بسم
الله الرحمن الرحيم
Hakikat Tawakkal
(Menyerahkan Diri Kepada Allah Azza wa Jalla)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang tawakkal. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tawakkal kepada Allah termasuk akidah Islam
Seorang muslim tidaklah memandang tawakkal kepada Allah
Azza wa Jalla dalam semua urusannya sebagai akhlak yang wajib dimilikinya saja,
bahkan ia memandang, bahwa tawakkal merupakan kewajiban agama yang masuk ke
dalam Akidahnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu
bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Terj. QS. Al
Ma’idah: 23)
وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكِّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mukmin bertawakkal.” (Terj. QS. Ali Imran: 122)
Oleh karena itu, tawakkal secara mutlak kepada Allah
Subhaanahu wa Ta’ala merupakan bagian akidah seorang mukmin.
Hakikat tawakkal
Seorang muslim dalam bertawakkal kepada Allah Azza wa
Jalla dan bersikap pasrah kepada-Nya tidaklah memahami tawakkal sebagaimana
yang dipahami oleh orang-orang yang jahil terhadap Islam, yaitu bahwa tawakkal
adalah sekedar ucapan yang dilontarkan di lisan namun tidak masuk ke dalam
hati, digerakkan di mulut namun tidak dicerna oleh akal, atau menyingkirkan
sebab dan tidak beramal, serta ridha dengan kerendahan dan kehinaan. Tidak
demikian, bahkan ia memandang, bahwa tawakkal merupakan bagian keimanan dan
akidahnya serta sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla sambil
menyiapkan segala sebab yang dibutuhkan untuk itu. Oleh karenanya, ia tidaklah
mengharapkan hasil tanpa menyiapkan terlebih dahulu sebab-sebabnya, hanyasaja
hasil dari sebab dan usaha itu ia serahkan kepada Allah Azza wa Jalla, karena
Dia yang mampu melakukan semua itu; tidak selain-Nya.
Dengan demikian, tawakkal bagi seorang muslim adalah
usaha dan harapan disertai rasa tenang dan rasa yakin bahwa apa yang dikehendaki
Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, dan
bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan orang yang telah memperbaiki amal usahanya.
Seorang muslim karena meyakini sunnatullah di alam
semesta, maka ia menyiapkan segala sebab untuk suatu perkara, berusaha
menghadirkan sebab itu dan melengkapinya, tetapi ia tidak meyakini bahwa sebab
itulah satu-satunya yang dapat mewujudkan harapannya dan membuahkan hasil
usahanya. Bahkan ia memandang, bahwa menjalankan sebab merupakan bentuk
pelaksanaan terhadap perintah Allah yang harus dilaksanakan sebagaimana
perintah-perintah-Nya yang lain. Adapun berhasil atau tidaknya, maka ia
serahkan kepada Allah Azza wa Jalla, karena Dia mampu melakukan semua itu;
tidak selain-Nya, dan bahwa apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, sedangkan
apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Karena betapa banyak, usaha
keras dilakukan, namun ia tidak mendapatkan hasilnya, dan betapa banyak orang
menanam pohon, namun tidak memperoleh buahnya.
Pandangan seorang muslim terhadap sebab
Bagi seorang muslim, bersandar kepada sebab dan memandang
bahwa sebab adalah satu-satunya yang dapat mewujudkan harapannya merupakan
bentuk kekufuran dan kesyirkkan yang seorang muslim berlepas diri dari hal itu.
Meskipun begitu, meninggalkan sebab terhadap suatu perkara dan meremehkannya
padahal ia sanggup menyiapkannya merupakan bentuk kefasikan dan kemaksiatan
yang diharamkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan ia meminta ampunan kepada Allah
Azza wa Jalla daripadanya.
Pandangan demikian bagi seorang muslim diambil dari
kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan yang panjang yang dilaluinya
tidaklah mengarunginya kecuali setelah menyiapkan perlengkapan untuknya dan
menyiapkan berbagai sebab yang bisa disiapkan; beliau memilih tempat yang cocok
dan waktu yang sesuai. Disebutkan dalam hadits, bahwa Beliau tidaklah melakukan
penyerangan di tengah suasana yang panas sampai udara menjadi sejuk setelah
sebelumnya menyusun perencanaan dan mengatur barisan pasukan. Setelah sebab
Beliau kerahkan, Beliau mengangkat tangannya berdoa kepada Allah Azza wa Jalla,
«اللهُمَّ، مُنْزِلَ الْكِتَابِ، وَمُجْرِيَ
السَّحَابِ، وَهَازِمَ الْأَحْزَابِ، اهْزِمْهُمْ، وَانْصُرْنَا عَلَيْهِمْ»
“Ya Allah yang menurunkan kitab, menjalankan awan,
mengalahkan tentara bersekutu, kalahkanlah mereka dan menangkanlah kami atas
mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikianlah praktek Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, setelah menggabungkan antara sebab lahiriah dan batiniah, Beliau menggantungkan
keberhasilannya kepada Allah Azza wa Jalla.
Contoh lainnya adalah saat Beliau menunggu perintah
Allah Azza wa Jalla untuk berhijrah ke Madinah setelah sebagian besar para
sahabatnya berhijrah ke sana, lalu ada izin berhijrah dari Allah Azza wa Jalla,
maka langkah-langkah yang Beliau lakukan adalah sebagai berikut:
Pertama, menyiapkan teman terbaik untuk
berhijrah, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu,
Kedua, menyiapkan perbekalan safar yang
terdiri dari makanan dan minuman yang kemudian dibawa oleh Asma binti Abu
Bakar,
Ketiga, menyiapkan kendaraan pilihan untuk
dinaiki dalam safar yang panjang itu,
Keempat, menyiapkan seorang penunjuk jalan
yang ahli,
Kelima, ketika Beliau hendak meninggalkan
rumahnya yang telah dikepung musuh, maka Beliau menyuruh putera pamannya, yaitu
Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidurnya untuk mengelabui musuh.
Keenam, ketika kaum musyrik mencari
keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau bersama Abu
Bakar bersembunyi di gua Tsur,
Ketujuh, ketika Abu Bakar merasakan kondisi
yang sangat mencemaskan di gua itu sampai-sampai ia berkata, “Kalau
seandainya salah seorang di antara mereka melihat ke arah bawah kakinya, tentu
mereka akan melihat kita wahai Rasulullah,” kemudian Beliau menenangkannya
sambil bersabda, “Jangan sedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Beliau
juga bersabda, “Bagaimana menurutmu wahai Abu Bakar terhadap dua orang yang
ketiganya adalah Allah?” (HR. Bukhari)
Perhatikanlah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di atas, semua sebab telah Beliau lakukan, kemudian Beliau bersandar
kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Beliau tidak menolak sebab, namun Beliau
tidak bersandar kepadanya, dan bahwa sebab terakhir bagi seorang muslim adalah
pasrah di hadapan Allah Azza wa Jalla dan menyerahkan urusan kepada-Nya dengan
rasa yakin dan tenang.
Dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas itulah seorang muslim mengambil pandangan dan sikapnya, dia tidak berbuat
bid’ah di dalamnya dan tidak bersikap melampaui batas, bahkan dia menjadi
pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bersandar kepada diri
Seorang muslim dalam hal ini, tidaklah memahaminya
sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang yang terhalang dari memandang cermat
karena maksiat yang dilakukannya, yaitu bahwa bersandar kepada diri maksudnya
memutuskan hubungan kepada Allah Azza wa Jalla dan bahwa seorang hamba dialah
yang berkuasa menciptakan amalnya serta mewujudkan harapannya, dan bahwa Allah
tidak ada andil di dalamnya, Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari anggapan
ini.
Bagi seorang muslim, maksud bersandar kepada diri
adalah tidak menampakkan rasa butuh kepada selain Allah Azza wa Jalla dan tidak
menampakkan fakirnya selain kepada-Nya. Oleh karena itu, ketika ia masih
sanggup melakukannya sendiri, maka ia tidak bersandar kepada orang lain. Jika
ia sanggup menutupi kebutuhannya sendiri, maka ia tidak memintanya kepada orang
lain serta tidak meminta bantuan kepada seorang pun selain kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu, karena sikap demikian menunjukkan ketergantunagn
hati kepada selain Allah padahal sikap ini tidak layak dilakukan seorang
muslim.
Oleh karena itu, seorang muslim dalam hal ini menempuh
jalan orang-orang saleh sebelumnya dan jalan para shiddiqin. Dahulu
salah seorang di antara mereka apabila cemetinya jatuh dari tangannya sedangkan
ia berada di atas kudanya, maka ia turun sendiri untuk mengambilnya dan tidak
meminta orang lain mengambilkannya. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah membaiat seorang muslim untuk mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan tidak meminta dipenuhi kebutuhannya kepada seorang pun
selain kepada Allah Azza wa Jalla.
Seorang muslim yang tumbuh di atas akidah tawakkal yang
benar ini serta sikap bersandar diri yang benar membina akidah dan akhlaknya
dari ayat-ayat dan hadits berikut:
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup
(kekal) yang tidak mati.’ (Terj. QS. Al Furqan: 58)
وَقَالُواْ حَسْبُنَا اللّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
"Cukuplah Allah menjadi penolong Kami
dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung.” (Terj. QS. Ali Imran: 173)
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya.” (Terj. QS. Ali Imran: 159)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى
اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو
خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا»
“Kalau seandainya kamu bertawakkal kepada Allah dengan
sebenar-benarnya, tentu kamu akan mendapatkan rezeki sebagaimana burung
mendapatkan rezeki, berangkat pagi dalam keadaan perutnya kosong, dan pulang
sore hari dalam keadaan perutnya kenyang.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh
Al Albani)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan
doa keluar rumah, yaitu:
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ
إِلَّا بِاللَّهِ
“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan
tidak ada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah.” (HR. Abu Dawud
dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
tentang 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab,
«هُمُ الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ، وَلاَ
يَتَطَيَّرُونَ، وَلاَ يَكْتَوُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ»
“Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah,
tidak merasa sial dengan sesuatu, tidak mengobati luka mereka dengan besi
panas, dan mereka bertawakkal kepada Tuhan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wallahu
a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa
Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Diterjemahkan dari kitab Minhajul Muslim
oleh Marwan bin Musa
Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.45, Minhajul Muslim (Abu
Bakar Al Jaza’iriy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar