” Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengambilnya, dan Beliau memang butuh,
kemudian Beliau keluar menemui kami dan dijadikannya burdah tersebut untuk bagian
bawah kainnya, lalu ada seseorang yang menilainya bagus, ia berkata, “Pakaikanlah
aku kain itu, sungguh bagus sekali,” kemudian orang-orang berkata
kepadanya, “Kamu ini bagaimana, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memakainya
karena butuh, mengapa kamu memintanya, padahal kamu tahu bahwa Beliau tidak
akan menolak orang yang meminta,” ia pun berkata, “Sesungguhnya saya, demi
Allah, tidaklah memintanya untuk dipakai, namun memintanya agar menjadi kafan
saya nanti.” Sahl pun berkata, “Maka kain itu pun menjadi kafannya.” (HR.
Bukhari)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Ada seorang laki-laki
yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,
“Sesungguhnya aku sedang kesusahan.” Maka Beliau membawa kepada salah seorang
istrinya dan istrinya berkata, “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran,
aku tidak punya apa-apa selain air.” Lalu Beliau membawa kepada istrinya yang
lain, dan istrinya yang lain mengucapkan kata-kata yang sama dan semuanya
sama-sama mengucapkan kata-kata yang sama, yaitu, “Demi Allah yang mengutusmu
dengan kebenaran, aku tidak punya apa-apa selain air.” Maka Beliau bersabda
(kepada para sahabat), “Siapakah yang mau menjamu orang ini pada malam ini
semoga Allah merahmatinya?” Lalu salah seorang dari Anshar bangun dan berkata,
“Saya wahai Rasulullah,” maka ia membawanya ke rumahnya dan laki-laki itu
berkata kepada istrinya, “Apakah kamu punya sesuatu?” Istrinya menjawab,
“Tidak, selain makanan untuk anak-anak kita.” Orang Anshar itu berkata (kepada
istrinya), “Sibukkanlah mereka (anak-anaknya) dengan sesuatu.” Jika tamu kita
masuk, maka padamkanlah lampu dan tunjukkanlah kepadanya bahwa kita sedang
makan. Jika ia duduk untuk makan, maka bangunlah menuju lampu hingga kamu
memadamkannya. Maka mereka semua duduk dan tamu itu pun makan. Ketika pagi
harinya, orang Anshar itu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu
Beliau bersabda, “Allah kagum terhadap tindakan kamu berdua kepada tamumu pada
malam ini.” (HR. Muslim)
Maka terhadap kejadian ini turunlah firman Allah
Ta’ala,
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ
خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin),
atas diri mereka sendiri, sekali pun mereka dalam kesusahan. “ (QS. Al Hasyr: 9)
(HR. Muslim)
Hudzaifah Al ‘Adawiy pernah pergi dalam perang
Yarmuk untuk mencari sepupunya dengan membawa seteguk air. Setelah ia menemukan
sepupunya dalam keadaan terluka, maka Hudzaifah berkata, ”Maukah kamu aku beri
minum?” Lalu sepupunya mengisyaratkan tanda setuju. Sebelum ia meminumnya,
keduanya mendengar seseorang berkata, “Aah.” Maka sepupunya mengisyaratkan kepada
Hudzaifah agar pergi mendatanginya dengan membawa seteguk air kepada saudaranya
yang kehausan itu, maka Hudzaifah pun pergi kepadanya, ia pun menemuinya, dan
ternyata orang itu adalah Hisyam bin Al ‘Aash. Ketika ia hendak memberinya
minum, maka keduanya mendengar yang lain berkata, “Aah.” Maka Hisyam pun
berisyarat kepada Hudzaifah agar memberikan air kepada saudaranya itu, maka
Hudzaifah pun pergi menemuinya dan ketika sampai ternyata ia telah meninggal,
ia pun kembali membawa air untuk menemui Hisyam, dan ternyata Hisyam juga telah
meninggal, lalu ia kembali ke sepupunya, dan ternyata sepupunya juga telah
meninggal.
Pernah berkumpul di hadapan Abul Hasan Al Anthakiy 30
orang lebih dengan membawa sedikit roti yang tidak cukup bagi mereka, maka
mereka potong roti itu sedikit-sedikit lalu mereka matikan lampu dan mereka semua
duduk untuk makan. Ketika meja diangkat, ternyata roti-roti yang ada seperti
sebelumnya tidak berkurang sedikit pun, karena masing-masingnya mengutamakan
saudaranya untuk makan dan mengutamakannya daripada dirinya sendiri, sehingga
mereka semua tidak makan.
Disebutkan, bahwa Bisyr bin Al Harits pernah
didatangi seseorang pada saat sakit yang membawa kepada keamatiannya, orang itu
mengadukan keperluan kepadanya, maka Bisyr segera melepaskan gamisnya dan
memberikannya kepadanya serta meminjam gamis yang lain yang ia wafat dengannya.
Wallahu
a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa
Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (http://islam.aljayyash.net/), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jaza’iri),
dll.
0 komentar:
Posting Komentar