بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Jinayat (6)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan
pembahasan tentang jinayat, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Jinayat (Tindak Kejahatan) Terhadap Selain Jiwa
Maksudnya adalah setiap gangguan yang ditimpakan kepada seseorang
namun tidak membuat hilang nyawanya seperti hanya membuatnya terluka, terpotong
anggota badannya, dsb. Dimana tehadap hal tersebut ada qishasnya berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma.
Dalam Al Qur’an, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ
بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ
وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat)
bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishasnya.” (Qs.
Al Maidah: 45)
Dengan demikian mata dibalas dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, tangan dengan tangan, kaki dengan kaki, bagian kanan
dengan bagian kanan demikian pula sebaliknya, gigi dengan gigi, kelopak mata
dengan kelopak mata, bibir dengan bibir, yang atas dengan yang atas, dan yang
bawah dengan yang bawah. Hal itu, karena anggota badan di atas memiliki batas
masing-masing. Termasuk pula telapak tangan dengan telapak tangan, yang kanan
dengan yang kanan, dan yang kiri dengan yang kiri, siku dengan siku, penis
dengan penis, dsb. Ini semua berlaku qishas karena adanya batasan masing-masing
dan memungkinkan diqishas tanpa adanya kezaliman. Hal ini berdasarkan keumuman
firman Allah Ta’ala,
وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
“Dan luka luka (pun) ada qishasnya.” (Qs.
Al Maidah: 45)
Hukum di atas meskipun ditetapkan untuk generasi sebelum kita,
namun berlaku pula untuk kita karena ketetapan dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam.
Dalam As Sunnah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda
terkait kisah pemecahan gigi seri yang dilakukan Rubayyi terhadap seorang budak
wanita, “Kitab Allah (menetapkan) qishas.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Para ulama juga sepakat akan wajibnya qishas pada selain jiwa jika
memungkinkan.
Hal ini terbagi tiga:
1. Jinayat dengan melukai
2. Memotong anggota tubuh
3. Menghilangkan fungsi anggota badan
Syarat Qishas Pada Selain Jiwa
Disyaratkan beberapa syarat berikut pada qishas selain jiwa:
a. Pelaku sudah mukallaf (akil-baligh)
b. Sengaja melakukan tindak kejahatan tersebut. Hal itu, karena
tindakan yang dilakukan karena khatha (keliru) pada dasarnya tidak menghendaki
adanya qishas pada jiwa, maka apalagi di bawahnya.
c. Darah orang yang terkena tindakan jinayat sama seperti darah pelaku
(setaraf), sehingga tidak diqishas seorang muslim karena melukai kafir dzimmi
(yang di bawah wilayah Islam), orang merdeka karena melukai budaknya, dan tidak
pula diqishas seorang ayah karena melukai anaknya.
1. Jinayat dengan melukai
Jinayat ini terbagi dua:
Pertama, luka yang menimpa wajah dan kepala, disebut juga syijaj
bentuk jamak dari kata syijjah.
Kedua, Luka pada anggota badan
yang lain, disebut jarh.
1. Luka yang menimpa kepala dan wajah. Hal ini ada 10 macam:
a. Al Harishah, yaitu luka yang merobek sedikit kulit dan
tidak membuat darah mengucur, seperti cakaran. Disebut juga Al Qasyirah
dan Al Malitha.
b. Ad Damiyah, yaitu luka yang mengeluarkan sedikit darah
pada kulit yang robek. Disebut juga Al Bazilah dan Ad Dami’ah
karena diumpamakan seperti keluarnya air mata dari mata.
c. Al Badhi’ah, yaitu luka yang membelah sedikit daging
setelah kulit, namun tidak sampai kepada tulang.
d. Al Mutalahimah, yaitu luka yang menembus/menusuk ke
dalam daging, namun tidak sampai ke kulit antara daging dan tulang.
e. As Simhaq, yaitu luka yang menimpa sampai ke kulit tipis
antara daging dan tulang di kepala.
Lima luka di atas tidak ada qishasnya (karena tidak bisa serupa
jika diadakan pembalasan) dan tidak ada diatnya, namun wajib adanya hukumah sesuai
ijtihad hakim. Hukumah adalah dengan seorang yang terluka ini sebelum
terluka menilai dirinya seakan-akan budak, lalu dinilaikan harganya ketika luka
itu telah sembuh, dimana setelah itu nilainya berkurang, maka orang terluka ini
mendapatkan bagian dari diyat itu sesuai ukuran lukanya. Misalnya jika sebelum
terluka dihargai 100 dinar, maka berapa harga budak itu setelah terluka?
Apabila harganya menjadi 90 dinar, maka berarti diat yang diperolehnya adalah
1/10 diat jiwa, yaitu 10 ekor unta.
Ibnul Mundzir berkata, “Telah sepakat orang yang kami hafal
pendapatnya, bahwa maksud pernyataan ‘hukumah’ adalah apabila seseorang terkena
luka yang tidak ada diyat tertentu padanya, maka dinilai berapa harga orang ini
jika ia sebagai budak sebelum mendapatkan luka itu atau mendapatkan pukulan
itu? Jika nilainya 100 dinar, maka dibuat pertanyaan lagi, “Berapa nilainya
setelah ia mendapatkan luka ini dan sudah sembuh? Jika harganya 95 dinar, maka yang wajib dibayarkan pelaku
terhadap korban adalah seperdua puluh diyat. Jika dinyatakan nilainya 90 dinar,
maka diyatnya sepersepuluh dinar, lebih
dan kurangnya seperti ini.” (Al Ijma 151/697).
Al Muwaffaq berkata, “Yang benar, bahwa tidak ada ukuran diyat
pada selain tulang iga, dua tulang selangka, dan dua tulang pergelangan, karena
menentukan hanyalah berdasarkan nash, sedangkan konsekwensi dalil adalah
menghendaki adanya hukumah terhadap semua tulang dalam ini, yakni selain lima
yang disebutkan ini berdasarkan keputusan Umar.”
Para fuqaha berkata, “Jika luka yang ditaksir dengan hukumah pada
posisi yang ada ketentuannya dalam syara, seperti syijjah yang berada di bawah
Muwaddhihah, maka tidak boleh hukumahnya melebihi diyat Muwaddhihah, karena
luka jika termasuk muwadhihah (menampakkan tulang) dendanya tidak lebih dari 5
ekor unta. Jika lukanya di bawah itu, tentu dendanya menjadi lebih sedikit.”
f. Al Muwadhdhihah,
yaitu luka yang menembus simhaq dan menampakkan tulang. Diatnya 5 ekor
unta atau seperduapuluh dari diyat (pembahasan lebih khusus tentang diyat akan
diterangkan nanti, insya Allah).
g. Al Hasyimah, yaitu luka yang menampakkan tulang dan
memecahkannya. Diyatnya 10 unta. Telah diriwayatkan yang demikian dari Zaid bin
Tsabit radhiyallahu anhu, dan tidak ada sahabat yang menyelisihinya.
h. Al Munaqqilah, yaitu luka yang memindahkan tulang ke
posisi yang lain, baik membuat tampak tulang maupun memecahkannya atau tidak.
Diatnya 15 ekor unta.
i. Al Ma’mumah, yaitu luka yang menembus ke ummud dimagh,
yakni kulit (selaput) otak yang menutupinya. Diyatnya sepertiga diat jiwa.
j. Ad Damighah, yaitu luka yang menembus selaput otak dan
masuk ke dalamnya. Diyatnya sama seperti Al Ma’mumah, yakni sepertiga diyat
jiwa.
Termasuk juga Al Jaifah, yakni luka dalam, yang tidak terlihat di
luar, seperti bagian dalam perut, bagian dalam punggung, dada, tenggorokan,
kandung kemih, dan sebagainya. Ini semua bukan termasuk Syijaj, karena tidak di
bagian kepala maupun wajah, hanyasaja para ulama menyebutkannya setelah luka di
atas dengan diyat yang sama, yaitu sepertiga diyat jiwa.
Dalil terhadap luka-luka yang disebutkan di atas adalah:
- Hadits Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dari ayahnya
dari kakeknya radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
mengirimkan surat ke penduduk Yaman, yang di sana tertulis, “Pada luka Al Ma’mumah
sepertiga diyat, pada luka Al Munaqqilah lima belas ekor unta…dst. Dan pada
luka Al Muwadhdhihah diyatnya 5 ekor unta.” (Shahih, Hr. Nasa’i, Hakim,
Baihaqi, lihat Al Irwa (7/326))
- Para ulama sepakat, bahwa diat Munaqqilah adalah 15 ekor unta.
- Para ulama juga sepakat, bahwa pada luka Jaifah, diyatnya
sepertiga. Hal ini berdasarkan hadits Amr bin Hazm, “Pada Jaifah diatnya
sepertiga.”
- Atsar Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu bahwa ia memutuskan
terhadap luka Al Hasyimah dengan sepuluh ekor unta (Diriwayatkan oleh
Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (9/314) dan Baihaqi dalam Sunannya
(8/72)
- Demikian juga berdasarkan surat yang ada pada Amr bin Hazm,
bahwa luka Al Ma’mumah diyatnya sepertiga. Sedangkan Ad Damighah yang
lebih dalam lagi, maka lebih berhak ditetapkan sepertiga diyat.
Luka-luka syijaj ini tidak ada qishasnya, kecuali pada luka Al
Muwadhdhihah karena mudah menentukan dan dibalas secara serupa; berbeda
dengan selainnya, maka tidak aman terjadi kelebihan atau kekurangan dalam hal
panjang dan lebarnya luka, dan tidak dapat diyakini bisa dibalas secara sama.
Diyat Memecahkan Tulang
- Pada tulang rusuk/iga yang dipecahkan setelah ditambal diyatnya
seekor unta.
- Pada masing-masing dari dua tulang selangka diyatnya seekor
unta.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Umar bahwa ia berkata, “Pada
tulang iga diyatnya seekor unta, dan pada tulang selangka diyatnya seekor
unta.”
Tulang selangka adalah tulang yang melingkar di sekeliling leher
dari bagian atas dada sampai ke pundak. Setiap manusia memiliki dua tulang
selangka.
Jika tulang iga dan tulang selangka setelah diobati menjadi
bengkok, maka terhadapnya ada hukumah.
- Mematahkan tulang hasta/lengan (lengan yang menggabungkan antara
dua tulang pergelangan dan tulang lengan atas siku) dan masih bisa diluruskan
kembali, maka diyatnya dua ekor unta, seperti halnya mematahkan tulang paha,
betis, dan pergelangan.
Hal ini berdasarkan riwayat Amr bin Syu’aib, bahwa Amr bin Ash
radhiyallahu anhu menuliskan surat kepada Umar berkenaan dengan salah satu dari
dua tulang pergelangan yang dipatahkan, maka Umar mengirimkan surat yang
isinya, bahwa pada setiap tulang pergelangan diyatnya dua ekor unta, dan
apabila kedua tulang pergelangan dipatahkan, maka diyatnya empat ekor unta.
Terhadap keputusan ini, tidak ada sahabat yang menyelisihi.
Demikianlah luka dan pemecahan tulang yang ada ukuran diyatnya,
selainnya seperti melubangi tulang shulbi dan tulang kemaluan, maka terhadapnya
ada hukumah.
Jika orang yang tertimpa tindak jinayat itu sembuh dan keadaannya
menjadi seperti sediakala, maka hal ini tidak mengurangi diyat jinayatnya,
karena diyat ditetapkan ketika darah masih mengalir. Dalam kondisi demikian,
tentu dia merasakan adanya yang berkurang pada dirinya karena perasaan takutnya
dan pengaruh kriminalitas ketika itu.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45,
Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Al Wajiz (Syaikh
Abdul Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Shalih Al Fauzan), Minhajul
Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar