بسم
الله الرحمن الرحيم
Ringkasan Musthalah Hadits (1)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut pembahasan ringkasan
Musthalah Hadits merujuk kepada kitab At
Ta’liqaat Al Atsariyyah ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah
oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Isnad
Isnad merupakan
keistimewaan umat ini. Oleh karena itulah, umat Islam disebagai Ummatul Isnad.
Dengan isnad diketahui suatu hadits diterima atau ditolak.
Sufyan Ats
Tsauriy rahimahullah berkata,
اَلْاِسْنَادُ سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ، إِذَا لَمْ
يَكُنْ مَعَهُ سِلاَحٌ، فَبِأَىِّ شَيْئٍ يُقَاتِلُ ؟
“Isnad adalah senjata
orang mukmin. Jika ia tidak punya senjata, maka dengan apa ia berperang?”
(Disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhiin 1/27).
Abdullah bin
Al Mubarak rahimahullah berkata,
الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ
لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad
itu bagian dari agama. Jika tidak ada isnad, tentu orang akan berkata
seenaknya.” (Disebutkan oleh Imam Muslim
dalam Mukadimah kitab Shahihnya)
Ibnu Sirin rahimahullah berkata,
كَانَ فِي الزَّمَنِ الْأَوَّلِ لَا يَسْأَلُونَ
عَنْ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ سَأَلُوا عَنْ
الْإِسْنَادِ لِكَيْ يَأْخُذُوا حَدِيثَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَيَدَعُوا حَدِيثَ أَهْلِ
الْبِدَعِ
“Di masa awal, orang-orang tidak
mempertanyakan isnad, tetapi ketika terjadi fitnah, maka mereka bertanya
tentang isnad, agar mereka hanya mengambil hadits Ahlussunnah dan meninggalkan
hadits Ahlul Bid’ah.”
Hadits Shahih
Hadits shahih
adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan dari orang yang adil
yang dhabit (kuat hafalan atau terjaga tulisan) dari awal hingga akhir tanpa ada
syadz (menyelisihi riwayat yang lebih kuat) dan ‘illat (cacat tersembunyi).
Contoh:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ
ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ
بِالطُّورِ
Imam Bukhari berkata, “Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata:
Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair
bin Muth’im dari bapaknya, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam membaca surah Ath Thuur di shalat Maghrib.”
Hadits ini
adalah hadits shahih karena terpenuhi syarat-syaratnya, dimana dalam isnadnya
para perawi (periwayatnya) tsiqah, bersambung sanadnya, tidak syadz atau
ber’illat.
Bersambung (ittishal) sanadnya maksudnya mendengarnya setiap rawi
dari rawi selanjutnya.
Isnad
maksudnya silsilah para perawi yang menyampaikan nash (matan atau teks) hadits. Bisa juga maksudnya
menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya. Isnad terkadang disebut
juga sanad, kecuali ada qarinah (tanda) yang mengalihkan dari makna itu.
Syadz
maksudnya riwayat rawi yang diterima menyalahi yang lebih kuat, baik dari sehi jumlahnya maupun ketsiqahannya.
‘Illat
maksudnya sebab yang membuat cacat keshahihan hadits yang tampak di luarnya
sebagai hadits shahih. Biasanya ‘illat hadits hanya diketahui oleh orang yang
dalam ilmunya tentang hadits.
Orang yang adil
adalah rawi yang memiliki sifat yang membuat pelakunya bertakwa, menjauhi
dosa-dosa serta merusak harga dirinya di tengah-tengah umat.
Dhabit maksudnya
kuat ingatan dan hati, teguh, serta bisa menjaga yang ia tulis dari sejak
menerima hadits itu dan mendengarnya sampai menyampaikan. Berdasarkan
keterangan ini, maka dhabit terbagi dua:
a. Dhabit shadr (dada),
yaitu seorang rawi hafal
yang ia dengar dengan hafalan
yang memungkinkan untuk menghadirkannya
kapan saja ia mau.
b. Dhabit kitab (kitab), yaitu ia bisa menjaga yang ia tulis sejak mendengarnya dan
ia mengesahkannya sampai ia menyampaikannya, ia juga tidak menyerahkan kepada
orang yang tidak bisa menjaganya dan memungkinkan untuk merubahnya.
Hadits
Hasan
Hadits hasan
adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan orang yang adil namun
kurang kuat dhabit (hafalannya),
tanpa ada syadz dan ‘illat.
Contoh:
أَكْثِرُوْا مِنْ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ
اللهُ قَبْلَ أَنْ يُحَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهَا وَلَقِّنُوْهَا مَوْتَاكُمْ
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Perbanyaklah syahadat Laailaahaillallah
sebelum kamu dihalangi mengucapkannya, dan ajarkanlah kepada orang yang hampir
mati di antara kamu.” (HR. Abu Ya’la (6147), Al Khathib dalam Tarikhnya
(3/38), Hamzah Al Kananiy dalam Juz’ul bithaaqah (no. 8), Ar Raafi’i
dalam Tarikh Qazwiin (4/74) dari dua jalan dari Dhimam bin Isma’il dari
Musa bin Wardan dari Abu Hurairah.)
Isnad ini
adalah hasan, karena di dalamnya terdapat Dhimam bin Isma’il yang menurut Adz
Dzahabi, “Shalih haditsnya, namun sebagian mereka (ahli hadits) menganggapnya
lunak tanpa hujjah.”
Abu Zur’ah Al
‘Iraqiy dalam Dzailul Kaasyif hal. 144 menukil dari Imam Ahmad bin
Hanbal pendapatnya tentang Dhimam, ia berkata, “Shalih haditsnya,” dan dari Abu
Hatim, “Shaduq (sangat jujur) dan ahli ibadah,” sedangkan dari Nasa’i, ia berkata, “Tidak
apa-apa terhadapnya.”
Al Haafizh
Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Shaduuq, namun terkadang ia keliru.”
Yang
seperti ini derajat haditsnya adalah hasan.
Hadits Dha’if
Hadits dha’if
adalah hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hadits hasan karena ada salah
satu syaratnya yang hilang.
Hadits dha’if
banyak macamnya. Akan dijelaskan nanti macam-macamnya, Insya Allah.
Contohnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, Ahmad dan
Ibnu Kuzaimah serta yang lainnya dari Abu Sa’id Al Khudriy ia berkata, “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ الرَّجُلَ يَتَعَاهَدُ الْمَسْجِدَ
فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ
“Apabila
kamu melihat seseorang rutin ke masjid, maka saksikanlah keimanannya…dst.”
Hadits ini
adalah dha’if, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Darraj bin Sam’aan
Abus Samh.
Adz Dzahabiy
berkata tentangnya, “Darraj itu banyak hadits-hadits munkarnya.”
Imam Ahmad
dan lainnya berkata, “Hadits-haditsnya munkar.”
Ibnu Hajar
berkata dalam At Taqrib (no. 1824), “Sangat jujur, namun dalam
riwayatnya dari Abul Haitsam adalah dha’if.”
Dan
di sini Darraj meriwayatkan dari Abul Haitsam.
Hadits Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’
Apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (diamnya Beliau terhadap suatu
perbuatan yang disaksikannya) atau sifat fisik maupun akhlak disebut Hadits
Marfu’.
Contoh marfu’
ucapan adalah seorang rawi (periwayat) mengatakan, “Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:…dst.”
Contoh marfu’
perbuatan adalah seorang rawi mengatakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam melakukan…dst.”
Contoh marfu’
yang berupa taqrir adalah seorang rawi mengatakan, “Dilakukan di hadapan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal ini atau itu…dst.” Dan tidak ada riwayat
pengingkaran dari Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perbuatan itu.
Sedangkan
contoh marfu’ yang berupa sifat adalah seorang rawi mengatakan, “Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling sempurna akhlaknya…dst.” (HR.
Bukhari dan Muslim) Atau rawi yang mengatakan:
كَانَ أَبْيَض مَلِيحًا مُقَصَّدًا
“Beliau adalah seorang yang putih,
manis, dan fisiknya sedang.”
(HR. Muslim)
Adapun yang disandarkan kepada
para sahabat baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir disebut Mauquf.
Contoh:
Mauquf pada ucapan
adalah seperti perkataan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu 'anhu, “Sampaikanlah kepada manusia perkara yang mereka
kenali (pahami), sukakah kamu jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?”
(Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanad))
Mauquf pada perbuatan
adalah seperti perkataan Imam Bukhari, “Ibnu Abbas pernah mengimami, sedangkan
Beliau bersuci dengan bertayammum.” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq.
Al Hafizh dalam Al Fat-h berkata, “Riwayat ini disambung oleh Ibnu Abi Syaibah,
Baihaqi dan lainnya, dan isnadnya adalah hasan).
Mauquf yang berupa taqrir
adalah seperti perkataan tabi’in, “Saya melakukan perbuatan ini di hadapan
seorang sahabat, dan ia tidak mengingkariku.”
Faedah/Catatan:
Apabila seorang sahabat berkata, “
Termasuk Sunnah…dst.” Atau berkata, “Kami di zaman Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam melakukan ini dan itu…dst.” Atau ia (sahabat) mengatakan
suatu perkataan yang di sana bukan ruang berijtihad, maka hal ini tidak
dihukumi mauquf, bahkan dinamakan marfu’ hukman (dihukumi marfu’), yakni
menduduki posisi perbuatan atau ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari
sisi kehujjahannya.
Jika riwayat itu disandarkan
(hanya sampai) kepada tabi’in, maka disebut Maqthu’.
Maqthu’ pada ucapan
adalah seperti pada perkataan Al Hasan Al Bashriy tentang shalat di belakang
Ahli Bid’ah, “Shalatlah (dengannya), sedangkan bid’ahnya adalah untuknya.”
(Disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq).
Maqthu’ pada perbuatan adalah seperti pada perkataan
Ibrahim bin Muhammad bin Al Muntasyir, “Masruq memasang tirai antara dia dengan
keluarganya, ia fokus dengan shalatnya,
membiarkan mereka dan dunia mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani
dalam Hilyatul Auliya’ 2/96).
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi
3.45, At Ta’liqaat Al Atsariyyah ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah (‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid), dll.
0 komentar:
Posting Komentar